Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi
Joseph Epstein menulis sebuah artikel opini di The Wall Street Journal belum lama ini. Judulnya “I Envy the Nightly Newsless.” Tulisan itu menggaungkan lagi kritik yang telah sejak lama diarahkan kepada televisi, termasuk para wartawannya. Saya yakin, meski telah terlalu sering disampaikan, wartawan televisi yang membaca tulisan Epstein pasti merah telinganya.
Joseph Epstein umurnya sekarang 88 tahun. Ia salah seorang penulis Amerika Serikat yang terpandang. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah The American Scholar, majalah sastra prestisius di AS dari tahun 1975-1997. Selain itu ia merupakan dosen tamu di bidang sastra dan kepenulisan di Northewstern University (1974-2002).Sebagai penulis ia antara lain pernah dianugerahi penghargaan Heartland Prize untuk karyanya, “ Partial Payments: Essays on Writers and Their Lives”(1991), buku yang merupakan kumpulan esai dan kritiknya. Ia juga meraih Ribalow Prize for Fiction untuk bukunya yang lain, Fabulous Small Jews (2003). Di bawah kepemimpinannya, The American Scholar berkali-kali memenangi National Magazine Awards dari The American Society of Magazine Editors, sebelum kemudian ia terdepak dari jabatannya karena pendapat-pendapatnya yang dianggap kontroversial.
Apa yang menyebabkan tulisannya saya anggap akan memerahkan telinga para wartawan televisi? Ia menggemakan kembali kritik yang telah lama dilancarkan kepada berita televisi. Sedari dulu telah banyak yang menganggap berita-berita televisi kurang bermanfaat, menyiarkan berulang-ulang informasi yang sama, terlalu banyak berita yang tidak ada relevansinya dengan pemirsa,dan yang terutama: kekurangan komentar-komentar cerdas.
Epstein berkata ia sering berjam-jam menonton televisi untuk sampai kepada kesimpulan yang membingungkan: apa ya yang saya peroleh dari menonton berita televisi hari ini?
Sebetulnya Epstein memulai tulisannya dengan cara yang bersimpati pada televisi. Ia membuat pengakuan bahwa ia tidak pernah bisa menghindari dari menonton televisi. Namun selanjutnya ia melancarkan pukulan hook tersembunyi dengan kalimat bersayap, “saya iri kepada mereka yang tidak lagi menonton berita televisi.” Dengan kalimat ini ia menyampaikan pengamatan atas fenomena yang sesungguhnya adalah kritik terhadap berita televisi, yaitu semakin banyak orang yang tidak menyimak berita televisi.
Epstein mengatakan ia semakin jarang berjumpa dengan orang yang sama dengan dirinya, yang masih menonton televisi.
“Sesekali saya menceritakan kepada seorang teman tentang suatu peristiwa atau kejadian yang saya lihat di berita televisi,” tulis Epsten.
“Responsnya sering kali berbentuk versi, ‘Oh, saya berhenti menonton (televisi) satu dekade yang lalu.’ Yang lain menanggapi: ‘Saya membatasi diri hingga 15 menit sehari. Tidak lebih.’” Dan ketika ia bertanya mengapa mereka menghindari televisi, jawaban yang ia peroleh antara lain, “Saya merasa berita televisi itu tidak banyak gunanya.” Atau, “Saya menganggap berita televisi itu terlalu dipolitisasi.”
Dari pengamatan ini Epstein kemudian mengelaborasi pendapatnya sendiri tentang berita televisi yang sering kali berlalu seperti angin tanpa bekas. Berita itu hanya menyiarkan informasi yang sudah dapat diprediksi tanpa ada kejutan.
“Di Chicago, tempat saya tinggal, berita televisi lokal sering kali mengenai pembunuhan dan perampokan,” tulis Epstein.
“Seorang polisi dibunuh pada Senin. Pada hari Selasa, keluarga, teman, dan koleganya bersaksi tentang banyak kebaikannya. Pada Rabu, orang yang menjadi pusat perhatian, atau dikenal sebagai si pembunuh, ditampilkan. Pada Kamis, tanggal dan waktu pemakaman diumumkan. Pada Jumat, pemakaman itu sendiri diliput,” beber Epstein.
Dengan plot yang sudah bisa diprediksi seperti ini, menurut Epstein, berita televisi menjadikan sebuah peristiwa tragis sebagai sesuatu yang menjengkelkan.
Sementara itu, berita di televisi skala nasional tidak kalah kurang bermutunya di mata Epstein. Berita-berita mereka, kata dia, tidak lebih dari sekadar pengumuman tentang daftar masalah di berbagai penjuru dunia. Berita-berita tersebut bersifat deklaratif tanpa mengandung ‘berita’ yang sesungguhnya. Tayangan itu menjadi sedikit tertolong, kata Epstein, hanya karena sesekali pembaca acara membawakannya dengan gaya yang menarik atau munculnya analisis pakar yang berguna.
Padahal, menurut Epstein, berita seharusnya menjadi menarik karena substansi berita itu sendiri. Ia mengutip makna berita (news), yang berarti baru. Setiap berita seharusnya membawa sesuatu yang baru.
“Berita, menurut definisi dan etimologi, seharusnya baru. Kadang-kadang mungkin lucu, atau benar-benar menghibur. (Namun) berita seharusnya tidak pernah bisa diprediksi…..”
Seperti yang saya katakan sebelumnya, kritik Epstein sudah disuarakan banyak orang sejak lama. Kritik terhadap televisi yang dipandang mendangkalkan berita sudah terjadi berpuluh tahun lalu.
Pada tahun 1985 Neil Postman menulis buku berjudul Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Menurut dia dalam bukunya, televisi telah sangat menurunkan kualitas wacana publik. Televisi telah mengubah demokrasi menjadi hiburan, dan menambah lelucon di atas tragedi.
Namun, bukan hal itu yang paling mengkhawatirkan dari televisi, melainkan peran dominannya yang mempengaruhi hampir seluruh kehidupan masyarakat ketika itu. Marshall McLuhan (1964) dalam bukunya Understanding media: The Extentions of Man, mengatakan bahwa sebuah budaya sangat ditentukan oleh media dominan. McLuhan sangat terkenal dengan frasa yang masih relevan sampai sekarang, the medium is the message. Apa pun pesannya, tidak akan berarti apa-apa tanpa medium yang kuat.
Dalam hal ini, televisi telah menjelma menjadi medium yang dominan sehingga budaya yang dibawa oleh televisi menjadi budaya masyarakat juga. Televisi telah menggeser bahkan mengubah ‘makna’ berita dari apa yang dipahami oleh jurnalisme klasik. Televisi dengan kekuatan visualnya, telah menggeser berita dari sesuatu yang sebelumnya dipandang sebagai hal yang serius, penuh dengan pengetahuan dan intelektualitas, menjadi panggung hiburan dan tontonan.
Televisi hadir dengan aturan baru bahwa sebuah tayangan (baca: berita) harus memikat, yang hanya membutuhkan sedikit waktu bahkan sedikit energi untuk memprosesnya. Pemirsa ditempatkan sebagai mahluk yang pasif. Bila perlu televisi sendiri yang membantu memamah isi berita untuk langsung telan oleh pemirsa.
Hal ini digambarkan dengan sangat menarik oleh Jason Hannan dari The University of Winnipeg, Kanada, dalam artikel “Trolling ourselves to death? Social media and posttruth Politics yang dipublikasikan oleh European Journal of Communication, 8 Maret 2018. Dalam budaya televisi, kata Hannan memparafrase gagasan Postman, “Fragmen-fragmen informasi, gambar-gambar yang sekilas, transisi cepat dari satu bit data ke bit data berikutnya, tidak kondusif bagi refleksi yang mendalam, kritis, dan menantang, melainkan kebalikannya – bagi keasyikan mental yang dangkal, tidak kritis, dan tidak menantang.
Wacana televisi bukanlah pasar ide, melainkan pasar sensasi yang ditimbulkan secara visual. Hiburan, dalam pengertian ini, bukanlah tawa semata; melainkan sensasi apa pun yang dapat ditimbulkan melalui kepasifan dan pemikiran minimal.” Ironisnya, hiburan sebagai 'supra-ideologi' televisi kemudian mewabah pada kehidupan publik yang lebih luas. Keseriusan sering dipandang sebagai kerumitan, sesuatu yang tidak menarik, dan karena itu harus ditinggalkan. Semua harus dibuat serba simpel, mudah dicerna, sampai akhirnya orang tidak dapat lagi membedakan mana yang benar-benar simpel karena disederhanakan secara cerdas, dan mana yang simpel karena dipaksakan sehingga mendegradasi makna.
Apa yang kini disebut sebagai era post truth, tidak dapat dipisahkan (bahkan kelanjutan) dari kecenderungan pendangkalan berita yang pernah dialami oleh televisi. Era internet yang ditandai oleh platform digital yang memberi kebebasan semua orang bersuara, telah membuat perhatian sebagai barang langka, sementara informasi begitu membludak. Di tengah kelangkaan perhatian, yang terjadi adalah economics of attention, berebut untuk menarik perhatian, bila perlu dengan ‘berteriak’ tapi kosong, tampil aneh, agresif, marah, melakukan perundungan, dan bahkan memanipulasi informasi.
Ironisnya, televisi turut larut dalam perilaku yang mengkhawatirkan ini. Dalam berbagai tayangan talkshow, televisi tidak malu-malu mengadopsi suasana perdebatan yang ganas di media sosial ke dalam tayangan visual. Kata-kata kasar, sikap yang brutal, benar-benar diperlihatkan secara literal. Lalu disiarkan secara langsung.
Jurnalisme, kata Epstein dalam kolomnya, harus menghadirkan sesuatu yang baru (news). Baru dalam pengertian Epstein, saya kira bukan sekadar informasi mutakhir, tetapi juga memiliki value yang baru, sehingga pemirsa atau pembaca tercerahkan.
Dalam kelas-kelas jurnalistik selalu diajarkan apa yang membedakan karya jurnalistik dan yang bukan karya jurnalistik. Salah satu yang paling esensial ialah karya jurnalistik dihasilkan oleh mekanisme sistematis mulai dari penghimpunan fakta, pengolahan, dan penapisan/menyuntingan, sampai kemudian dipandang bernilai untuk disajikan kepada publik.
Penapisan atau penyuntingan itu bagian penting bahkan terpenting. Itu sebabnya pemimpin redaksi sebuah media disebut sebagai editor, atau chief editor. Karena penapisan informasi merupakan hal yang tak bisa ditawar. Editor berselera baik akan menghasilkan berita berkualitas pantas. Ini mungkin yang sering hilang dari berbagai tayangan di talk show televisi. Dan membuat wartawan veteran seperti Epstein, tergerak untuk menulis kritik.
Eben E. Siadari
Referensi
Hannan, J. (2018). Trolling ourselves to death? Social media and post-truth politics. European Journal of Communication, 33(2), 214-226. https://doi.org/10.1177/0267323118760323 (Original work published 2018)


Komentar
Posting Komentar