Ekonomi atau Kebebasan Pers: Mana Lebih Dulu
Beberapa dekade lalu salah satu alasan negara-negara di dunia ketiga mengekang kebebasan pers ialah soal ekonomi. Keadaan ekonomi dipandang masih belum maju, stabil, dan modern. Karena itu masyarakat dianggap belum siap dengan kebebasan pers. Pembangunan menjadi prioritas, termasuk bila harus mengorbankan kebebasan pers.
Pandangan sebaliknya berkembang di negara-negara maju.
Pandangan itu mengatakan tidak mungkin sebuah negara membangun perekonomian tanpa
demokrasi. Kebebasan pers adalah elemennya yang tak terpisahkan. Dengan
kata lain demokrasi (dan kebebasan pers) mutlak sebagai prasyarat kemajuan
ekonomi.
Para ahli sudah lama meneliti hubungan antara kedua hal ini:
kemajuan ekonomi dan kebebasan pers. Siapa memengaruhi siapa? Apakah kebebasan
pers memengaruhi kemajuan ekonomi, atau kemajuan ekonomi memengaruhi kebebasan
pers?
Sebuah studi terbaru yang menarik tentang hal ini saya baca
baru-baru ini. Judulnya, "It's The Economy Stupid", Is It Not? The
Relationship Between Press Freedom And The Status Of The Economy In Western
Media Systems. Studi ini dijalankan oleh Theodora A Maniou, dosen di
Jurusan Jurnalisme di Department of Social & Political Sciences, University
of Cyprus, Nicosia, dan Elena Kettenib, dosen di Department of Business
Administration, Frederick University, Nicosia, Siprus. Studi mereka
dipublikasikan di jurnal Journalism Studies pada 7 Maret 2023.
Kedua akademisi Siprus ini berangkat dari pengamatan bahwa
riset yang menunjukkan kebebasan pers memengaruhi kemajuan ekonomi sudah sangat
banyak, namun yang meneliti tentang kemajuan ekonomi memengaruhi kebebasan pers
masih sedikit. Karena itu mereka ingin meneliti hubungan yang terakhir ini. Di
antara penelitian yang menunjukkan kemajuan ekonomi memengaruhi kebebasan pers,
menurut mereka, adalah studi Dutta dan Roy (2009). Studi itu memperlihatkan
ekonomi memengaruhi kebebasan pers lewat investasi asing langsung. Integrasi
global akibat investasi asing langsung dapat memperkuat sektor media secara
finansial, juga meningkatkan teknologinya.
Studi lainnya yang juga mereka garisbawahi adalah yang
dilakukan oleh Alam, Z, dan Shah (2013). Studi mereka meneliti relasi kebebasan
pers, pertumbuhan ekonomi, dan investasi asing langsung. Studi dengan
menggunakan data 115 negara itu menunjukkan hubungan signifikan dua arah antara
ekonomi dan kebebasan pers. Studi itu juga mengindikasikan bahwa negara yang
pertumbuhan ekonominya berkelanjutan akan memberi tambahan kebebasan pers.
Theodora Maniou dan Elena Kettenib dalam studi terbaru ini
melangkah lebih dalam. Studi mereka tidak hanya menguji pengaruh kemajuan
ekononi terhadap kebebasan pers, tetapi mereka mengujinya pada sistem pers yang
berbeda. Studi Theodora A Maniou dan Elena Kettenib memiliki dua hipotesis.
● H1. Keadaan ekonomi suatu negara dapat memengaruhi tingkat kebebasan pers.
● H2. Pengaruh kondisi ekonomi terhadap tingkat kebebasan pers bervariasi di antara sistem media yang berbeda.
Untuk melihat perbedaan sistem media, mereka membagi sistem
pers menjadi empat golongan:
■ Golongan pertama, sistem Mediteranian/pluralis terpolarisasi (terdiri dari negara-negara di Eropa bagian Selatan).
■ Golongan kedua, sistem demokratik dan korporatis Eropa Utara/ (negara-negara di Eropa bagian Utara)
■ Golongan ketiga, sistem Atlantik Utara/model liberal (terdiri dari Inggris, Irlandia dan AS).
■ Golongan keempat negara-negara pascakomunis.
Beberapa hal yang mendasari penggolongan ini adalah derajat intervensi negara terhadap pers, pengembangan pasar media, dan profesionalisme jurnalistik.
Lebih jauh, untuk menilai sejauh mana kondisi ekonomi dapat berdampak pada kebebasan pers di berbagai negara/sistem media, Maniou dan Elena Kettenib menganggap penting untuk memasukkan faktor korupsi, yang sudah banyak ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Korupsi secara luas diakui mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kondisi ekonomi. Sementara pada berbagai penelitian juga ditemukan bukti hubungan yang terbalik antara korupsi dan kebebasan pers. Tingkat kebebasan pers yang lebih tinggi berkaitan dengan tingkat korupsi yang lebih rendah.
Maniou dan Kettenib juga mengemukakan alasan teoritis dan empiris untuk meneliti
adanya hubungan sebab akibat antara kebebasan pers dan korupsi. Kausalitas dua
arah telah diidentifikasi oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, Maniou
dan Kettenib dalam penelitiannya memasukkan korupsi ke dalam variabel-variabel
yang diteliti, untuk menguji kemungkinan dampaknya terhadap kebebasan pers dan
mengkaji sebab-akibat terbalik.
Studi Maniou dan
Kettenib menganalisis data secara kuantitatif dari 18 negara dalam periode
waktu 2002-2019. Variabel dependen dalam studi ini, yaitu variabel Kebebasan
Pers, diekstrak dari Indeks Kebebasan Pers dan dari variabel Freedom House.
Sedangkan variabel independen, yaitu kemajuan ekonomi, diwakili oleh
pertumbuhan PDB per kapita (% per tahun); tabungan domestik bruto (% dari PDB), pengangguran (% dari total angkatan kerja); inflasi (%) pertahun, Utang
pemerintah (% dari PDB); neraca fiskal pemerintah ( % dari PDB); dan suku bunga
(yield obligasi pemerintah jangka panjang, 10 tahun, dan suku bunga kebijakan
jangka pendek).
Studi ini menyimpulkan bahwa kedua hipotesis tersebut
diterima. Artinya, keadaan ekonomi suatu negara memengaruhi tingkat kebebasan
pers, dan pengaruh kondisi ekonomi tersebut bervariasi di antara sistem media
yang berbeda. Bagaimana variasi variabel ekonomi pada sistem media yang berbeda?.
● Pertama, negara yang masuk dalam sistem Mediteranian/pluralis terpolarisasi (terdiri dari negaranegara di Eropa bagian Selatan), variabel ekonomi yang paling signifikan memengaruhi kebebasan pers adalah pertumbuhan PDB per kapita, utang pemerintah dan neraca fiskal, korupsi dan suku bunga.
● Kedua, di negara yang termasuk pada sistem demokratik dan korporatis Eropa Utara/ (negara-negara di Eropa bagian Utara), variabel ekonomi yang paling signifikan memengaruhi kebebasan pers adalah inflasi dan korupsi.
● Ketiga, di negara di negara dengan sistem Atlantik Utara/model liberal (Inggris, Irlandia dan AS) pengangguran, inflasi, dan utang pemerintah serta korupsi paling memengaruhi kebebasan pers.
● Keempat, di negara-negara pascakomunis, variabel ekonomi yang paling signifikan mepengaruhi kebebasan pers adalah pertumbuhan PDB per kapita, tabungan, inflasi, dan neraca fiskal pemerintah.
Semoga riset ini memberi ide liputan bagi wartawan di Asia,
termasuk Indonesia.

Komentar
Posting Komentar