Sepotong Kecil Pidato Presiden Prabowo tentang Arti Nama Sri Mulyani

Beberapa media memberitakan penggalan pidato Presiden Prabowo Subianto tentang Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat menghadiri peluncuran 80.081 kelembagaan koperasi desa/kelurahan di Klaten, 21 Juli lalu. Dalam pidato tersebut Prabowo mengisahkan gagasan-gagasannya yang sering merepotkan Menkeu Sri Mulyani sebagai bendahara negara dalam hal penyediaan anggaran.

Menurut Prabowo, Menkeu Sri Mulyani sering harus berpikir keras bahkan stres karena hal itu. Tetapi, kata Prabowo, hal itu tidak jadi masalah karena tujuan gagasan itu adalah mulia. Dan mengenai soal-soal yang berkaitan dengan kemuliaan, dalam pandangan Prabowo, Sri Mulyani orang yang tepat.

“Yang mengupayakan Menteri Keuangan, semakin stres itu. Tapi tidak apa-apa, Bu, ini mulia. Nama ibu kan Sri Mulyani, jadi harus yang mulia-mulia, Bu. Ibu akan dicintai oleh semua desa di seluruh Indonesia," kata Prabowo.

Menurut media, komentar tersebut disambut tempuk tangan dan tawa hadirin. Media menyebut Prabowo melontarkannya sebagai candaan.

Dilontarkan secara bercanda atau tidak bercanda, sebuah percakapan dalam perspektif komunikasi selalu tentang pesan. Apalagi disampaikan lewat mimbar yang disediakan untuk tujuan itu. Disengaja atau tidak disengaja, percakapan selalu membawa atau menyampaikan pesan, entah pesan yang memang dirancang sebagai pesan, atau dibuat tersembunyi, atau bahkan mungkin tak disadari telah merupakan sebagai sebuah pesan.

Saya terutama tertarik dari cara Prabowo menggunakan nama Menkeu untuk mengkonstruksi realitas tentang diri Sri Mulyani sekaligus realitas program-program yang digulirkan pemerintahannya. Dalam tradisi Ilmu Komunikasi dikenal paradigma konstruktivisme, yaitu cara pandang terhadap dunia yang mengatakan bahwa realitas itu bersifat subjektif. Ia secara aktif dibentuk oleh individu melalui pengalaman dan interaksi sosial mereka. Dalam hal ini realitas bukan merupakan hal yang sudah ada, given, dan objektif, melainkan secara terus-menerus dibangun dan diinterpretasikan oleh setiap individu. Realitas tidak dapat dipisahkan dari individu yang mengalami dan mengamatinya.

Ini berbeda dengan paradigma positivisme yang lazim dipakai dalam ilmu-ilmu eksakta. Realitas selalu dipandang sebagai sesuatu yang dapat diamati dari ‘luar’ secara empirik. Realitas dapat diringkus dengan mereduksi elemen-elemen subjektif. Subjek bahkan dapat berada di luar atau setidaknya, dapat memisahkan diri dari realitas. (Misalnya, mengamati tikus percobaan di laboratorium).

Lewat pidatonya, Prabowo sedang menggunakan paradigma konstruktivisme, untuk membangun realitas tentang sosok Menkeu dan program-program pemerintah yang sedang dirancang dan dijalankan. Ia memakai nama Sri Mulyani sebagai jangkar konstruksinya. Sri Mulyani bermakna sinar yang mulia atau cahaya yang mulia; atau dalam kata-kata Prabowo, segala hal yang berhubungan dengan yang mulia. Dengan demikian, Prabowo sedang menyampaikan pesan bahwa program-program yang dijalankan pemerintahannya bersifat mulia, bertujuan untuk menyejahterakan orang banyak, dan ditangani oleh orangorang yang tepat, yakni orang-orang yang berhati mulia, antara lain Sri Mulyani.

Pemilihan Nama sebagai Konstruksi Realitas

Banyak orang tua mengkonstruksi realitas yang diharapkan terhadap putra-putrinya lewat penyematan nama yang bermakna baik dan acap kali futuristik. Namiun, sering kali konstruksi itu tidak berhasil. Paling tidak, pada percobaan pertama. Misalnya, orang tua presiden pertama RI pada awalnya memberi nama Kusno kepada putranya. Namun di kemudian hari nama itu berganti menjadi Soekarno.

Kedua orang tua Soekarno mungkin pada awalnya ingin mengkonstruksi harapan bahwa suatu hari nanti putranya menjadi seseorang yang terpelajar, terdidik yang cinta ilmu: kusno. Namun konstruksi itu tak seperti yang diharapkan. Kusno kecil sakit-sakitan. Maka namanya diubah menjadi Soekarno. Dengan konstruksi baru sang putra diharapkan kelak menjadi orang yang sehat dan membawa keberuntungan seperti Karna dari kisah Mahabharata.

Demikian juga orang tua Presiden ke-7 RI menyematkan nama Mulyono kepadanya ketika masih kecil. Di tengah perjalanan nama itu harus diganti karena konstruksi realitas yang diharapkan tidak sesuai. Mulyono kecil sering jatuh sakit, sehingga namanya diubah menjadi Joko Widodo. Nama terakhir ini bermakna pria yang sehat, selamat, sejahtera, dan sukses. Konstruksi realitas yang diharapkan lewat penggantian nama itu ternyata berhasil. Mulyono kecil yang sakit-sakitan akhirnya menjadi sehat, sejahtera, dan bahkan sukses setelah berganti nama menjadi Joko Widodo.

Saya menggunakan kisah ini untuk mengantarkan sebuah peristiwa di India yang sudah sangat lama (dan mungkin Anda juga telah membacanya) tetapi saya kira masih tetap relevan. Saya membacanya dalam berita yang ditulis oleh kantor berita Associated Press (AP) pada 22 Oktober tahun 2011, tentang sebuah seremoni di desa Satara, India. Diberitakan bahwa pada hari itu, 285 anakanak perempuan hingga remaja, ramai-ramai berganti nama lewat sebuah upacara. Pergantian nama itu bukan sekadar diselenggarakan dalam sebuah ritual, tetapi lengkap diresmikan oleh pemberian sertifikat pergantian nama. Sejak hari itu, ratusan anak-anak perempuan resmi meninggalkan nama lamanya, dan mulai mengenakan nama baru.

Kenapa mereka harus berganti nama? Apakah nama lama mereka itu jelek? Ya, memang begitulah.

Anak-anak perempuan yang berganti nama umumnya mempunyai nama lama yang mempunyai arti sangat tidak enak. Umumnya dulunya mereka diberi nama Nakusa atau Nakusi. Dalam Bahasa Hindi, ini berarti 'orang yang tidak diinginkan' atau 'orang yang tidak diharapkan.' Kesempatan berganti nama kali ini mereka gunakan untuk mengakuisisi nama-nama yang bermakna lebih bagus. Semisal, Aishwara (nama artis Bollywood yang terkenal), Savitri (nama salah seorang dewa) mau pun Vaishali (makmur, indah atau baik). Tentu timbul pertanyaan, bagaimana caranya sehingga anak-anak perempuan ini bisa mendapatkan nama jelek seperti Nakusa atau Nakusi? Apakah para orang tua mereka tidak sempat berpikir untuk memberi nama yang lebih baik ketika mereka lahir?

Di sini kita menemukan potret sosial yang mengenaskan di desa Satara, dan di banyak desa India lainnya. Di banyak wilayah di India, demikian laporan Associated Press, anak perempuan masih dianggap beban. Beban berat itu antara lain dalam soal menanggung biaya menikahkannya. Oleh tuntutan adat, banyak orang tua yang harus terjerat utang demi menyelenggarakan pesta perkawinan anak perempuannya serta demi membayar uang mahar yang pengaturannya rumit. Beda dengan anak laki-laki. Ketika ia menikah, ia justru akan membawa uang mahar bagi orang tuanya.

Adat juga mengharuskan hanya anak lakilaki yang berhak menyalakan api dalam upacara kremasi ketika orang tua mereka meninggal. Maka tidak mengherankan bila banyak keluarga tidak terlalu mengharapkan kehadiran anak perempuan. Itu pula sebabnya, tidak sedikit anak-anak perempuan yang diberi nama Nakusa atau Nakusi. Di antaranya adalah ratusan anak-anak yang pada 22 Oktober 2011 itu memproklamirkan pergantian nama mereka. Dalam satu dekade terakhir ini sensus di India menunjukkan menurunnya rasio anak perempuan dibanding anak laki-laki. Dari sebelumnya 927 anak perempuan per 1000 anak laki-laki, menjadi 914 per 1000 (Perhitungan dilakukan pada anak-anak di bawah usia enam tahun). Di negara bagian Maharashtra, rasionya lebih rendah lagi, yakni 883 anak perempuan per 1000 anak laki-laki, turun dari 913 sepuluh tahun lalu. Di Satara, rasionya adalah 881 per 1000.

Apa arti dari angka-angka statistik ini? Penurunan rasio anak-anak perempuan ini ditengarai merupakan gambaran makin banyaknya pengguguran bayi perempuan. Begitu seriusnya persoalan pengguguran bayi perempuan, sehingga di India ada aturan hukum yang melarang rumah sakit memberitahukan jenis kelamin bayi yang masih dalam kandungan. Ini dianggap sebagai salah satu upaya pencegahan pengguguran yang diskriminatif tersebut. Sayangnya, masih ada saja yang melanggar aturan itu diam-diam, dan informasi tentang jenis kelamin bayi yang dikandung, tetap bisa bocor.

Syukurlah, tidak semua orang dapat diam terhadap 'adat' yang menindas ini. Sejumlah aktivis berusaha menolak tradisi buruk tersebut. Menyelenggarakan upacara pergantian nama, hanya lah salah satu langkah permulaan. "Nakusa adalah nama yang sangat negatif, " kata Dr. Bhawan Pawar, pejabat kesehatan di wilayah Satara yang datang menghadiri upacara pergantian nama tersebut.

"Ketika seorang anak diberi nama Nakusa, dia akan sangat tertekan. Bayangkan saja, mulai dari ibu, ayah, keluarga hingga masyarakat menyebutnya sebagai orang yang tidak diinginkan. Dia pasti akan merasa tertekan dan sedih," kata Sudha Kankaria dari organisasi Save the Girl Child, yang turut ambil bagian dalam upacara pergantian nama itu. Pemerintah India juga telah banyak melakukan upaya untuk mengurangi diskriminasi terhadap anak perempuan. Diantaranya dengan berbagai program insentif bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak-anak perempuan berupa makan gratis dan uang sekolah gratis. Dengan program ini, diharapkan keluarga-keluarga tersebut semakin menyayangi anak-anak perempuan mereka. Juga ada program berupa bonus tunai untuk keluarga yang berhasil menyekolahkan anak perempuannya hingga lulus dari SMA.

Dalam upacara yang diselenggarakan pada 22 Oktober 2011, anak-anak perempuan yang akan berganti nama datang dengan wajah cerah, memakai pakaian terbaik yang mereka punya. "Mulai sekarang, teman-teman sekelas dan teman-teman lainnya akan memanggilku dengan nama baru. Dan itu sangat membahagiakanku," kata seorang remaja perempuan berumur 15 tahun, yang dulunya diberi nama Nakusa oleh kakeknya, karena kecewa atas kelahirannya. Sekarang Nakusa menyandang nama baru, Ashmita, yang artinya 'sangat kuat.'

Saya ingin menutup catatan ini dengan cuplikan pidato Profesor Sarjiya MT., Ph.D, IPU dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada 17 Februari 2024. Bukan karena ia berbicara tentang penggantian nama, melainkan tentang hal lain. Saat berpidato dari mimbar guru besar itu, ia menyampaikan permintaan maaf secara khusus kepada adik perempuannya, Suparsih, yang terpaksa ‘mengalah’ untuk tidak melanjutkan studi ke bangku SMA demi memberi jalan kepada sang kakak, berhubung dengan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga. Suparsih memiliki nilai ujian SMP yang sangat baik, tetapi ia harus berhenti menuntut ilmu.

Dalam kultur Jawa dan Indonesia pada umumnya, tidak perlu dijelaskan mengapa Suparsih yang perempuan harus mengalah kepada Sarjiya yang laki-laki. Namun yang saya kira cukup jelas di balairung UGM pada hari pengukuhan itu, bukan hanya sang guru besar yang dimuliakan, tetapi yang terutama adalah Suparsih, yang dalam Bahasa Jawa dapat bermakna Su (sangat) + Parsih (bersih, suci, tulus).

Eben E. Siadari

Tulisan ini adalah versi yang diperluas dan dimutakhirkan dari tulisan awal yang dibuat pada 27 Oktober 2011 dan disajikan sebagai salah satu bab pada buku Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2021).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya