Bagaimana Framing Media Memperkuat Simpati Publik kepada Pemimpin Otoriter
Keyakinan bahwa otoritarianisme dan demokrasi sebagai dua hal yang berlawanan sudah begitu mapan di tengah masyarakat global. Baik sebagai ideologi maupun sebagai sistem, keduanya dipandang tidak mungkin bergandengan.
Otoritarianisme sering dicirikan sebagai pemusatan kekuasaan
pada satu orang atau sekelompok kecil. Otoritarianisme berkecenderungan
membungkam oposisi, meredam kebebasan individu, dan mengabaikan rembuk dan
partisipasi publik. Sebaliknya, demokrasi dicirikan oleh supremasi hukum,
kebebasan individu dan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan.
Tidak heran jika banyak cerdik cendekia terkejut ketika
mengamati dalam beberapa tahun belakangan pemimpin dan partai yang bertendensi
otoriter naik daun di banyak negara demokrasi di Eropa dan kemudian Amerika
Serikat (dalam catatan ini kata otoriter dan otoritarianisme dipakai secara
bergantian dengan maksud yang hampir sama). Lebih jauh kecenderungan ini
juga tampaknya menjalar ke berbagai belahan bumi lainnya, termasuk ke Asia.
Pemimpin-pemimpin yang dipandang bergaya dan ber pandangan
otoriter semakin banyak mendapat simpati. Di Eropa dan AS, aktor-aktor politik
otoriter yang kebanyakan dari sayap kanan berhasil memikat masyarakat. Mereka
memenangi pemilu yang menyebabkan lanskap politik di kawasan itu berubah.
Mengapa para pemimpin bergaya dan berpandangan otoriter ini naik daun? Apa yang
membuat masyarakat bersimpati dan menaruh harapan kepada mereka? Apa faktor-faktor
yang mendorong hal tersebut terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya relevan di Eropa dan AS
tetapi juga di Indonesia saat ini. Walaupun belum memiliki data tentang hal
ini, saya menengarai sikap-sikap dan pandangan otoriter mulai mendapat tempat
bila kita mengamati konten media sosial. Barangkali hal itu tidak selalu
merupakan sikap dan pandangan yang substantif – bisa saja sikap dan pandangan
otoriter yang ditampilkan sekadar untuk menarik perhatian demi engagement.
Meskipun demikian kecenderungan tersebut patut dicermati lebih jauh.
Sudah banyak penelitian dilakukan terhadap pertanyaan tentang
bangkitnya otoritarianisme serta faktor-faktor yang mendorongnya. Di antara
yang banyak tersebut, saya tertarik pada penelitian yang dilakukan oleh dua
akademisi dari Universitas Gothenburg. Mats Ekström dan Adam Shehata menerbitkan
penelitian mereka tahun lalu yang berjudul “Amplified News Framing of Social
Disturbance and Its Impact on Authoritarian Attitudes: An Experimental Study of
Main Effects and Activation of Predisposition.” Studi mereka dipublikasikan
di jurnal Journalism & Mass Communication Quarterly. Ekström dan
Shehata mencoba menjawab bagaimana framing (pembingkaian) media berperan
dalam menumbuhkan dan menyuburkan sikap-sikap otoriter di tengah masyarakat.
Penelitian mereka mengambil bentuk berupa eksperimen dengan sampel lebih dari
2000 responden. Metodenya cukup rumit, dan catatan ini tidak bermaksud membahasnya.
Yang ingin saya tonjolkan adalah gagasan-gagasan yang membawa kedua peneliti
tiba pada pertanyaanpertanyaan yang ingin mereka jawab, selain kesimpulan
penelitian mereka.
Bagaimana Sikap Otoriter Berkembang
Berbagai literatur menunjukkan bahwa gangguan sosial,
ketidakstabilan, ketidakamanan, dan krisis memiliki peranan yang kuat
membangkitkan sikap-sikap dan pandangan otoriter dalam masyarakat. Sikap dan
opini otoriter tersebut menjelma menjadi mekanisme pertahanan terhadap apa yang
dipandang sebagai ketidakamanan sosial dan ketidakpastian. Yang dianggap
sebagai ancaman sosial itu antara lain hal-hal yang mengganggu norma dan
otoritas sosial. Ini sering disebut sebagai ancaman normatif.
Selain itu kesulitan ekonomi, ancaman terhadap keselamatan
dan keamanan, peningkatan angka kejahatan, terorisme, kekacauan politik, krisis
ekonomi, dan membanjirnya imigran, termasuk sebagai ancaman sosial. Ekström dan
Shehata mengutip sebuah penelitian yang mengajukan bukti substansial bahwa
situasi ancaman sosial menyebabkan individu mengadopsi sikap otoriter tingkat
tinggi. Lebih jauh situasi semacam itu cenderung mengaktifkan nilai-nilai
otoritarianisme yang sebelumnya telah mengakar secara mendalam pada sebagian
masyarakat.
Di awal catatan ini saya telah menyebutkan definisi
otoritarianisme yang bersifat umum sebagai lawan dari demokrasi. Namun, dalam
studi mereka, Ekström dan Shehata mendefinisikannya dengan lebih deskriptif.
Menurut mereka inti dari otoritarianisme adalah keyakinan pada masyarakat yang
tertata secara moral dan komitmen terhadap norma, tradisi, dan otoritas yang
seragam. Menurut kedua peneliti, ada tiga komponen otoritarianisme. Pertama,
konformisme, kedua, kepatuhan otoriter, dan ketiga, agresi otoriter. Konformisme
mengacu pada kepatuhan yang kaku terhadap norma dan konvensi sosial-budaya.
Konformisme juga mengemuka dalam bentuk intoleransi terhadap perbedaan
(identitas dan gaya hidup progresif) dan penolakan terhadap perubahan radikal.
Sementara itu kepatuhan otoriter mengacu pada keyakinan pada
kesetiaan dan rasa hormat terhadap otoritas. Kohesi sosial dan tatanan moral
dalam masyarakat diasumsikan bergantung pada kepatuhan pada dan kekuatan
otoritas (orang tua, guru, pemimpin politik).
Terakhir, agresi otoriter mengacu pada keyakinan pada
tindakan dan hukuman yang keras sebagai perlakuan terhadap mereka yang tidak
patuh. Tindakan yang memaksa merupakan cara utama untuk mengajarkan individu
agar mematuhi aturan dan hukum serta mencegah gangguan dan ketidakamanan dalam
masyarakat.
Selanjutnya, seperti saya katakan sebelumnya, terdapat
perbedaan antara nilai-nilai otoriter dengan sikap-sikap otoriter. Nilai-nilai
otoriter adalah predisposisi (kecenderungan atau keadaan yang membuat seseorang
lebih rentan terhadap suatu kondisi) otoriter yang memengaruhi interpretasi
orang terhadap peristiwa dan sikap terhadap berbagai masalah sosial dan
politik. Sementara sikap-sikap otoriter adalah respons seseorang terhadap
objek, orang, peristiwa atau situasi tertentu.
Nilai-nilai otoriter mendahului sikap otoriter. Nilai-nilai
otoriter berakar mendalam tetapi perlu pemicu untuk bangkit. Sedangkan sikap
otoriter bersifat cair, lebih mudah bergeser dengan objek-objek tertentu tetapi
lebih nyata.
Menurut Ekström dan Shehata, nilai dan pandangan otoriter
dapat dipakai untuk memprediksi sikap-sikap otoriter. Mereka antara lain
memberi contoh bahwa mereka yang berkecenderungan mengadopsi nilai-nilai
otoriter cenderung intoleran terhadap etnis minoritas, bersikap negatif
terhadap hak-hak gay dan hak aborsi, dan pendapat yang mendukung hukuman yang
lebih keras dan kontrol sosial yang ketat.
Dalam penelitian mereka, Ekström dan Shehata mengambil posisi
mengontraskan secara tegas antara nilai-nilai otoritarianisme dengan
nilai-nilai liberal terutama dalam dimensi nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya,
mereka berpendapat bahwa nilai-nilai konformitas dan kepatuhan sebagai elemen
otoritarianisme bertentangan dengan otonomi pribadi dan keberagaman sosial
budaya sebagai nilai-nilai liberal. Dengan demikian kita dapat memahami
bagaimana ancaman terhadap apa yang dipandang sebagai norma dan otoritas sosial
memicu munculnya sikap-sikap dan opini otoriter terutama pada mereka yang
mengadopsi nilai-nilai otoriter.
Dalam studi mereka, Ekström dan Shehata menggambarkan ancaman
terhadap norma dan otoritas sebagai “ancaman terhadap nilai-nilai kelompok,
ancaman terhadap kita, dan "siapa 'kita' dan apa yang 'kita'
yakini," yang sangat penting bagi orang-orang yang berkecenderungan
otoriter. Mereka cenderung menjadi tidak toleran terhadap situasi gangguan
sosial dan terhadap orang yang menyimpang dari konvensi sosial dan budaya atau
yang menantang nilai-nilai tradisional dalam masyarakat.
Bagaimana Framing Media Menyuburkan Sikap-sikap
Otoriter
Bagian ini merupakan paling menarik dari penelitian yang
dijalankan Ekström dan Shehata. Seperti sudah disebutkan sebelumnya,
teori-teori tentang otoritarianisme menyebutkan bahwa gangguan sosial merupakan
katalis yang berpotensi mengaktifkan nilainilai otoriter menjadi sikap
otoriter. Lebih tepatnya, situasi gangguan dalam masyarakat memicu respons
otoriter, khususnya di antara orang yang menghargai konformitas, kepatuhan, dan
ketaatan kepada otoritas. Namun, Ekström dan Shehata mengusulkan cara berbeda
dalam menempatkan gangguan sosial. Bila teori-teori otoritarian menempatkan
gangguan sosial sebagai realitas eksogen, Ekström dan Shehata melihatnya
sebagai sebagai hasil dari konstruksi media. Bila teori-teori tentang
otoritarianisme menempatkan gangguan sosial sebagai fenomena yang dibentuk
secara sosial, dari sudut pandang ilmu komunikasi, gangguan sosial dapat
dilihat sebagai konstruksi media yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai
realitas.
Di sini peran pembingkaian (framing) media terhadap
berita-berita yang berkaitan dengan gangguan sosial memiliki peran sentral.
Bagaimana pun pengetahuan orang tentang peristiwa-peristiwa yang terkait dengan
gangguaan sosial, tidak sepenuhnya datang dari pengalaman langsung mereka.
Untuk mengetahuinya, pada dasarnya masyarakat bergantung pada informasi yang
diproduksi dan disebarluaskan di media. Dengan demikian bagaimana respons
mereka terhadap peristiwa-peristiwa tersebut dipengaruhi bahkan ditentukan oleh
bagaimana media membingkainya sebagai berita.
Idealnya framing memberikan panduan bagi pembaca
tentang bagaimana isu tertentu harus dipikirkan. Namun, pada kenyataannya tidak
selalu demikian. Adakalanya demi pertimbangan tertentu, misalnya, untuk
meningkatkan daya tarik, suatu peristiwa dibingkai dengan menonjolkan aspek-aspek
tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah penonjolan terhadap aspek-aspek
gangguan sosial.
Dalam studi ini, Ekström dan Shehata ingin mendapatkan
jawaban bagaimana peran framing media tentang peristiwa gangguan sosial
mempengaruhi atau berdampak pada sikap-sikap otoriter pada masyarakat. Apakah
berita tentang gangguan sosial dengan pembingkaian yang bersifat membesarkan
atau mengamplifikasi gangguan sosial itu mempengaruhi dan meningkatkan sikap-sikap
otoriter di masyarakat. Kedua peneliti meyakini bahwa framing media yang
mengamplifikasi gangguan sosial (amplified news framing of social
disturbance) meningkatkan sikap-sikap otoriter masyarakat. Selanjutnya
pembingkaian media yang melebih-lebihkan gangguan sosial menurut keyakinan
mereka mengaktifkan nilai-nilai otoriter yang sudah ada pada seseorang ketika
ia terpapar pada berita tentang gangguan sosial tersebut.
Penelitian Ekström dan Shehata memilih dua konteks berita di
Swedia untuk mewakili contoh keadaan sosial di mana tatanan sosial terganggu
karena melanggar aturan dan norma dan karena perlawanan terhadap otoritas.
Dalam dua eksperimen survei yang dilakukan, mereka menyelidiki dampak paparan
terhadap berita yang diframing secara berlebihan dan membandingkannya
dengan paparan terhadap berita yang diframing secara lebih lunak.
Hasil penelitian mereka menunjukkan terbukti secara
meyakinkan bahwa pembingkaian berita tentang gangguan sosial yang diperkuat
atau diamplifikasi berdampak pada sikap-sikap otoriter. Penelitian itu juga
menunjukkan bahwa nilai-nilai otoriter cenderung teraktifkan ketika orang-orang
terpapar pada berita gangguan sosial yang telah dibingkai secara berlebihan.
Hasil penelitian ini membawa kita pada beberapa pertanyaan lanjutan yang
menarik. Untuk kalangan media, salah satu pertanyaan yang penting adalah apakah
framing yang mereka lakukan terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap
sebagai gangguan sosial berkecenderungan mengamplifikasinya. Jika ya, barang
kali ruang redaksi perlu untuk melakukan tinjauan atas kebijaksanaan
redaksionalnya. Tentu dengan anggapan bahwa redaksi tidak dalam posisi
mendukung tumbuhnya sikap-sikap otoriter di tengah masyarakat.

Komentar
Posting Komentar