Apa Pelajaran Penting bagi Jurnalis dari Pilpres AS

Kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS menyisakan banyak pelajaran berharga bagi jurnalis dan praktisi media massa. Kebanyakan berupa ‘pil pahit.’ Salah satunya adalah tentang jawaban terhadap pertanyaan apakah relasi Trump yang tidak selalu mulus dengan media (terutama media arus utama) turut menjadi faktor pemicu kemenangannya.

Bagi sebagian pendukung Trump jawabannya tampaknya ya. Mereka menilai media arus utama tidak mendengar aspirasi publik. Alih-alih berusaha menemukan suara public yang hakiki, media dinilai lebih condong membawa agenda sendiri.

Tentu tidak ada salahnya media mengambil langkah demikian. Bagaimana pun media juga sering menempatkan diri sebagai pembentuk, penentu, bahkan pengarah opini publik. Mereka merasa berkewajiban menjadi pemandu, apalagi bila menilai public tengah dalam keragu-raguan. Namun, justru di sini kontradiksinya. Media tampaknya gagal memahami bahwa publik justru semakin memiliki kapasitas menemukan informasi menentukan pilihan, di luar media arus utama. Bagi pendukung Partai Republik, menjauh dari pengaruh media massa dan mengandalkan nalar sendiri dalam membuat pilihan justru memberi hasil menguntungkan.

Pandangan ini saya sarikan dari serangkaian suara sejumlah pentolan pendukung Trump di platform X pasca kemenangan Trump. Sebagian besar mereka kecewa terhadap liputan media pada masa kampanye dan kemenangan Trump dianggap sebagai validasi atas penilaian mereka terhadap media.

Meskipun bukan pendapat resmi dan acap kali disampaikan dalam nada euforia kemenangan setelah berbulan-bulan perang psikologis selama kampanye, argumen-argumen itu bukan tanpa dasar. Sebuah jajak pendapat yang disajikan dalam laporan berjudul “2024 US Elections: Sources of news and information” sedikit banyak menyiratkan hal itu. Jajak pendapat tersebut diprakarsai oleh The Civic Health And Institutions Project melibatkan 11 peneliti dari Rutgers University, Northeastern University, University of Rochester, Harvard University, dan Harvard Medical School dengan 25.518 responden di 50 negara bagian AS. Jajak pendapat itu mencoba memotret perilaku media warga negara AS dalam membuat keputusan pada pilpres AS.

Berikut ini beberapa rangkuman saya atas survei tersebut.

1. Berita bukan lagi sumber utama informasi untuk mengambil keputusan memilih.

Media berita (televisi, cetak, dan media online) sebagai sumber informasi utama hanya berlaku bagi 26 persen responden. Sebanyak 74 persen responden mengatakan informasi seputar pilpres mereka peroleh dari sumber bukan media berita.

Apa saja yang termasuk bukan media?: keluarga dan teman (dipilih oleh 29 persen responden), rekomendasi partai (13 persen), media sosial (9 persen), direct mail (3 persen), newsletter (2 persen), saran tokoh agama (1 persen), dukungan selebriti (1 persen), dan lainnya (14 persen).

2. Proporsi Pendukung Partai Republik paling besar ‘meninggalkan’ media berita.

Hanya 22 persen pendukung Partai Republik yang mengandalkan berita sebagai dasar mengambil keputusan. Bandingkan dengan pendukung Partai Demokrat sebesar 28 persen dan kalangan independen sebesar 27 persen.

3. Proporsi pendukung Partai Republik juga yang terbesar menyatakan tidak puas terhadap berita.

Hanya 24 persen pendukung Partai Republik yang mengatakan sangat puas terhadap berita politik yang disajikan oleh media lokal. Sebanyak 43 persen mengatakan agak puas, dan 34 persen menyatakan tidak puas. Bandingkan dengan pendukung Partai Demokrat yang sebanyak 38 persen menyatakan sangat puas, 45 persen agak puas dan 17 persen tidak puas. (Catatan: jajak pendapat hanya menanyakan tingkat kepuasan terhadap berita oleh media lokal. Tidak dijelaskan alasan mengapa tingkat kepuasan terhadap media nasional tidak ditanyakan).

4. Ketimbang mengandalkan media berita, pendukung Partai Republik lebih mengandalkan keluarga dan teman dalam memutuskan pilihan pada pilpres.

Sebanyak 34 persen responden pendukung Partai Republik menyatakan mengandalkan keluarga dan teman sebagai sumber informasi mengambil keputusan memilih, sedangkan yang mengandalkan media berita hanya 24 persen. Berbeda halnya dengan pendukung Partai Demokrat yang hanya 27 persen menempatkan keluarga dan teman, sedangkan mengandalkan media berita sebanyak 29 persen.

5. Media sosial bukan menjadi andalan utama sumber informasi dalam mengambil keputusan.

Berbeda dengan glorifikasi media sosial sebagai penentu keputusan, jajak pendapat ini hanya menempatkan media sosial di urutan keempat (9 persen). Secara berurutan sumber informasi penentu keputusan responden adalah (1) keluarga dan teman, (2) berita, (3) nominasi partai, (4) media sosial, (5), direct mail, (6) newsletter, (7) rekomendasi tokoh agama, (8) selebriti, (9) dan lainnya.

Dari hasil survei ini terlihat relasi pendukung Partai Republik dengan media lebih problematik dibandingkan dengan relasi Partai Demokrat. Ironisnya, dengan hubungan yang demikian, Partai Republik justru dapat memenangkan pilpres. Apakah dengan demikian relasi yang lebih berjarak itu menjadi penyumbang kemenangan Partai Republik? Apakah hal itu berarti semakin berjarak dari media semakin membuka kemungkinan memenangkan pilpres?

Sedikit jawaban terhadap pertanyaan ini dapat ditemukan pada esai Peter Luca Versteegen, postdoctoral fellow di University of Vienna, Austria. Verstegeen menulis di Los Angeles Times dengan judul What the Media Still Get Wrong About Trump Voters, dan dipublikasikan pada 15 September 2024. Esainya didasarkan pada penelitiannya yang berjudul “Trump Voters’ Social Position in US Society: Uniqueness and Radical -Right Support,” dimuat pada jurnal Political Psychology, 6 Mei 2024.

Menurut dia, media sering keliru dalam mendeskripsikan salah satu elemen penting pendukung Trump yakni kalangan kulit putih dan kalangan Kristen. Mungkin benar bahwa sebagian pendukung Trump dari kluster ini secara demografi berada di pedesaan, berpendidikan tidak terlalu tinggi dan dari kelas pekerja. Namun ketika media mendeskripsikan mereka sebagai kaum termarginalkan atau mereka yang tertinggal (left behind), ada persoalan yang justru menguntungkan Trump.

Deskripsi tersebut dapat mendiskreditkan dan memicu ketersinggungan di kalangan kulit putih secara keseluruhan. Hal ini kemudian memunculkan simpati kepada mereka dan pada gilirannya memperbesar dukungan kepada Trump.

Faktor lain, menurut Verstegeen, adalah munculnya perasaan ‘tidak dianggap’ dan ‘tidak dihormati’ di kalangan kulit putih dan Kristen, padahal kalangan ini secara historis merupakan elemen yang kuat dalam masyarakat AS. Mereka menilai nilai-nilai mereka seakan dikecualikan dan tidak diperhitungkan.

Selama ini, menurut Verstegeen, media kerap memotret mereka sebagai orang-orang radikal berpendapatan rendah yang memprotes elit politik. Ini, menurut dia, keliru dan sudah sering dibantah secara akademis. “Hal ini tidak hanya menutupi diskriminasi dan ketidakadilan yang sebenarnya terhadap kelompok-kelompok yang kurang mampu, tetapi juga memicu sentimen pro-Trump……Bahasa yang ceroboh tentang simpatisan Trump yang ‘tertinggal’ adalah salah besar; mereka adalah anggota kelompok dominan yang ingin tetap dominan. Pada akhirnya, para pemilih Trump mendukung ideologi yang rasis, seksis, dan eksklusif. Mendukung politisi sayap kanan radikal bukanlah suara protes, tetapi suara untuk status quo,” tulis Verstegeen.

Lebih jauh, ia juga menaruh sorotan kepada kalangan liberal yang mempertahankan posisinya dan tidak memberi toleransi untuk bergeser ke kanan. Menurut dia, hal ini memperkuat retorika sayap kanan radikal, padahal seharusnya mereka dapat melakukan pendekatan yang lebih menjanjikan, yaitu mengangkat seruan agar rasa hormat dan apresiasi yang secara objektif sesungguhnya telah dinikmati oleh kalangan kulit putih, dibangkitkan dan selalu diingatkan.

“Jika beberapa anggota kelompok ini merasa menjadi bagian dari bangsa Amerika tetapi secara subjektif merasa tidak dihormati, mengoreksi persepsi yang salah ini dapat membantu individu tersebut merasa diterima. Dalam lingkungan berita yang terpolarisasi, banyak orang Amerika memiliki banyak persepsi yang salah tentang anggota kelompok lain; anggota kelompok istimewa mungkin mengonsumsi berita yang memberikan kesan keliru bahwa orang lain tidak menghormati mereka. Informasi faktual apa pun yang dapat menjangkau individu istimewa tersebut dapat mengurangi persepsi pengabaian atau ketidakhormatan.”

Verstegeen mengarahkan ‘nasihat’nya kepada kalangan media di AS, tetapi saya kira hal itu berguna untuk direnungkan oleh para wartawan di negara mana pun.

Eben E. Siadari  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya