Tidak Ada Kata Terlambat untuk Cerita Happy Ending
Retaknya persahabatan akibat perbedaan pandangan politik sering tak terelakkan. Barangkali memang ada yang berhasil menghindarinya. Namun, tidak sedikit yang menyerah. Bahkan relasi yang lebih intim dari sahabat, seperti pernikahan, bisa kandas oleh politik.
Di Indonesia fakta ini sudah diangkat oleh media empat tahun lalu. Berdasarkan data Mahkamah Agung yang dikutip sejumlah media pada tahun 2019, sebanyak 334 pasangan bercerai karena perbedaan pandangan politik pada 2011. Pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi sebanyak 651 pasangan dan pada tahun 2013 sebanyak 2.094 pasangan.
Data tahun-tahun sesudahnya belum sempat saya temukan. Tetapi pemberitaan tentang hubungan yang putus akibat aspirasi politik yang tak kompak masih sering menghiasi media. Dengan konteks ini seharusnya tidak ada lagi yang luar biasa pada buku berjudul "The Rough Rider and the Professor". Karya sejarawan AS, Lawrence Jurdem ini berfokus pada retaknya persahabatan 35 tahun antara Presiden AS Theodore Roosevelt, dengan mentornya, Henry Cabot Lodge, dikarenakan perbedaan pandangan politik.
Roosevelt berpisah dari seniornya dan berada pada kubu yang berlawanan dalam kontestasi pencalonan presiden. Perpecahan itu berujung pada kekecewaan yang menyakitkan pada kedua belah pihak karena sama-sama gagal meraih impian.
Lalu apa yang istimewa sehingga buku ini mendapat perhatian dan diulas di The Washington Post 29 Juni 2023 lalu? Apakah karena adagium "name makes news," sehingga Roosevelt, salah satu presiden termuda di AS dan dengan popularitas yang tinggi, wajib ditulis?
Jawaban untuk pertanyaan terakhir adalah ya. Roosevelt memang menjadi topik favorit biografer AS sehingga buku tentang dia akan selalu ditulis. Namun ada alasan lain yang tidak kalah penting, menurut Michael Bobelian, pengajar jurnalisme pada Columbia University yang mengulas buku ini di The Washington Post. Menurut dia, penjelajahan Jurdem tentang hubungan antara Roosevelt dan Lodge memiliki relevansi dengan AS dewasa ini yang menghadapi banyak tantangan yang sama seperti yang
dihadapi kedua politisi itu dulu.
Keretakan hubungan Roosevelt dan Lodge terjadi saat ketimpangan pendapatan di AS melonjak, dengan satu persen orang terkaya menguasai sekitar 1/3 kekayaan negara. Kubu Progresif di Partai Republik (Roosevelt pelopornya) berbenturan dengan kubu sentris (Lodge berada di dalamnya) mengenai ruang lingkup dan kecepatan perubahan mengatasi masalah negara. Pergeseran demografis yang dipicu oleh melonjaknya imigran juga memicu reaksi nativis dan meningkatnya populisme. Ini dapat meruntuhkan tatanan politik yang sudah mapan.
Serangkaian masalah ini, menurut Bobelian, masih dihadapi AS saat ini. Perbedaan cara mengatasinya menjadi salah satu pemicu retaknya persahabatan Roosevelt dan Lodge.
Di zamannya semua orang mengakui popularitas Theodore Roosevelt. Ia sosok muda cerdas dengan fisik yang menawan. Berasal dari kalangan elit New York, ia berhasil mengangkat gagasan progresif rakyat AS. Ia ingin memberi kesempatan bagi semua warga negara tanpa memandang ras, warna kulit, atau kepercayaan.
Namun, Roosevelt muda baru dikenal sebatas legislator New York. Ia perlu pendongkrak. Bila di kemudian hari ia menjadi orang termuda yang pernah menjadi presiden pada tahun 1901, kesuksesan itu tidak akan terjadi tanpa bantuan dari sosok seorang mentor dan penasihat yang kuat. Dia adalah Henry Cabot Lodge dari Massachussets.
Berusia delapan tahun lebih tua, Lodge piawai menggalang kekuatan politik. Ia menjalani tiga masa jabatan di Kongres sebelum pindah ke Senat pada tahun 1893. Dalam bukunya, Jurdem menggambarkan Lodge sebagai anggota Senat yang menganjurkan kebijakan luar negeri yang kuat sambil memerangi korupsi politik partai. Anjuran ini setangkup dengan visi Roosevelt, namun sosok ini tidak memiliki kecerdasan politik sang senator. Lodge kemudian dengan keahliannya menjalin aliansi, memperkuat basisnya dan memperluas pengaruhnya.
Dalam kurun waktu yang lama Lodge dan Roosevelt menjadi pasangan yang serasi. Mereka mendukung satu sama lain untuk menggali kehebatan masing-masing. Lodge menjadi orang kepercayaan dan mentor Roosevelt. Lodge menasihatinya tentang strategi politik sambil membantunya mendapatkan posisi di pemerintahan.
Roosevelt antara lain pernah menjabat gubernur New York, lalu melesat jadi wakil presiden (1901) sebelum menjadi presiden ke-26 AS (1901-1909). Begitu dekatnya persahabatan mereka sehingga Roosevelt menyebut Lodge "orang yang paling saya kasihi di luar keluarga saya sendiri."
Gaya Roosevelt yang blak-blakan popular di mata rakyat dan media. Namun ia kurang disukai di dalam partai. Ini membuat ia makin jauh dari sang mentor. Roosevelt makin terpana pada perubahan cepat dan drastis. Lodge lebih suka pada perbaikan bertahap dan terukur. Puncak pecahnya persahabatan mereka terjadi pada tahun
1912. Roosevelt ingin mencalonkan diri lagi sebagai presiden ((setelah menjabat dari 1901 hingga 1909 dan kemudian digantikan oleh wapresnya atas rekomendasinya sendiri (William Howard Taft).
Ini sebuah niat yang absurd, karena bila demikian ia harus berhadapan dengan Taft. Roosevelt ingin mencalonkan diri dari Partai Republik dan berharap bertarung pada konvensi partai. Namun karena tidak mendapat dukungan ia maju lewat jalur independen.
Lodge terjepit antara harus tunduk pada partai dan mendukung Taft, atau mendukung Roosevelt, sahabat yang kini berada di luar partai. Ia akhirnya mendukung Taft, sebuah proses yang menyakitkan, yang diceritakan Jurdem secara mendetail dalam bukunya.
Hasil pemilu sungguh mengecewakan keduanya. Roosevelt memang berhasil mengungguli Taft tetapi dia kalah suara dibandingkan Woodrow Wilson dari Partai Demokrat. Wilson memenangi kursi Presiden.
Dua sahabat itu tak lagi mesra. Dan, sama-sama menderita, sama-sama kecewa. Syukurlah waktu dapat mengobati luka, membuat mereka dekat kembali. Salah satu penyebabnya adalah ketidaksukaan mereka yang sama terhadap kebijakan Wilson.
Saat upacara penghormatan untuk Roosevelt yang meninggal pada 6 Januari 1919, Lodge mendapat kepercayaan menyampaikan eulogi. Ia berbicara dua jam. "Senyumnya yang siap sedia dan tawanya yang menular membuatnya banyak teman," kata Lodge tentang Roosevelt.
Sementara itu Roosevelt semasih hidup pernah berkata, dari sekian banyak temannya, tidak ada yang lebih berharga daripada Lodge, yang dia anggap sebagai "teman terdekatnya, secara pribadi, politik, dan dalam segala hal."
Ibarat drama, persahabatan Roosevelt dan Lodge adalah sebuah drama tiga babak, format klasik dan digemari para pembuat skenario. Tokoh protagonis selalu melalui tiga tahap cerita: intro yang menjadi latar belakang, puncak konflik, dan penyelesaiannya. Drama tiga babak Roosevelt dan Lodge berakhir dengan happy ending.
Saya selalu senang dengan cerita happy ending. Ini adalah kisah persahabatan politisi di AS yang retak dan tersambung kembali. Seandainya terjadi di Indonesia, alangkah indahnya.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar