Menulis Naskah Panjang di Platform Media Sosial, Mengapa Tidak


Terlalu sering dan terlalu banyak nasihat kepenulisan yang menyarankan agar tidak menulis naskah panjang di platform media sosial. Begitu seringnya sehingga kemungkinan besar hal itu ditafsirkan sebagai larangan.

Apakah betul tidak boleh menulis naskah panjang di platform media sosial? Mengapa beberapa platform media sosial tertentu memberi privilese kepada sebagian penggunanya untuk menulis naskah dengan panjang yang tak terbatas? Mengapa X (dh Twitter) justru memperlonggar batasan jumlah karakter teks?

Anjuran untuk tidak menulis naskah panjang di platform media sosial umumnya didasarkan pada pertimbangan praktis. Alasan paling utama yang sering dikemukakan ialah pengguna media sosial memiliki rentang perhatian yang pendek, sehingga mereka tidak cukup waktu membacanya.

Sementara alasan ini memang benar, atau valid, tidak berarti solusi satu-satunya adalah menulis naskah pendek. Masih banyak cara untuk memikat pengguna platform media sosial selain dengan menulis pendek. Pilihan isu, substansi, diksi, dan teknik menulis, terbuka untuk dieksplorasi.

Mengapa hal ini penting dikemukakan? Karena manusia pada dasarnya tidak menyukai pembatasan menyampaikan gagasan, termasuk dalam hal urusan panjang-pendek uraiannya. Tentu harus ada kesadaran diri untuk tidak bertele-tele atau sengaja memanjang-manjangkan tulisan demi alasan apa pun. Namun mengharuskan naskah harus pendek, apalagi sependek mungkin, tidak menyelesaikan persoalan.

Ada banyak alasan mengapa kita harus memiliki kebebasan, atau paling tidak kelonggaran dalam menentukan panjang pendek naskah. Kreativitas akan muncul lebih mudah manakala pikiran tidak dibebani oleh pembatasan panjang pendeknya gagasan yang akan dikemukakan. Di sisi lain, gagasan penulis juga akan lebih kecil peluangnya disalahtafsirkan  karena kekuranglengkapan narasi.
Pertanyaan berikutnya kembali ke masalah awal, bagaimana menulis naskah panjang di tengah rentang perhatian pembaca platform media sosial yang begitu pendek? Bukankah dengan melihat teks yang menggunung mirip apartemen 30 tingkat sudah membuat pembaca ill feel?
Menjawab pertanyaan ini saya mengajukan proposisi terinspirasi dari tiga analogi berikut ini.
 
Analogi Konsep Monopoli

Dari Ilmu Ekonomi kita mengenal konsep monopoli. Posisi monopoli adalah ketika di pasar hanya terdapat satu penjual tunggal, yang berkuasa untuk menentukan harga. Tidak tersedia barang sejenis atau hampir sama, yang dapat menggantikan produk yang diproduksi pemegang posisi monopoli. Akibatnya, pembeli harus membeli produk dari pemegang hak monopoli.

Sering kali posisi monopolistik dipandang negatif, apalagi bila hal itu diperoleh dengan privilese proteksi regulasi secara manipulatif yang mengabaikan prinsip efisiensi. Namun, sesungguhnya banyak yang berhasil mencapai posisi monopoli secara alamiah, sebagai hasil dari kemampuannya berproduksi secara efisien, dengan kualitas yang teruji, atau berhasil membuat diferensiasi produk, membangun merek yang diidolakan, atau keberhasilan memanfaatkan keunggulan berbagai faktor produksi eksklusif, seperti lokasi dan bahan baku.

Saya cukupkan di sini penjelasan tentang monopoli dari perspektif ekonomi, untuk mengkonversinya ke dalam praktik menulis. Menulis pada dasarnya adalah upaya untuk meraup perhatian pembaca dan sedapat mungkin memonopoli perhatian tersebut. Segala upaya penulis untuk memilih judul, merangkai kata, menyusun paragraf, mengatur plot, dan seterusnya, adalah untuk memonopoli perhatian pembacanya.

Sekarang, bagaimana inspirasi dari perspektif ekonomi tentang posisi monopoli dapat dieksplorasi ke dalam praktik kepenulisan? Ada banyak cara yang dapat dipilih meskipun bukan pekerjaan instan. Misalnya, dengan membuat diferensiasi tulisan, entah itu dari segi pilihan isu, kedalaman substansi, personal branding, hingga teknik-teknik kepenulisan yang sesungguhnya dapat dipelajari. Bila hal ini dapat dibangun, pembaca tidak peduli apakah tulisan Anda panjang atau pendek.


Analogi Pengkhotbah
 
Khotbah adalah elemen penting dalam sebuah ibadah. Apakah khotbah tersebut panjang atau pendek, disampaikan dengan diimbuhi lelucon atau ngegas terus dari awal sampai akhir, jemaat yang hadir dalam ibadah akan mendengarkannya. Jemaat mendengarkannya karena merasa wajib mendengarkannya. Pada taraf tertentu bahkan akan merasa bersalah bila melewatkannya.
 
Mungkin saja sekali atau dua kali khutbah itu terasa sangat panjang, bahkan berkepanjangan. Atau satu dua jemaat harus menguap berkali-kali karena malam sebelumnya kurang tidur. Namun mereka tetap setia mendengarkannya dari awal sampai selesai.
 
Penulis juga dapat mengambil inspirasi dari analogi ini. Banyak penulis yang menyadari atau tidak menyadarinya memperoleh posisi seperti pengkhotbah di tengah ibadah. Para pembaca setianya merasa harus mengikuti tulisannya dan merasa bersalah bila melewatkannya. Tidak perduli tulisannya panjang atau pendek.

Analogi Tuan Rumah Jamuan Makan
 
Tatkala menghadiri jamuan makan adalah pada tempatnya para undangan menaruh perhatian pada ‘pidato’ sang sahibul hajat. Para undangan pasti ingin tahu mengapa tuan rumah mengadakan jamuan makan yang biasanya akan diungkapkan lewat sepatah dua patah kata. Reaksi saat mendengar sepatah dua patah kata tersebut selalu beragam tetapi pada umumnya adalah ungkapan bersetuju dan mendukung dengan niatan sang tuan rumah.

Penulis dapat memosisikan diri seperti tuan rumah jamuan makan.  Para pembaca mengambil posisi sebagai sahabat/kerabat yang hadir memenuhi undangan tuan rumah karena didorong oleh rasa hormat, empati, atau perasaan terhubung lainnya. Perasaan seperti ini dapat tumbuh di kalangan pembaca dikarenakan reputasi, rekam jejak, atau bahkan jasa penulis yang telah dirasakan. Dalam hal ini faktor-faktor kepenulisan dan faktor-faktor nonkepenulisan berpilin dan berkelindan menjadi sebuah keistimewaan yang tak tergoyahkan. Pembaca akan membaca tulisan sang penulis sependek atau sepanjang apa pun itu, seperti para hadirin jamuan makan yang akan menunggu dengan setia tuan rumah menyelesaikan pidatonya, sebelum pergi  bersantap.

Banyak analogi lain yang dapat dikemukakan untuk mendukung proposisi: menulis panjang di platform media sosial, mengapa tidak. Anda bisa menambahkannya, dan jangan takut menulis panjang, jika Anda merasa harus melakukannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya