Mengapa Jurnalis Sering Tidak Kritis terhadap Kepakaran Narasumbernya
Barangkali Anda pernah menyaksikan tayangan televisi, tatkala seseorang yang disebut sebagai pakar diwawancarai oleh host. Sang pakar hanya berbicara dua-tiga menit, mengungkapkan apa yang Anda – dan sebagian besar publik – sudah tahu. Acap kali sang pakar bahkan tidak memberikan informasi dan pengetahuan – ia hanya mengonfirmasi apa yang telah dijelaskan oleh sang host. Lalu, “Terimakasih telah bersama kami,” sang host mengakhiri wawancara, dan berpindah kepada berita lain.Lantas apakah fungsi pakar dalam tayangan itu? Jelas ia bukan sebagai narasumber yang membagikan pengetahuan. Ia sekadar memberi kredibilitas pada tayangan berita. Dengan menampilkan narasumber yang memiliki otoritas sebagai pakar, berita itu diharapkan memiliki kredibilitas.
Kehadiran pakar dalam pemberitaan bukan barang baru dalam jurnalisme. Memberi kredibilitas pada berita sesungguhnya hanya peran sekunder. Yang lebih utama pakar diharapkan menawarkan komentar yang luas tentang masalah politik, sosial, dan berbagai bidang masalah lainnya. Disebut luas karena komentar itu bukan hanya menjelaskan sesuatu yang rumit, tetapi juga mengklarifikasi pemahaman yang kurang tepat, memberikan konteks, membuat prediksi atau perkiraan, bahkan juga memberi kritik dan sanggahan. Bila ditempatkan pada payung yang lebih besar, pakar diharapkan mengedukasi pembaca dan pemirsa lewat pendapatnya sebagai pakar.
Ada banyak hal yang membuat seseorang oleh para jurnalis dipandang sebagai pakar. Pada umumnya karena mereka dianggap ahli di bidangnya. Keahlian itu dikenali dari berbagai hal, misalnya dari pencapaian akademiknya. Selain itu pengalaman juga merupakan fundasi penting bagi kepakaran seseorang. Yang tidak kalah penting adalah pengenalan dan pengakuan dari lingkungan profesinya. Dan tentu saja otoritas resmi yang melekat padanya.
Lalu apa yang membuat jurnalis tidak kritis terhadap kepakaran narasumbernya, seperti yang disebutkan pada judul catatan ini? Apakah ini fenomena baru atau sudah berlangsung lama?
Saya memunculkan pertanyaan ini setelah membaca sebuah penelitian yang berjudul Constructing Experts without Expertise: Fiscal Reporting in the British Press. Studi yang dilakukan oleh Catharina Walsh dari University of Cardiff ini diterbitkan di Journalism Studies, 24 Agustus 2020. (https://doi.org/10.1080/1461670X.2020.1809496)
Walsh berangkat dari berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa wartawan cenderung tidak kritis terhadap para pakar yang menjadi narasumber mereka. Wartawan dianggap sering kurang berani menantang klaim yang meragukan yang dikatakan oleh sang pakar.
Sebagai contoh, Walsh mengutip penelitian yang dilakukan di kalangan reporter sains dan kesehatan. Para pakar di bidang tersebut menjadi narasumber pada liputan-liputan sains dan kesehatan untuk mengklarifikasi detail teknis, memberikan konteks, dan bahkan berspekulasi tentang implikasi suatu fenomena. Namun, reporter yang mengutip dan menulis pendapat mereka, menurut penelitian yang dikutip oleh Walsh, cenderung tidak mengkritisi apa yang dijelaskan oleh sang pakar.
Sebagai kelanjutan dari temuan itu Walsh melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan serupa tetapi di kalangan jurnalis bisnis di Inggris. Studinya menganalisis 21.515 artikel berita antara tahun 2010 dan 2016 di lima surat kabar: Financial Times, Guardian, Independent, Telegraph, dan Times. Walsh menyelidiki bagaimana pakar dari tiga lembaga -- Office of Budget Responsibility (OBR), National Audit Office (NAO), dan Institute of Fiscal Studies (IFS) digambarkan pada pemberitaan media yang diteliti untuk mengurai bagaimana para jurnalis secara kritis menempatkan mereka. Dua yang pertama – OBR dan NAO – adalah lembaga resmi pemerintah, sedangkan IFS adalah sebuah lembaga pemikir independen.
Hasil studinya ternyata menguatkan apa yang sudah ditemukan berbagai studi lain. Para jurnalis bisnis cenderung tidak kritis terhadap kepakaran narasumber mereka. Dari analisis terhadap isi pemberitaan lima surat kabar yang diteliti, Walsh menemukan bahwa wartawan lebih menonjolkan karakteristik sosial para pakar ketimbang pengetahuan atau pemahaman mereka tentang masalah ekonomi yang kompleks. Posisi sosial dan penghormatan rekan sejawat terhadap mereka lebih mengemuka dibandingkan membangun pengetahuan ekonomi pembaca. Hal ini, menurut Walsh, terlihat dari cara surat kabar tersebut menampilkan para pakar. Ketika menyebutkan pakar yang dikutip, yang lebih ditekankan adalah keterangan apresiatif tentang sang pakar atau lembaga yang mereka wakili ketimbang tentang keahlian teknis mereka.
Walsh juga mengkritisi sumbangan pengetahuan yang seharusnya dihasilkan dari kehadiran pakar sebagai narasumber. Menurut dia tidak ada indikasi bahwa pengetahuan dan pemahaman yang lebih besar dibagikan kepada para pembaca meskipun kehadiran para pakar itu dimaksudkan untuk mengurai kompleksitas dan spesialisasi keuangan negara modern.
Lebih jauh, Walsh menemukan bahwa banyaknya pemberitaan ekonomi yang mengutip pakar dari lembaga tertentu, tidak selalu dikarenakan isu tersebut diminati masyarakat dan penjelasan sang pakar dinantikan. Studi Walsh justru menghubungkannya dengan strategi promosi dari organisasi tempat pakar itu bernaung. Bisa jadi organisasi mereka memproduksi dan/atau menyebarluaskan materi yang semakin ramah pers, termasuk melalui saluran media sosial.
Di bagian lain penelitiannya Walsh mengemukakan penjelasan yang sangat menarik. Menurut dia, jurnalis kurang kritis terhadap para pakar yang menjadi narasumber bukan karena mereka gagal untuk memahami penjelasan teknis mereka. Namun lebih karena relasi sosial dengan sang pakar. Sering kali relasi sosial itu membuat wartawan undur dari bersikap kritis terhadap penjelasan sang pakar. Dengan kata lain, wartawan sering menerima keterangan atau penjelasan sang pakar bukan karena kualitas penjelasan yang diberikannya melainkan karena posisi atau atribut yang ada padanya.
Dengan menggunakan kata sifat positif dan penanda status yang diakui dalam menampilkan pakar, berita ekonomi yang disajikan memperkuat posisi pakar tersebut tanpa sikap kritis dari jurnalis. Padahal, sikap kritis tersebut sering kali sangat diperlukan. Menurut Walsh, para pakar ditampilkan sebagai orang yang paling memenuhi syarat untuk melakukan penilaian bukan berdasarkan kualitas argumentasinya tetapi berdasarkan statusnya.
Lalu apa tujuan dihadirkannya pakar dalam berita-berita ekonomi tersebut? Walsh mengatakan mereka ditampilkan untuk meningkatkan kredibilitas, sedangkan fungsi untuk mengedukasi pembaca tidak terlalu diharapkan. Dengan kata lain ditampilkannya pakar lebih sebagai ornamen dan formalitas otoritas tinimbang sebagai sumber pengetahuan dan informasi.
Penelitian ini bagi sebagian wartawan seusia saya mungkin akan mengungkit kembali ingatan pada buku karya Herbert Strenz, “News Reporters and News Sources: Accomlices in Shaping and Misshaping the News” (1989) salah satu bacaan wajib saat memasuki profesi jurnalisme. Buku tersebut mengeksplorasi dinamika relasi reporter dan sumber berita (bukan hanya pakar) yang memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana sebuah berita disajikan. Idealnya kedua belah pihak sama-sama bertanggung jawab melayani kepentingan publik, namun untuk merumuskan seperti apa ‘tanggung jawab’ tersebut tidak mudah karena interaksi kedua belah pihak tidak selalu sederhana.
Meskipun Strenz menyadari pentingnya kolaborasi reporter dan narasumber dalam menghasilkan narasi berita yang bermanfaat, ia juga menyoroti kemungkinan-kemungkinan tak diinginkan dalam relasi tersebut. Oleh karena itu ia mengajukan perlunya sikap kritis para reporter sekaligus pertimbangan-pertimbangan etis dalam relasi kedua belah pihak.
Dalam konteks kekinian diskursus tentang relasi jurnalis dan narasumber memiliki urgensi ketika apa yang menjadi sinyalemen Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) semakin nyata dewasa ini. Kebebasan yang disediakan oleh internet untuk mengemukakan pendapat, menurut Nichols, telah membawa ekses runtuhnya tembok yang memisahkan antara mereka yang ahli (pakar) dengan yang tidak ahli, yang profesional dan yang amatir, guru dan murid, yang berpengetahuan dan yang tidak dan antara mereka yang berprestasi di satu bidang (spesialis) dan mereka yang tidak memilikinya sama sekali.
Di ranah media sosial pakar dan mereka yang mengaku pakar semakin sulit dibedakan karena aturan main viralitas telah mengaburkan batas-batasnya. Lebih repot lagi, menurut Nichols, kalangan akademisi seharusnya merupakan pakar sejati justru menarik diri dari perdebatan publik. Mereka mengabaikan tugas mereka untuk mengedukasi masyarakat dan “telah mundur ke dalam jargon dan ketidakrelevanan, lebih memilih untuk berinteraksi sesama mereka. Sementara itu orang-orang yang mengambil jalan tengah yang sering kita sebut sebagai intelektual publik, menjadi frustrasi dan terpolarisasi seperti masyarakat lainnya.”
Runtuhnya tembok yang memisahkan (baca: membedakan) kalangan profesional dengan yang amatir, pakar sejati dan pakar semu, pada gilirannya mengaburkan penanda keduanya. Selanjutnya ini memunculkan apa yang oleh banyak orang dikenal sebagai era post truth, ketika kepakaran tidak lagi dinilai dari kapasitas intelektual tetapi lebih kepada kapasitas memanfaatkan media sosial. Era dimana masyarakat lebih memercayai informasi sensasional dari influencer yang gampang dicerna ketimbang pengetahuan yang sedikit rumit tetapi telah melalui verifikasi dan validasi.
Penelitian yang dilakukan Walsh saya kira menjadi lonceng yang perlu dibunyikan terus-menerus agar wartawan dan publik memelihara nalar dan daya kritis dalam menilai kepakaran dari mereka yang disebut pakar atau mengaku diri sebagai pakar.
Referensi:
Walsh, C. (2020). Constructing Experts Without Expertise: Fiscal Reporting in the British Press, 2010–2016. Journalism Studies, 21(15), 2059–2077. https://doi.org/10.1080/1461670X.2020.1809496
Walsh, C. (2020). Constructing Experts Without Expertise: Fiscal Reporting in the British Press, 2010–2016. Journalism Studies, 21(15), 2059–2077. https://doi.org/10.1080/1461670X.2020.1809496

Komentar
Posting Komentar