Anda di Mana: Kubu Zero Sum atau Positive Sum

Barangkali Anda belum sempat membaca The Economist edisi 12 Juli 2025. Di sana ada sebuah esai opini yang menarik dari seorang perempuan profesor ekonomi di Universitas Harvard. Namanya Stefanie Stantcheva.

Perempuan berdarah Prancis ini adalah pemenang The John Bates Clark Medal untuk tahun 2025, yakni penghargaan tahunan prestisius yang diberikan oleh American Economic Association (AEA) kepada ekonom berusia di bawah 40 tahun yang dipandang memberikan kontribusi signifikan kepada pemikiran dan pengetahuan ekonomi. Saya akan nukilkan pikiran-pikirannya dalam esai tersebut untuk Anda, seraya membubuhkan beberapa catatan kecil.

Stantcheva mengajukan pengamatan bahwa berita-berita dewasa ini, termasuk diskursus di media sosial dipenuhi tentang konflik antarkelompok, persaingan memperebutkan sumber daya yang terbatas dengan gambaran bahwa setiap kemenangan bagi satu kelompok adalah kekalahan bagi kelompok lain. Di arena perdagangan, misalnya, banyak orang Amerika berpandangan bahwa jika China meraih keuntungan dalam perdagangan dengan AS, itu berarti AS dirugikan.

Jika semakin banyak mahasiswa asing di universitas-universitas AS, itu berarti peluang bagi warga AS untuk duduk di bangku kuliah semakin berkurang. Jika pemerintah memberi subsidi kepada kelompok minoritas dan perempuan, itu berarti ada yang harus dikorbankan untuk membayar subsidi tersebut.

Sumber daya di dunia ini diibaratkan seperti martabak yang statis. Bila bagian si A lebih besar dari setengah, itu berarti bagian si B akan kurang dari setengah. Cara berpikir seperti ini, kata Stantcheva, adalah cara berpikir zero sum (zero sum thinking). Atau di bagian lain ia menyebutnya zero sum mindset.

Zero sum, kata Stantcheva, adalah keyakinan bahwa jika satu kelompok diuntungkan, maka kelompok lain dirugikan. Atau pada setiap kompetisi untuk mendapat sumber daya, ada satu kelompok yang dieksploitasi.

Misalnya, anggapan bahwa orang-orang kaya mendapatkan rezekinya pasti karena mengeksploitasi orang miskian. Oleh karena itu mengenakan pajak yang lebih besar terhadap orang kaya dapat membantu orang miskin. Di Amerika Serikat, menurut Stantcheva, kaum yang berpikiran zero sum juga cenderung mendukung aturan imigrasi yang ketat untuk melindungi kepentingan domestik.

Pendapat Stantcheva semakin menarik ketika ia menunjukkan bahwa cara berpikir zero sum yang sedang meluas ternyata memiliki akar yang dapat ditelusuri. Studi yang dilakukan oleh Harvard Sosical Economics Lab, lembaga yang didirikan oleh Stantcheva tempat dimana ia menjabat sebagai direktur,menunjukkan adanya pola yang menarik. Menurut studi Stantcheva, masyarakat perkotaan lebih cenderung mengadopsi cara berpikir zero sum ketimbang masyarakat pedesaan. Ini, kata dia, kemungkinan karena kompetisi di kota (di Amerika Serikat) lebih sengit, terutama dalam mendapatkan pekerjaan dan perumahan.

Sementara itu bila mengacu pada latar belakang pendidikan, studi Statcheva menunjukkan masyarakat terdidik lebih cenderung tidak mengadopsi pandangan zero sum ketimbang yang tidak terdirik. Namun, ada yang unik. Mereka yang bergelar PhD cenderung mengadopsi pandangan zero sum. Statcheva menengarai ini kemungkinan karena untuk masuk ke program-program studi bergengsi ini mereka telah melalui kompetisi yang ketat.

Selanjutnya, studi Stantcheva juga menemukan generasi yang lebih muda cenderung lebih berpandangan zero-sum daripada generasi yang tua. Darimana datangnya mindset ini? Stantcheva menepis anggapan bahwa cara berpikir zero sum merupakan bias individu. Menurut dia, cara berpikir zero sum lebih dalam daripada itu. Misalnya, ia mengatakan pengalaman dan lingkungan dimana seseorang berada dapat memperkuat tendensinya untuk mengadopsi cara pandang zero sum. Bahkan bukan hanya pengalaman sendiri, pengalaman keluarga juga ikut berperan.

Dalam pengalaman ini, salah satu faktor yang sangat kuat adalah mobilitas ekonomi. Mereka yang hidup lebih baik daripada orang tua mereka (yang berarti telah mengalami mobilitas ekonomi positif), lebih condong untuk tidak mengadopsi cara berpikir zero sum. Demikian juga mereka yang hidup di lingkungan keluarga yang telah mengalami mobilitas ekonomi, memiliki kecenderungan yang sama.

Hal ini lah, yang menurut Stantcheva, menjelaskan mengapa generasi AS yang lebih muda banyak mengadopsi cara berpikir zero sum. Itu dikarenakan mereka umumnya hidup dalam lingkungan perekonomian yang lebih lambat dan mobilitas ekonomi yang lebih sulit. Ini, kata dia, juga terjadi di negara-negara kaya lainnya. Ini berbeda dengan negara-negara yang lebih miskin, dimana generasi mudanya mengalami pertumbuhan ekonomi negaranya yang lebih baik.

Cara berpikir zero sum, menurut Stantcheva, juga cenderung tidak diadopsi oleh kalangan imigran. Ini dikarenakan mereka menikmati perekonomian yang lebih baik. Mereka yang hidup di lingkungan yang sebagian besar warganya imigran juga cenderung lebih tidak mengadopsi pandangan zero sum. Sebaliknya, mereka yang mengalami masa, keadaan, dan lingkungan yang bersifat zero sum cenderung memiliki pandangan zero sum.

Misalnya, mereka yang merupakan keturunan dari generasi yang mengalami masa perbudakan maupun persekusi Holocaust cenderung memiliki pandangan zero sum. Hal ini memiliki efek yang lebih luas. Misalnya, mereka yang hidup di bagian AS dimana perbudakan meluas, mereka juga cenderung mengadopsi pandangan zero sum, bahkan seandainya orang tua mereka tidak mengalami perbudakan. Tempat-tempat yang tidak pernah mengalami perbudakan, tetapi memiliki penduduk yang berasal dari Selatan Amerika yang membawa cara pandang sistem perbudakan, juga menunjukkan level pandangan zero sum.

Dengan kata lain, cara berpikir zero sum adalah refleksi dari realitas yang dialami. Memang, menurut Stantcheva, realitas penuh dengan fenomena zero sum, terutama dalam jangka pendek. Tetapi jangan dilupakan, menurut dia, kebijakan juga dapat mendorong bahkan menciptakan zero sum.

Meskipun tidak dia katakan, tetapi jelas, Stantcheva berdiri di kubu yang menolak mengadopsi cara berpikir zero sum dan sebaliknya lebih pada cara berpikir positive sum. Ia berpendapat berbagai kebijakan dapat dibuat untuk menciptakan ekosistem positive sum dan mengeliminasi ekosistem zero sum.

Stantcheva tidak mengatakan bahwa pendapatnya ini diarahkan kepada kebijakan perdagangan luar negeri AS, namun, saya menengarai ia sedikit banyak sedang mengarahkan anak panah kepada Donald Trump. Kebijakan perdagangan luar negeri Trump dewasa ini disebut-sebut menganut paham merkantilisme, yang populer di Eropa abad ke 16 hingga abad ke-18 namun sesungguhya telah ditinggalkan di era perdagangan bebas. Paham merkantilisme meyakini bahwa kekayaan suatu negara diukur dari banyaknya modal atau aset yang dimiliki, dan sangat menekankan pentingnya surplus perdagangan (ekspor lebih besar dari impor). Untuk itu kebijakan proteksionis dikedepankan, sebaliknya, upaya melemahkan negara lain diperkuat. Kolonialisme untuk mengeksploitasi sumber daya dan pasar negara-negara jajahan sering dikaitkan dengan paham merkantilisme.

Mahasiswa Ilmu Ekonomi di tahun-tahun pertama mempelajari perdagangan internasional (setidaknya berdasarkan pengalaman saya) diajarkan tentang positive sum dari perdagangan internasional. Dengan pembagian kerja berdasarkan keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, semua negara saling diuntungkan dari perdagangan internasional.

Saya teringat di pada tahun 1990-an, almarhum Suhadi Mangkusuwondo, anggota APEC Eminent Persons Group yang mewakili Indonesia pada periode 1993- 1996, dengan sangat yakin selalu mengatakan pentingnya pasar internasional yang bebas, karena dengan pasar yang bebas semua negara mengambil keuntungan dari perdagangan. Di balik gaya berbusananya yang sangat konservatif, saya selalu terpukau dengan pemikiran-pemikiran almarhum Suhadi yang sangat positif terhadap perdagangan bebas.

Sayangnya dewasa ini, seperti yang diamati oleh Stantcheva, cara berpikir zero sum tersebut tampaknya semakin kuat. Bila Stantcheva mengemukakan faktor-faktor pengalaman dan lingkungan historis mempengaruhi, saya berpikir, polarisasi akibat persaingan politik telah ikut menyuburkan cara berpikir zero sum, bukan hanya di AS, tetapi di berbagai belahan dunia.

Polarisasi akibat kontestasi pemilu, misalnya, sering kali terpelihara dan terus berlarut-larut hingga pada pemilu berikutnya. Pembelahan yang terjadi mengakibatkan cara berpikir zero sum menemukan bahan bakarnya. Kebijakan apa pun yang diambil oleh kelompok pemenang, akan dianggap sebagai ancaman terhadap kelompok yang kalah. Sebaliknya, kritik apa pun yang disampaikan kelompok yang kalah, selalu dipandang sebagai upaya menumbangkan pihak pemenang.

Meskipun demikian, Stantcheva tidak sedang meniupkan angin pesimisme. Dari perspektif negara, ia menilai berbagai kebijakan dapat dirumuskan untuk mengurangi cara berpikir zero sum. Pada intinya adalah perlu diciptakan kebijakan (dan narasi) yang mengurangi penekanan pada isu-isu kelangkaan (scarcity) atau keterbatasan sumber daya. Sebaliknya, mengedepankan tentang isu-isu perluasan peluang, pembebasan batasan-batasan atau hambatan, dan diskriminasi.

Oleh karena itu kebijakan untuk memperluas akses kepada sumber daya, (artinya mengurangi proteksi dan mengeliminasi perkoncoan), penting untuk diutamakan. Ibarat sedang menyiapkan kue tart, kue tartnya perlu diperbesar daripada berfokus pada bagaimana pembagian kue, dan siapa yang akan menerima lebih besar atau lebih kecil.

Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya