Postingan

Menampilkan postingan dengan label Media

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Gambar
  Joseph Epstein menulis sebuah artikel opini di The Wall Street Journal belum lama ini. Judulnya “ I Envy the Nightly Newsless. ” Tulisan itu menggaungkan lagi kritik yang telah sejak lama diarahkan kepada televisi, termasuk para wartawannya. Saya yakin, meski telah terlalu sering disampaikan, wartawan televisi yang membaca tulisan Epstein pasti merah telinganya.

Anda di Mana: Kubu Zero Sum atau Positive Sum

Gambar
Barangkali Anda belum sempat membaca The Economist edisi 12 Juli 2025. Di sana ada sebuah esai opini yang menarik dari seorang perempuan profesor ekonomi di Universitas Harvard. Namanya Stefanie Stantcheva. Perempuan berdarah Prancis ini adalah pemenang The John Bates Clark Medal untuk tahun 2025, yakni penghargaan tahunan prestisius yang diberikan oleh American Economic Association (AEA) kepada ekonom berusia di bawah 40 tahun yang dipandang memberikan kontribusi signifikan kepada pemikiran dan pengetahuan ekonomi. Saya akan nukilkan pikiran-pikirannya dalam esai tersebut untuk Anda, seraya membubuhkan beberapa catatan kecil. Stantcheva mengajukan pengamatan bahwa berita-berita dewasa ini, termasuk diskursus di media sosial dipenuhi tentang konflik antarkelompok, persaingan memperebutkan sumber daya yang terbatas dengan gambaran bahwa setiap kemenangan bagi satu kelompok adalah kekalahan bagi kelompok lain. Di arena perdagangan, misalnya, banyak orang Amerika berpandangan bahwa jika...

Mengapa Jurnalis Sering Tidak Kritis terhadap Kepakaran Narasumbernya

Gambar
Barangkali Anda pernah menyaksikan tayangan televisi, tatkala seseorang yang disebut sebagai pakar diwawancarai oleh host. Sang pakar hanya berbicara dua-tiga menit, mengungkapkan apa yang Anda – dan sebagian besar publik – sudah tahu. Acap kali sang pakar bahkan tidak memberikan informasi dan pengetahuan – ia hanya mengonfirmasi apa yang telah dijelaskan oleh sang host. Lalu, “Terimakasih telah bersama kami,” sang host mengakhiri wawancara, dan berpindah kepada berita lain. Lantas apakah fungsi pakar dalam tayangan itu? Jelas ia bukan sebagai narasumber yang membagikan pengetahuan. Ia sekadar memberi kredibilitas pada tayangan berita. Dengan menampilkan narasumber yang memiliki otoritas sebagai pakar, berita itu diharapkan memiliki kredibilitas. Kehadiran pakar dalam pemberitaan bukan barang baru dalam jurnalisme. Memberi kredibilitas pada berita sesungguhnya hanya peran sekunder. Yang lebih utama pakar diharapkan menawarkan komentar yang luas tentang masalah politik, sosial, dan b...

Bagaimana Framing Media Memperkuat Simpati Publik kepada Pemimpin Otoriter

Gambar
  Keyakinan bahwa otoritarianisme dan demokrasi sebagai dua hal yang berlawanan sudah begitu mapan di tengah masyarakat global. Baik sebagai ideologi maupun sebagai sistem, keduanya dipandang tidak mungkin bergandengan.

Bagaimana Mencegah Media Terjebak Menjadi Budak-budak Algoritma

Gambar
  Budak-budak algoritma disebutkan oleh R. Nielsen dan S.A Ganter dalam buku mereka " The Power of Platforms " terbitan Oxford University Press (2022). Saya mengenal istilah itu dari studi yang terbit di jurnal Digital Journalism (2022). Judulnya, " Dealing with Opinion Power in the Platform World: Why We Really Have to Rethink Media Concentration La w." Studi ini dilakukan oleh empat pakar: Theresa Josephine Seippa, Natali Helbergera, dan Jef Ausloos, ketiganya dari Institute for Information Law (IViR), University of Amsterdam, serta Claes de Vreesehttps dari Amsterdam School of Communication Research (ASCoR), University of Amsterdam.

Mengapa Orang Segan Mengemukakan Pendapat yang Berbeda Meskipun Dia Yakin Benar

Gambar
Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak mungkin tunggal. Ada banyak penyebab orang memilih diam walaupun ia yakin dirinya benar. Dari tradisi Jawa kita mengenal nasihat “ sing waras ngalah .” Artinya yang waras memilih mengalah daripada melayani perdebatan dengan mereka yang salah. Jadi motivasi untuk tidak bersuara adalah menghindari perdebatan atau pertengkaran atau keributan.

Dari Algoritma Marketing ke Algoritma Otoritarian: Buah Tangan dari Kuliah Umum Profesor Merlyna Lim

Gambar
Pertanyaan kontemporer apakah media digital (khususnya media sosial dan algoritmanya) memajukan demokrasi atau malah sebaliknya menyuburkan otoritarianisme, diangkat kembali oleh Profesor Merlyna Lim dalam kuliah umum di Universitas Paramadina, 8 Mei 2025. Profesor Komunikasi dan Kajian Media di Carleton University, Kanada itu membawakan kuliah bertajuk Media Sosial, Politik dan Aktivisme Digital di Indonesia. Jawaban atas pertanyaan itu bisa pendek, yakni “tidak, media sosial tidak otomatis memajukan demokrasi.” Namun, penjelasan terhadap jawaban singkat itu tidak sederhana, sehingga ia memerlukan durasi tiga jam lebih menyampaikan kuliahnya, termasuk dengan memainkan okulele dan bernyanyi. Prof Lim mengatakan media sosial dengan algoritmanya sejak awal tidak dirancang untuk tujuan politik yang demokratis. Menurut dia, media sosial adalah platform kapitalisme yang dioperasikan berdasarkan logika pemasaran (marketing). Partisipasi politik bukan tujuan utamanya melainkan partisipasi...

Ekonomi atau Kebebasan Pers: Mana Lebih Dulu

Gambar
Beberapa dekade lalu salah satu alasan negara-negara di dunia ketiga mengekang kebebasan pers ialah soal ekonomi. Keadaan ekonomi dipandang masih belum maju, stabil, dan modern. Karena itu masyarakat dianggap belum siap dengan kebebasan pers. Pembangunan menjadi prioritas, termasuk bila harus mengorbankan kebebasan pers. Pandangan sebaliknya berkembang di negara-negara maju. Pandangan itu mengatakan tidak mungkin sebuah negara membangun perekonomian tanpa demokrasi. Kebebasan pers adalah elemennya yang tak terpisahkan. Dengan kata lain demokrasi (dan kebebasan pers) mutlak sebagai prasyarat kemajuan ekonomi. Para ahli sudah lama meneliti hubungan antara kedua hal ini: kemajuan ekonomi dan kebebasan pers. Siapa memengaruhi siapa? Apakah kebebasan pers memengaruhi kemajuan ekonomi, atau kemajuan ekonomi memengaruhi kebebasan pers? Sebuah studi terbaru yang menarik tentang hal ini saya baca baru-baru ini. Judulnya, " It's The Economy Stupid", Is It Not? The Relationshi...

Tren Jurnalisme 2025: Konten Berformat Panjang dan Mendalam akan Berjaya

Gambar
Prediksi ini hanya lah satu dari banyak peneropongan yang dikemukakan 157 tokoh dan praktisi media dan jurnalisme yang didaulat oleh Nieman Lab untuk memberikannya di laman resmi mereka. Saya tertarik pada prediksi ini, yang dikemukakan secara terpisah oleh dua sosok perempuan, Millie Tran dan Geetika Rudra, karena meniupkan angin segar bagi proponen jurnalisme naratif seperti saya. Keduanya memperkirakan peluang konten panjang dan mendalam -- kerap disebut dengan jurnalisme sastrawi maupun jurnalisme naratif – menuai penggemar pada 2025 sangat terbuka dengan alasan yang berbeda tetapi saling menguatkan. Millie Tran, chief digital content officer pada Councilon Foreign Relations, AS, mengatakan audiens media dewasa ini semakin ekstrem membuat pilihan konten yang dikonsumsi. Pilihannya hanya dua: konten yang sangat pendek, atau konten yang sangat panjang. Tidak ada pilihan setengah-setengah. Pembaca mengejar breaking news yang singkat, di sisi lain mereka juga senang mendengarkan sini...

Mengapa Kita Perlu Belajar ‘Jurnalisme Baru’ dari Tayangan Enah Bikin Enak

Gambar
Menyebut diri sebagai penggemar juga tidak terlalu tepat. Saya hanya sesekali mengikuti tayangan yang muncul setiap siang di Trans7 itu. Namun, pada yang sesekali itu pun saya tidak bisa menyembunyikan keterpikatan. Beberapa reviu mengatakan Enah Bikin Enak bukan tayangan kuliner biasa. Saya menganggapnya lebih dari itu. Enah Bikin Enak malahan saya pandang sebagai sebuah pengejawantahan genre jurnalisme baru ( new journalism ) yang pernah populer tahun 1960-70an, sebagai protes terhadap genre jurnalisme klasik yang dingin, steril dan unhuman .

Apa Pelajaran Penting bagi Jurnalis dari Pilpres AS

Gambar
Kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS menyisakan banyak pelajaran berharga bagi jurnalis dan praktisi media massa. Kebanyakan berupa ‘pil pahit.’ Salah satunya adalah tentang jawaban terhadap pertanyaan apakah relasi Trump yang tidak selalu mulus dengan media (terutama media arus utama) turut menjadi faktor pemicu kemenangannya. Bagi sebagian pendukung Trump jawabannya tampaknya ya. Mereka menilai media arus utama tidak mendengar aspirasi publik. Alih-alih berusaha menemukan suara public yang hakiki, media dinilai lebih condong membawa agenda sendiri. Tentu tidak ada salahnya media mengambil langkah demikian. Bagaimana pun media juga sering menempatkan diri sebagai pembentuk, penentu, bahkan pengarah opini publik. Mereka merasa berkewajiban menjadi pemandu, apalagi bila menilai public tengah dalam keragu-raguan. Namun, justru di sini kontradiksinya. Media tampaknya gagal memahami bahwa publik justru semakin memiliki kapasitas menemukan informasi menentukan pilihan, di luar media ar...

Menulis Naskah Panjang di Platform Media Sosial, Mengapa Tidak

Gambar
Terlalu sering dan terlalu banyak nasihat kepenulisan yang menyarankan agar tidak menulis naskah panjang di platform media sosial. Begitu seringnya sehingga kemungkinan besar hal itu ditafsirkan sebagai larangan. Apakah betul tidak boleh menulis naskah panjang di platform media sosial? Mengapa beberapa platform media sosial tertentu memberi privilese kepada sebagian penggunanya untuk menulis naskah dengan panjang yang tak terbatas? Mengapa X (dh Twitter) justru memperlonggar batasan jumlah karakter teks? Anjuran untuk tidak menulis naskah panjang di platform media sosial umumnya didasarkan pada pertimbangan praktis. Alasan paling utama yang sering dikemukakan ialah pengguna media sosial memiliki rentang perhatian yang pendek, sehingga mereka tidak cukup waktu membacanya. Sementara alasan ini memang benar, atau valid, tidak berarti solusi satu-satunya adalah menulis naskah pendek. Masih banyak cara untuk memikat pengguna platform media sosial selain dengan menulis pendek. Pilihan isu, s...

Apa yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Menulis Berita Warga Negara Pendatang

Gambar
Jumlah warga Amerika Serikat berlatar belakang Latin (sering disebut Latinos) kini menduduki peringkat kedua berdasarkan kelompok etnik. Jumlah mereka mencapai 62,1 juta jiwa pada 2020, atau 19 persen dari total penduduk. Perhatian media terhadap mereka semakin besar. Kian banyak televisi menyajikan berita berbahasa Spanyol, bahkan menyediakan saluran khusus. Seiring dengan itu dirasakan semakin perlu pemahaman yang lebih mendalam tentang mereka. Itu dibutuhkan untuk menghadirkan liputan yang akurat dan kontekstual. Pesan ini sangat kuat disampaikan dalam online training yang disajikan NBCU Academy berjudul " Bilingual Journalism: Covering Latino Communities ". Saya mengikutinya kemarin, dan sangat menarik. Online training ini dipandu oleh para anchor dan reporter NBCU, dan dapat diikuti secara cuma-cuma. Harus diakui terdapat banyak kesalahpahaman tentang warga AS berlatar belakang Hispanik selama ini. Training ini mengajarkan bagaimana sebaiknya menyajikan berita tentang pa...

Apa yang Membuat Situs Berita Online Independen Dapat Bertahan Saat yang Lain Berguguran

Gambar
Era internet membuka kesempatan bagi banyak entrepreneur mencoba peruntungan merintis situs berita online. Ini merupakan fenomena dunia, termasuk di Indonesia. Ada yang menjuluki situs berita semacam ini 'independent web-native news ventures.' Kata independen di sini untuk menekankan bahwa mereka bukan merupakan bagian dari kelompok media (tradisional) besar. Sedangkan kata native untuk menonjolkan bahwa mereka benar-benar lahir dan tumbuh di era internet, bukan kelanjutan atau perpanjangan media arus utama. Situs berita online independen yang organisasinya umumnya kecil ini dulu sempat tumbuh bak jamur di musim hujan. Banyak pegiat media bertalenta entrepreneur mencoba mengadu peruntungan. Namun dalam perjalanannya banyak yang gugur. Pertanyaannya, apa yang membuat sebagian dari mereka dapat bertahan? Brian L Massey mencoba menjawab pertanyaan ini dari sudut pengelolaan keuangan perusahaan, khususnya dalam mendiversifikasi sumber pendapatan. Massey, peneliti dari School of Co...

Mengapa Inggris Tidak Mengizinkan Investor Uni Emirat Arab Mengambil Alih The Telegraph

Gambar
Investor dari negara-negara Arab boleh saja berlomba memiliki klub sepak bola Inggris dan berhasil. Namun hal yang sama kemungkinan tak berlaku terhadap keinginan memiliki surat kabar negeri Raja Charles tersebut. Pemerintah Inggris saat ini, seperti diberitakan oleh koran The Times 14 Maret 2023, akan mengeluarkan legislasi yang menghambat kepemilikan 'negara' lain di surat kabar Inggris, dengan alasan untuk melindungi kebebasan pers.  Legislasi ini dirancang menyusul terungkapnya rencana pengalihan kepemilikan surat kabar terkemuka Inggris, The Telegraph , kepada RedBird IMI. Ini adalah perusahaan patungan yang salah satu pemodalnya Sheikh Mansour bin Zayed bin Sultan al-Nahyan, wakil PM Uni Emirat Arab (UEA). Harap dicatat Sultan ini sebelumnya telah menjadi pemilik klub Manchester City. RedBird IMI memiliki kesempatan masuk ke Telegraph karena telah memberikan pendanaan kembali ( refinancing ) atas utang mantan pemilik koran itu, Keluarga Barclay, kepada Lloyd Bank. RedBir...

Empat Cara Gen Z Memahami Berita

Gambar
Apa itu Berita memiliki pengertian yang berbeda di kalangan Gen Z. Ini terutama bila dibandingkan dengan Gen X dan baby boomers yang memahami berita dalam pengertian tradisional. Mengetahui pandangan Gen Z tentang berita memiliki banyak kegunaan. Dari pemahaman itu akan diperoleh preferensi mereka tentang nilai-nilai berita. Selain itu pengetahuan tentang hal ini dapat membantu media menyusun strategi menggarap segmen pembaca/pemirsa Gen Z. Dua peneliti dari Universitas Groningen, Belanda, JoĆ«lle Swart dan Marcel Broersma, meneliti hal ini. Riset mereka dipublikasikan dengan judul " What feels like news? Young people’s perceptions of news on Instagram, " di jurnal Journalism edisi 2 November 2023. Responden penelitian ini adalah 111 pengguna Instagram berusia 16 sampai 21 tahun. Penelitian dilakukan dalam tiga gelombang (2020, 2021, 2022) dengan metode wawancara. Riset mereka menemukan empat cara pandang Gen Z tentang Berita. 1. Cara pandang tradisional.  Kelompok ini memah...