Mengapa Kita Perlu Belajar ‘Jurnalisme Baru’ dari Tayangan Enah Bikin Enak
Menyebut diri sebagai penggemar juga tidak terlalu tepat. Saya hanya sesekali mengikuti tayangan yang muncul setiap siang di Trans7 itu. Namun, pada yang sesekali itu pun saya tidak bisa menyembunyikan keterpikatan. Beberapa reviu mengatakan Enah Bikin Enak bukan tayangan kuliner biasa. Saya menganggapnya lebih dari itu. Enah Bikin Enak malahan saya pandang sebagai sebuah pengejawantahan genre jurnalisme baru (new journalism) yang pernah populer tahun 1960-70an, sebagai protes terhadap genre jurnalisme klasik yang dingin, steril dan unhuman.
Dalam Enah
Bikin Enak sang reporter yaitu Emak Enah sekaligus pelaku peristiwa. Ia
menghantam dinding pembatas subjektivisme dan objektivisme. Yang disebut
belakangan ini dulu sempat diprotes sebagai ciri status quo media arus utama
yang menjauhkan jurnalisme dari realitas. Emak Enah membobol hal yang ditabukan
objektivisme. Ia mengalami, merasakan, melakukan verifikasi, dan melaporkan
beritanya. Ia bukan hanya bicara fakta. Ia fakta itu sendiri.
Ini yang
kerap luput dari liputan-liputan tentang kehidupan masyarakat akar rumput oleh
para reporter profesional. Ada banyak reportase tentang masyarakat yang
termarginalkan, namun ia sering dikeluhkan terkesan dingin dan datar. Jurnalis
yang melaporkannya terlihat hanya menjadi saksi, mungkin karena terbebani oleh
nilai-nilai profesionalisme jurnalistik yang harus berjarak dari fakta.
Akibatnya reportase tentang masyarakat akar rumput sering membatasi diri
sekadar dokumentasi. Reporter bertindak hanya sebagai jururekam.
Pada
beberapa reportase yang berpretensi membangun empati, ada kalanya jurnalis
menjadi turis yang mencari kebahagiaan (dan hikmat) dari masyarakat akar rumput
yang diliputnya. Lalu mengakhirinya dengan pesan ‘bijak’ untuk mensyukuri
kehidupan karena “ternyata kita-kita lebih beruntung.”
Yang paling buruk tentu adalah reportase yang
menempatkan jurnalis sebagai pelintas yang kebetulan singgah. Tidak ada koneksi
yang otentik dengan kenyataan. Bila pun ada, subjek berita kerap ditempatkan
sebagai korban yang lemah, yang harus dikasihani dan disiram dengan bansos.
Tayangan Enah
Bikin Enak jauh dari kesan sekadar tontonan tentang hidup di dasar piramida
sosial. Emak Enah tampil energik, percaya diri, ceplas-ceplos seperti emak-emak
yang saya jumpai di sawah dan kebun saat Kuliah Kerja Nyata di pedesaan Subang
tempo dulu.
Ia tidak
didandani ala studio. Gerak dan mimik wajahnya meyakinkan kita bahwa dia adalah
satu dari antara kita-kita. Dalam busana rapi ala masyarakat kebanyakan, ia tidak
canggung menginjak jalan berlumpur, menembus semak, naik sepeda motor,
berlarian di pantai.
Dan
dengarkanlah suara narator yang mengantarkan reportasenya. Tidak mendayu-dayu
tetapi lantang tanpa meninggalkan dialek Sunda orang-orang di pasar, di kebun,
dan di terminal.
Yang paling
mengesankan adalah caranya menyapa dan bercakap-cakap dengan jurukamera sambil
ia melakukan reportase. "Kameramen" adalah sapaannya yang khas, yang
setahu saya belum pernah ada host sebuah acara televisi menjadikan
jurukamera sebagai lawan bicara yang akrab.
Dialek Jawa
Baratnya kala menyebut 'kameramen' terasa hangat, membuat wartawan seusia saya
akan teringat pada lelucon tempo dulu, ketika seorang wartawan memperkenalkan
diri sebagai wartawan kepada seorang ibu di pelosok Jawa, lalu si ibu menyapa
balik dengan sebutan " Nak Tawan ," --wartawan itu langsung
dianggap sebagai anak.
Membicarakan
Emak Enah membawa saya pada gagasan Vojtěch Dvořák, peneliti dari Faculty of
Social Studies, Department of Media Studies and Journalism, Masaryk University,
Czech Republic dalam studinya yang berjudul The uncompromising way: Several
lessons from homeless journalists (Sage Journals, 20 Juni 2024). Studinya
tersebut menunjukkan bahwa cara paling efektif dan radikal menyuarakan kaum
marginal adalah membuka kesempatan kepada mereka menyampaikan suara mereka
sendiri dengan narasi mereka sendiri.
Gagasan
utama Dvořák adalah mendidik kaum marginal menjadi jurnalis sehingga dapat
memilih isu mereka sendiri, menulis sendiri kisah mereka dan pada akhirnya
menginisiasi media mereka sendiri. Selama ini memang sudah banyak gagasan
tentang skema kemitraan antara media dengan masyarakat termarginalkan dalam
spirit pemberdayaan. Namun Dvořák menganggap hal itu tidak cukup. Kaum marginal
harus diberi kesempatan menjadi juruwarta dan jurukamera untuk diri mereka
sendiri.
Dvořák
melakukan penelitian selama tiga tahun pada masyarakat tunawisma di kota Brno,
Czech Republic (2020–2022), dan Denver, Colorado (2023). Ia hidup dan
berinteraksi dengan mereka. Lebih jauh, ia mengajarkan ketrampilan jurnalistik
dan menulis kepada para tunawisma itu dengan harapan mereka akan menjadi
jurnalis yang piawai menyuarakan ketunawismaan.
Responden
penelitiannya berjumlah 26 orang tunawisma, 14 orang di Brno dan 12 orang di
Denver. “Di kedua lokasi penelitian, saya menyelenggarakan kelompok penulisan
rutin untuk para tunawisma, dengan tujuan untuk membuat cerita dan artikel
berita yang berpotensi menghasilkan surat kabar komunitas partisipatif yang
sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka… Kelompok-kelompok ini bertemu secara
rutin, biasanya setiap minggu, dengan sesi-sesi yang biasanya berlangsung
antara 60 dan 120 menit,” tulis Dvořák.
Dari
pengalaman hidup bersama mereka, Dvořák mendapat pemahaman bahwa tidak ada yang
lebih dipercaya oleh kalangan masyarakat marginal (baca: tunawisma) daripada
sesama mereka sendiri. Menurut Dvořák, sering kali jurnalis tidak dapat
menangkap aspirasi kalangan marginal karena adanya jarak hirarkis. Pengalaman
Dvořák menunjukkan ketika kalangan marginal berbicara dengan sesamanya, mereka
jauh lebih dapat membuka diri.
“Jurnalis
tunawisma menunjukkan kemampuan mereka untuk menggali lebih dalam dan lebih
cepat, menghindari bias dan ketidakjelasan informasi yang ditutupi oleh rasa
malu ketika berhadapan dengan para (jurnalis) profesional yang mau tidak mau
dipandang sebagai otoritas yang berkuasa,” tulis Dvořák Dvořák menceritakan
pengamatannya tentang bagaimana para kaum termarginalkan dapat dengan cepat
masuk ke dalam ‘frekuensi’ pembicaraan yang sama, yang sulit dicapai oleh para
jurnalis profesional.
“Saya sering
menyaksikan para tunawisma saling mewawancarai. Dalam semua kejadian tersebut,
satu kesamaan yang luar biasa muncul dalam hal dinamika kekuasaan. Pewawancara
dan yang diwawancarai tampaknya memiliki peran yang sama dalam komunikasi
mereka…Awalnya, mereka tampaknya tidak tahu apa yang diharapkan… Mereka tidak
saling kenal sebelumnya, tetapi mereka tahu bahwa mereka berdua tunawisma.
Kemudian mereka duduk bersebelahan, sepenuhnya setara, dan berbicara.
Pertukaran kata berlangsung cepat: bagaimana keadaan mereka, di mana mereka
tidur malam sebelumnya, bagaimana perasaan mereka, apa rencana mereka, disertai
dengan anggukan bersama….”
Dialog itu
begitu natural, sebagaimana diakui sendiri oleh para tunawisma itu kepada Dvořák
ketika mewawancarai mereka. “Kedua pihak mengklaim bahwa komunikasi tersebut
terasa alami, dan meskipun menggali pengalaman pribadi, mereka mengklaim bahwa
interaksi tersebut sebagian besar menyenangkan. Pendekatan ini juga membawa
nilai intrinsik melalui sifat dialogisnya, yang mendorong saling pengertian dan
kemampuan untuk mengartikulasikan dunia masing-masing,” tulis Dvořák.
Di bagian
lain studinya, Dvořák mengatakan beberapa peserta mengungkapkan rasa frustrasi
mereka terhadap jurnalis yang menulis tentang tuna wisma tanpa benar-benar
memahami pengalaman tersebut. Salah satu responden Dvořák berkata, “Mereka
[wartawan] tidak dapat mengerti, mereka bukan tuna wisma, mereka harus
mencobanya, setidaknya selama seminggu, sehingga mereka tahu bagaimana rasanya
kelaparan, tidak punya tempat untuk tidur, dan dicemooh.”
Dari hasil
studi ini salah satu yang menarik dan mungkin membawa implikasi tidak sederhana
bagi pekerjaan jurnalistik ialah perlunya kesediaan para jurnalis profesional
berbagi peran dengan para jurnalis ‘amatir’ yang berasal dari masyarakat
marginal. Berbagi peran di sini bersifat lebih serius dan mendalam dari sekadar
jurnalis profesional menjadi mentor bagi jurnalis warga. Berbagi peran di sini
berada dalam konteks relasi yang setara, dan terjadi di berbagai level, bahkan
yang lebih tinggi, misalnya, menetapkan agenda liputan.

Komentar
Posting Komentar