Dari Algoritma Marketing ke Algoritma Otoritarian: Buah Tangan dari Kuliah Umum Profesor Merlyna Lim
Pertanyaan kontemporer apakah media digital (khususnya media sosial dan algoritmanya) memajukan demokrasi atau malah sebaliknya menyuburkan otoritarianisme, diangkat kembali oleh Profesor Merlyna Lim dalam kuliah umum di Universitas Paramadina, 8 Mei 2025. Profesor Komunikasi dan Kajian Media di Carleton University, Kanada itu membawakan kuliah bertajuk Media Sosial, Politik dan Aktivisme Digital di Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan itu bisa pendek, yakni “tidak, media sosial tidak otomatis memajukan demokrasi.” Namun, penjelasan terhadap jawaban singkat itu tidak sederhana, sehingga ia memerlukan durasi tiga jam lebih menyampaikan kuliahnya, termasuk dengan memainkan okulele dan bernyanyi.
Prof Lim mengatakan media sosial dengan algoritmanya sejak awal tidak dirancang untuk tujuan politik yang demokratis. Menurut dia, media sosial adalah platform kapitalisme yang dioperasikan berdasarkan logika pemasaran (marketing). Partisipasi politik bukan tujuan utamanya melainkan partisipasi kapital dan maksimalisasi keuntungan.
Anggapan bahwa media sosial kini bukan alat untuk mengembangkan dan membangun demokrasi melainkan dipakai oleh kekuatan-kekuatan otoritarian untuk melancarkan agenda politik elektoral tampaknya bukan sesuatu yang mengada-ada melainkan aba-aba (alarm) yang harus dicermati dengan serius. Dalam kuliah umumnya, Prof. Lim menyerukan gerakan literasi algoritma arus bawah yang intensional, sistematis dan terarah sebagai salah satu jalan keluar. Selain itu ia menyajikan beberapa langkah praktis, misalnya, triangulasi secara sukarela untuk memeriksa kebenaran sebuah informasi dengan melakukan verifikasi terhadap tiga sumber yang relevan. Triangulasi ini dapat diadopsi secara individual oleh setiap pengguna media sosial sebagai bagian dari gerakan literasi yang lebih luas.
Logika Pemasaran Dalam Kemasan Algoritma
Prof. Lim mengatakan logika yang berlaku di platform media sosial adalah logika pemasaran yang diimplementasikan lewat algoritma. Ia mendefinisikan algoritma marketing sebagai “interaksi yang saling tergantung antara prinsip-prinsip pemasaran operasi algoritmik yang secara otoritatif membentuk sirkulasi, visibilitas, dan pendistribusian konten di antara pengguna media sosial.” Bila dimaknai secara praktis, itu berarti konten (atau narasi) yang populer akan semakin populer, yang ekstrem mengalahkan yang moderat, yang cepat mengalahkan yang lambat. Viralitas merupakan ukuran yang penting, bahkan terpenting. Dalam logika algoritma, kedalaman bukan prioritas karena attention economy tidak memberi ruang yang cukup untuk mencerna informasi dan berkontemplasi.
Prof. Lim mengulang apa yang pernah ditulisnya dalam studinya From Activist Media to Algorithmic Politics, The Internet, Social Media, and Civil Society in Southeast Asia (2023). bahwa media digital adalah ruang sosial yang dikomersialkan. Ruang komersial itu menjadi pasar bagi individu untuk dapat mengambil bagian dalam konsumsi, produksi, dan distribusi informasi, cerita, ide, dan pengetahuan. (Lim, 2023: 40-41).
Media sosial pada satu ketika dapat memfasilitasi, memperkuat, dan bahkan mempercepat proses yang memerlukan tindakan kolektif dan gerakan sosial. Namun, hal itu tidak selalu terjadi bahkan sulit tercapai. (Lim, ibid:41). Dalam studinya yang lain, “Klik yang Tak Memantik: Aktivisme Media Sosial di Indonesia” (2014) Prof. Lim mencontohkan hanya dua kasus sukses media sosial dapat menggerakkan partisipasi sosial masyarakat, yaitu gerakan publik yang dikemas dengan nama Cicak vs Buaya dan Koin untuk Prita. Namun lebih banyak lagi kisah-kisah gagal, seperti kasus Sri Mulyani/Century, Lapindo, dan Ahmadiyah. Wacana yang dikembangkan di media sosial tidak berujung pada partisipasi publik yang luas (Lim, 2014: 42-45).
Cara Berhasil yang Dangkal
Prof Lim mengatakan di Indonesia media sosial umumnya dapat menggerakkan partisipasi sosial apabila narasi, ikon, dan representasi simbolik di dalamnya menyerupai elemen-elemen yang mendominasi budaya populer kontemporer. Aktivisme yang berkemungkinan berhasil menggerakkan partisipasi publik adalah aktivisme yang memiliki asas-asas budaya konsumsi terkini. Konten media sosial yang dikemas secara ringan, dengan selera tajuk berita, dan tampilan cuplikan lebih berpotensi menarik aksi daripada yang tidak.
Prof Lim menulis sebagai berikut:….gerakan di dunia maya memiliki kemungkinan untuk diturunkan ke dunia nyata bila menerapkan asas-asas budaya konsumsi kontemporer, yakni: kemasan ringan (isi yang dapat dinikmati secara cepat, dimengerti tanpa sensasional), selera tajuk berita (kondisi di mana informasi dipadatkan agar dapat mengakomodasi rentang perhatian yang pendek dan percakapan satu baris), serta tampilan cuplikan (cerita yang terlalu digampangkan, terlalu dangkal, dan sensasional dibandingkan dengan cerita yang padat berisi; atau representasi dangkal atas suatu fakta). Dengan kata lain, hanya narasi yang sederhanalah yang biasanya dapat cepat menyebar. Pada saat yang sama, narasi yang sederhana atau disederhanakan yang berkaitan dengan kegiatan berisiko rendah dan sejalan dengan ideologi metanarasi, seperti nasionalisme dan religiusitas, memiliki potensi lebih tinggi untuk menyebar dengan cepat dan menghasilkan gerakan masif. Sebuah gerakan berkurang kemungkinan suksesnya bila berdasarkan pada narasi yang bertentangan dengan narasi-narasi dominan yang dihasilkan oleh media arus utama. (Lim, 2014:37).
Logika Pemasaran di Ranah Politik
Apa yang dibeberkan oleh Prof. Lim ini mungkin bisa dipandang sebagai rumus sukses di media sosial. Namun, ia sesungguhnya menyajikannya dari perspektif wacana kritis, bahkan dengan sedikit nada cemas.
Misalnya, ia menengarai bahwa keharusan untuk melakukan penyederhanaan penyajian (bahasa dan visualisasi) telah membuat banyak pakar atau ahli enggan menggunakan media sosial untuk menjelaskan fenomena tertentu. Mereka tidak ingin mengambil risiko melakukan penyederhanaan berlebihan sehingga disalah artikan. Ini tentu patut dikhawatirkan karena absennya para pakar dari ranah media sosial memicu tumbuh suburnya pakar-pakar semu.
Selera tajuk berita yang menonjolkan judul yang menarik dan bahkan ekstrem juga merupakan isu yang telah banyak disorot akhir-akhir ini. Judul-judul yang menghebohkan acap kali membuat pemirsa atau pembaca berhenti sampai di judul -- tidak melanjutkan memahami informasi secara utuh. Sedangkan tampilan cuplikan sering merupakan konten visual yang sangat singkat, kebanyakan lebih ditujukan memantik sisi emosional daripada sisi rasional.
Bila meminjam pendekatan wacana kritis Van Dijk, sorotan Prof Lim terhadap praktik yang terjadi di media digital adalah gambaran dominasi kekuatan pasar (kapitalisme) yang kemudian dibawa ke ranah politik. Prof Lim tidak melihat media sosial sebagai public sphere atau ruang publik yang kita bayangkan dalam teori-teori tentang demokrasi deliberatif -- tempat publik berdebat secara leluasa, terbuka, bahkan sengit, tetapi untuk menghasilkan solusi atas masalah-masalah bersama (Perloff, 2021: 28-29). Media sosial dipandang lebih menunjukkan sisi gelapnya, yang oleh Jason Hannan, digambarkan sebagai dua titik ekstrem; di satu sisi ia adalah kontes popularitas (Facebook) dan di sisi lain ajang pembantaian dan perundungan (Twitter atau X) ( Hannan, 2021:6-7).
Berdasarkan studi yang ia lakukan atas berbagai data di sejumlah negara, termasuk Indonesia, Prof Lim mengatakan platform media sosial telah dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik menjadi perahu bagi kepentingan politik mereka menggunakan dominasi kapital. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang disebut oleh Prof Lim sebagai algorithmic white branding. Ini merujuk pada pemanfaatan perangkat digital dan teknologi otomatisasi, untuk menciptakan citra atau brand yang positif bagi kandidat politik atau tokoh masyarakat yang memiliki catatan yang sangat kontroversial atau bermasalah. Strategi ini dipakai untuk membersihkan sejarah kelam mereka dan membentuk ulang narasi untuk menarik pemilih yang lebih muda yang mungkin tidak ingat latar belakang mereka yang bermasalah.
Tidak dapat disangkal algorithmic white branding adalah orkestrasi yang membutuhkan mobilisasi sumber daya modal maupun orang dan tentu piranti teknologi. Menurut Prof. Lim, orkestrasi ini dijalankan dengan menggunakan tenaga-tenaga berbayar, yang kerap disebut sebagai buzzer atau cyber troops. Mereka secara terpola melakukan upaya untuk memanipulasi wacana demi kepentingan aktor politik yang mempekerjakan mereka. Prof Lim melihat hal ini telah menjurus kepada sebuah profesi.
Untuk memuluskan agendanya, para aktor politik tidak segan-segan menggunakan narasi biner (binary naratives) untuk menyemai efek ekstrem, sebagai cara untuk menyatukan pengikut dan memunculkan kubu “kita versus mereka.” Ini dapat berkembang subur di media sosial, karena seperti dijelaskan oleh Hannan (2018) media sosial memiliki sisi gelapnya. Mengutip Warzel (2016), Hannan menulis: Meskipun awalnya dirancang sebagai alat sosial, Twitter (sekarang X) telah berubah menjadi neraka antisosial yang cenderung menimbulkan perilaku paranoid yang reaksioner: penghinaan kejam yang bertujuan untuk menyakiti dan menyinggung, mengusik orang lain, mencari titik lemah mereka, lalu menusukkan pisau dan memutarnya dengan kasar untuk menimbulkan rasa sakit psikologis yang maksimal. Twitter memiliki cara unik untuk mengeluarkan sisi sadis penggunanya. Sulit untuk tidak terjebak dalam lubang hitam… bahkan pengguna yang paling bermartabat pun akan merasa tergoda untuk menanggapi serangan pribadi yang kejam. (Hannan, 2018:6-7).
Agenda Ke Depan
Ada sisi lain yang tampaknya dengan sengaja tidak terlalu banyak dibicarakan oleh Prof Lim, yaitu peran pemilik dan pengelola platform dalam menyelaraskan algoritma dengan tujuan-tujuan demokratis. Begitu juga dengan kemungkinan regulasi yang dapat dibuat oleh pemerintah-pemerintah di berbagai belahan dunia untuk memastikan transparansi algoritma. Hal ini tampaknya bukan tidak disengaja. Prof Lim tidak membicarakannya karena tampaknya ia ingin lebih mengedepankan gagasan utama: meningkatkan resiliensi dan literasi masyarakat menghadapi terpaan algoritma otoritarian.
Prof Lim antara lain menyarankan perlunya dikembangkan jejaring-jejaring kecil yang secara intensional berupaya meningkatkan literasi sehingga anggota masyarakat tidak menjadi korban apalagi alat algoritma otoritarian. Para anggota jejaring itu terkoneksi dilandasi rasa saling percaya dan peduli untuk merebut kembali (atau menjaga) public sphere tetap pada fungsinya -- sebagai arena pertukaran gagasan untuk menghasilkan solusi bagi kepentingan bersama, bukan ajang dominasi kekuatan otoritarian.
Agenda ke depan yang lebih menantang adalah dalam hal kajian atau riset media. Kuliah umum Prof Lim membuka kemungkinan-kemungkinan bagi penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi berbagai teori komunikasi. Misalnya, Prof Lim mengatakan algoritma media sosial sangat menekankan penggapaian sisi emosional, yang dari sudut pandang teori retorika Aristoteles menghadirkan berbagai pertanyaan tentang dinamika logos-ethos-pathos. Sementara dari perspektif agenda setting dan framing, pertanyaan-pertanyaan tentang sejauh mana media dapat memperkuat atau memperlemah .algoritma otoritarian menjadi ranah penelitian yang menantang.
Jawaban atas pertanyaan itu bisa pendek, yakni “tidak, media sosial tidak otomatis memajukan demokrasi.” Namun, penjelasan terhadap jawaban singkat itu tidak sederhana, sehingga ia memerlukan durasi tiga jam lebih menyampaikan kuliahnya, termasuk dengan memainkan okulele dan bernyanyi.
Prof Lim mengatakan media sosial dengan algoritmanya sejak awal tidak dirancang untuk tujuan politik yang demokratis. Menurut dia, media sosial adalah platform kapitalisme yang dioperasikan berdasarkan logika pemasaran (marketing). Partisipasi politik bukan tujuan utamanya melainkan partisipasi kapital dan maksimalisasi keuntungan.
Anggapan bahwa media sosial kini bukan alat untuk mengembangkan dan membangun demokrasi melainkan dipakai oleh kekuatan-kekuatan otoritarian untuk melancarkan agenda politik elektoral tampaknya bukan sesuatu yang mengada-ada melainkan aba-aba (alarm) yang harus dicermati dengan serius. Dalam kuliah umumnya, Prof. Lim menyerukan gerakan literasi algoritma arus bawah yang intensional, sistematis dan terarah sebagai salah satu jalan keluar. Selain itu ia menyajikan beberapa langkah praktis, misalnya, triangulasi secara sukarela untuk memeriksa kebenaran sebuah informasi dengan melakukan verifikasi terhadap tiga sumber yang relevan. Triangulasi ini dapat diadopsi secara individual oleh setiap pengguna media sosial sebagai bagian dari gerakan literasi yang lebih luas.
Logika Pemasaran Dalam Kemasan Algoritma
Prof. Lim mengatakan logika yang berlaku di platform media sosial adalah logika pemasaran yang diimplementasikan lewat algoritma. Ia mendefinisikan algoritma marketing sebagai “interaksi yang saling tergantung antara prinsip-prinsip pemasaran operasi algoritmik yang secara otoritatif membentuk sirkulasi, visibilitas, dan pendistribusian konten di antara pengguna media sosial.” Bila dimaknai secara praktis, itu berarti konten (atau narasi) yang populer akan semakin populer, yang ekstrem mengalahkan yang moderat, yang cepat mengalahkan yang lambat. Viralitas merupakan ukuran yang penting, bahkan terpenting. Dalam logika algoritma, kedalaman bukan prioritas karena attention economy tidak memberi ruang yang cukup untuk mencerna informasi dan berkontemplasi.
Prof. Lim mengulang apa yang pernah ditulisnya dalam studinya From Activist Media to Algorithmic Politics, The Internet, Social Media, and Civil Society in Southeast Asia (2023). bahwa media digital adalah ruang sosial yang dikomersialkan. Ruang komersial itu menjadi pasar bagi individu untuk dapat mengambil bagian dalam konsumsi, produksi, dan distribusi informasi, cerita, ide, dan pengetahuan. (Lim, 2023: 40-41).
Media sosial pada satu ketika dapat memfasilitasi, memperkuat, dan bahkan mempercepat proses yang memerlukan tindakan kolektif dan gerakan sosial. Namun, hal itu tidak selalu terjadi bahkan sulit tercapai. (Lim, ibid:41). Dalam studinya yang lain, “Klik yang Tak Memantik: Aktivisme Media Sosial di Indonesia” (2014) Prof. Lim mencontohkan hanya dua kasus sukses media sosial dapat menggerakkan partisipasi sosial masyarakat, yaitu gerakan publik yang dikemas dengan nama Cicak vs Buaya dan Koin untuk Prita. Namun lebih banyak lagi kisah-kisah gagal, seperti kasus Sri Mulyani/Century, Lapindo, dan Ahmadiyah. Wacana yang dikembangkan di media sosial tidak berujung pada partisipasi publik yang luas (Lim, 2014: 42-45).
Cara Berhasil yang Dangkal
Prof Lim mengatakan di Indonesia media sosial umumnya dapat menggerakkan partisipasi sosial apabila narasi, ikon, dan representasi simbolik di dalamnya menyerupai elemen-elemen yang mendominasi budaya populer kontemporer. Aktivisme yang berkemungkinan berhasil menggerakkan partisipasi publik adalah aktivisme yang memiliki asas-asas budaya konsumsi terkini. Konten media sosial yang dikemas secara ringan, dengan selera tajuk berita, dan tampilan cuplikan lebih berpotensi menarik aksi daripada yang tidak.
Prof Lim menulis sebagai berikut:….gerakan di dunia maya memiliki kemungkinan untuk diturunkan ke dunia nyata bila menerapkan asas-asas budaya konsumsi kontemporer, yakni: kemasan ringan (isi yang dapat dinikmati secara cepat, dimengerti tanpa sensasional), selera tajuk berita (kondisi di mana informasi dipadatkan agar dapat mengakomodasi rentang perhatian yang pendek dan percakapan satu baris), serta tampilan cuplikan (cerita yang terlalu digampangkan, terlalu dangkal, dan sensasional dibandingkan dengan cerita yang padat berisi; atau representasi dangkal atas suatu fakta). Dengan kata lain, hanya narasi yang sederhanalah yang biasanya dapat cepat menyebar. Pada saat yang sama, narasi yang sederhana atau disederhanakan yang berkaitan dengan kegiatan berisiko rendah dan sejalan dengan ideologi metanarasi, seperti nasionalisme dan religiusitas, memiliki potensi lebih tinggi untuk menyebar dengan cepat dan menghasilkan gerakan masif. Sebuah gerakan berkurang kemungkinan suksesnya bila berdasarkan pada narasi yang bertentangan dengan narasi-narasi dominan yang dihasilkan oleh media arus utama. (Lim, 2014:37).
Logika Pemasaran di Ranah Politik
Apa yang dibeberkan oleh Prof. Lim ini mungkin bisa dipandang sebagai rumus sukses di media sosial. Namun, ia sesungguhnya menyajikannya dari perspektif wacana kritis, bahkan dengan sedikit nada cemas.
Misalnya, ia menengarai bahwa keharusan untuk melakukan penyederhanaan penyajian (bahasa dan visualisasi) telah membuat banyak pakar atau ahli enggan menggunakan media sosial untuk menjelaskan fenomena tertentu. Mereka tidak ingin mengambil risiko melakukan penyederhanaan berlebihan sehingga disalah artikan. Ini tentu patut dikhawatirkan karena absennya para pakar dari ranah media sosial memicu tumbuh suburnya pakar-pakar semu.
Selera tajuk berita yang menonjolkan judul yang menarik dan bahkan ekstrem juga merupakan isu yang telah banyak disorot akhir-akhir ini. Judul-judul yang menghebohkan acap kali membuat pemirsa atau pembaca berhenti sampai di judul -- tidak melanjutkan memahami informasi secara utuh. Sedangkan tampilan cuplikan sering merupakan konten visual yang sangat singkat, kebanyakan lebih ditujukan memantik sisi emosional daripada sisi rasional.
Bila meminjam pendekatan wacana kritis Van Dijk, sorotan Prof Lim terhadap praktik yang terjadi di media digital adalah gambaran dominasi kekuatan pasar (kapitalisme) yang kemudian dibawa ke ranah politik. Prof Lim tidak melihat media sosial sebagai public sphere atau ruang publik yang kita bayangkan dalam teori-teori tentang demokrasi deliberatif -- tempat publik berdebat secara leluasa, terbuka, bahkan sengit, tetapi untuk menghasilkan solusi atas masalah-masalah bersama (Perloff, 2021: 28-29). Media sosial dipandang lebih menunjukkan sisi gelapnya, yang oleh Jason Hannan, digambarkan sebagai dua titik ekstrem; di satu sisi ia adalah kontes popularitas (Facebook) dan di sisi lain ajang pembantaian dan perundungan (Twitter atau X) ( Hannan, 2021:6-7).
Berdasarkan studi yang ia lakukan atas berbagai data di sejumlah negara, termasuk Indonesia, Prof Lim mengatakan platform media sosial telah dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik menjadi perahu bagi kepentingan politik mereka menggunakan dominasi kapital. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang disebut oleh Prof Lim sebagai algorithmic white branding. Ini merujuk pada pemanfaatan perangkat digital dan teknologi otomatisasi, untuk menciptakan citra atau brand yang positif bagi kandidat politik atau tokoh masyarakat yang memiliki catatan yang sangat kontroversial atau bermasalah. Strategi ini dipakai untuk membersihkan sejarah kelam mereka dan membentuk ulang narasi untuk menarik pemilih yang lebih muda yang mungkin tidak ingat latar belakang mereka yang bermasalah.
Tidak dapat disangkal algorithmic white branding adalah orkestrasi yang membutuhkan mobilisasi sumber daya modal maupun orang dan tentu piranti teknologi. Menurut Prof. Lim, orkestrasi ini dijalankan dengan menggunakan tenaga-tenaga berbayar, yang kerap disebut sebagai buzzer atau cyber troops. Mereka secara terpola melakukan upaya untuk memanipulasi wacana demi kepentingan aktor politik yang mempekerjakan mereka. Prof Lim melihat hal ini telah menjurus kepada sebuah profesi.
Untuk memuluskan agendanya, para aktor politik tidak segan-segan menggunakan narasi biner (binary naratives) untuk menyemai efek ekstrem, sebagai cara untuk menyatukan pengikut dan memunculkan kubu “kita versus mereka.” Ini dapat berkembang subur di media sosial, karena seperti dijelaskan oleh Hannan (2018) media sosial memiliki sisi gelapnya. Mengutip Warzel (2016), Hannan menulis: Meskipun awalnya dirancang sebagai alat sosial, Twitter (sekarang X) telah berubah menjadi neraka antisosial yang cenderung menimbulkan perilaku paranoid yang reaksioner: penghinaan kejam yang bertujuan untuk menyakiti dan menyinggung, mengusik orang lain, mencari titik lemah mereka, lalu menusukkan pisau dan memutarnya dengan kasar untuk menimbulkan rasa sakit psikologis yang maksimal. Twitter memiliki cara unik untuk mengeluarkan sisi sadis penggunanya. Sulit untuk tidak terjebak dalam lubang hitam… bahkan pengguna yang paling bermartabat pun akan merasa tergoda untuk menanggapi serangan pribadi yang kejam. (Hannan, 2018:6-7).
Agenda Ke Depan
Ada sisi lain yang tampaknya dengan sengaja tidak terlalu banyak dibicarakan oleh Prof Lim, yaitu peran pemilik dan pengelola platform dalam menyelaraskan algoritma dengan tujuan-tujuan demokratis. Begitu juga dengan kemungkinan regulasi yang dapat dibuat oleh pemerintah-pemerintah di berbagai belahan dunia untuk memastikan transparansi algoritma. Hal ini tampaknya bukan tidak disengaja. Prof Lim tidak membicarakannya karena tampaknya ia ingin lebih mengedepankan gagasan utama: meningkatkan resiliensi dan literasi masyarakat menghadapi terpaan algoritma otoritarian.
Prof Lim antara lain menyarankan perlunya dikembangkan jejaring-jejaring kecil yang secara intensional berupaya meningkatkan literasi sehingga anggota masyarakat tidak menjadi korban apalagi alat algoritma otoritarian. Para anggota jejaring itu terkoneksi dilandasi rasa saling percaya dan peduli untuk merebut kembali (atau menjaga) public sphere tetap pada fungsinya -- sebagai arena pertukaran gagasan untuk menghasilkan solusi bagi kepentingan bersama, bukan ajang dominasi kekuatan otoritarian.
Agenda ke depan yang lebih menantang adalah dalam hal kajian atau riset media. Kuliah umum Prof Lim membuka kemungkinan-kemungkinan bagi penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi berbagai teori komunikasi. Misalnya, Prof Lim mengatakan algoritma media sosial sangat menekankan penggapaian sisi emosional, yang dari sudut pandang teori retorika Aristoteles menghadirkan berbagai pertanyaan tentang dinamika logos-ethos-pathos. Sementara dari perspektif agenda setting dan framing, pertanyaan-pertanyaan tentang sejauh mana media dapat memperkuat atau memperlemah .algoritma otoritarian menjadi ranah penelitian yang menantang.
Eben E. Siadari
Referensi
Hannan, J. (2018) Trolling ourselves to death? Social media and post-truth politics, European Journal of Communication 1–13 DOI: 10.1177/0267323118760323 journals.sagepub.com/home/ejc
Lim, Merlyna (2014) "Klik yang tak memantik:aktivisme media sosial di Indonesia," Jurnal Komunikasi Indonesia: Vol. 3: No. 1, Article 4. DOI: 10.7454/jki.v3i1.7846 Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jkmi/vol3/iss1/4
Lim, Merlyna (2023) From Activist Media to Algorithmic Politics: The Internet, social media, and civil society in Southeast Asia. In E. Hanson & M. L. Weiss (Eds.), Routledge Handbook of Civil and Uncivil Society in Southeast Asia. pp 25-44. Routledge.
Perloff, R.M, (2021), The Diynamics of Political Communications, Media and Politics in a Digital Age, New York: Routledge.
Referensi
Hannan, J. (2018) Trolling ourselves to death? Social media and post-truth politics, European Journal of Communication 1–13 DOI: 10.1177/0267323118760323 journals.sagepub.com/home/ejc
Lim, Merlyna (2014) "Klik yang tak memantik:aktivisme media sosial di Indonesia," Jurnal Komunikasi Indonesia: Vol. 3: No. 1, Article 4. DOI: 10.7454/jki.v3i1.7846 Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jkmi/vol3/iss1/4
Lim, Merlyna (2023) From Activist Media to Algorithmic Politics: The Internet, social media, and civil society in Southeast Asia. In E. Hanson & M. L. Weiss (Eds.), Routledge Handbook of Civil and Uncivil Society in Southeast Asia. pp 25-44. Routledge.
Perloff, R.M, (2021), The Diynamics of Political Communications, Media and Politics in a Digital Age, New York: Routledge.

Komentar
Posting Komentar