Mengapa Kita Tidak Bisa Hidup Tanpa Biografi
Baru-baru ini saya membaca wawancara dengan seorang novelis terkenal. Salah satu pendapatnya yang mengejutkan adalah ketika ia ditanya buku yang paling ia sukai dan paling ia hindari. Untuk pertanyaan terakhir, ia menyebut buku otobiografi. Menurut dia otobiografi selalu sangat subjektif. Bahkan banyak gombalnya. Itu alasan dia menghindar membacanya.
Saya kira argumentasinya cukup beralasan. Ini juga yang membuat banyak ahli sejarah sangat berhati-hati bahkan enggan menjadikan otobiografi sebagai genre penulisan sejarah. Sampai-sampai sejumlah bioragfer di Belanda ingin menjadikan biografi sebagai fakultas tersendiri, karena tidak diterima di fakultas sejarah.
Biografi dan terutama otobiografi memang unik karena menempatkan dunia dalam bingkai individu. Dalam otobiografi, seringkali yang tampak adalah individu menentukan nasib dunia, bukan sebaliknya, dunia menentukan nasib individu. Perjalanan sejarah berbelok atau dibelokkan oleh individu, bukan sebaliknya individu menapaki jalan yang sudah ditentukan sejarah.
Dalam semua kelemahan biografi dan otobiografi itu, ternyata ia tetap dibaca (dan ditulis). Kenapa? Karena para ahli sejarah (dan penelitian sejarah) sering kali bekerja sangat lambat, sangat berhati-hati dan tidak cukup memberikan penjelasan yang pasti. Sementara biografi dan otobiografi datang dengan keterangan yang tajam bahkan hitam-putih. Kontroversi bukan hal tabu dimunculkan oleh biografi.
Hal lain yang membuat otobiografi digemari, dan kita mungkin tidak bisa hidup tanpanya, ialah karena ia mewakili pengalaman terdekat manusia. Pada dasarnya manusia adalah biografer dan otobiografer. Di dalam kepala kita tersimpan banyak biografi dan otobiografi orang-orang yang kita susun sendiri dalam ingatan. Kita mengambil keputusan berdasarkan lautan biografi dan otobiografi di dalam kepala kita masing-masing.
Tulisan profil (atau sosok) di media massa umumnya adalah otobiografi mini. Meskipun riset (sejarah) sangat mendalam menjadi bekal awal saat menetapkan tokoh yang sosoknya akan ditulis (demikian pula sepanjang proses penulisannya), tulisan profil di media massa umumnya adalah sejarah dunia dalam bingkai individu. Tulisan profil selalu berkisah tentang bagaimana sang subjek menentukan perjalanan sejarah, dan sangat sedikit menonjolkan sebaliknya.
Untuk tiba ke sana, para penulis menyibak lapisan demi lapisan hidup sang sosok. Menggali yang paling inti. Acap kali seperti mengupas bawang bombay, kita mengira akan menemukan yang paling inti pada ujungnya, padahal pada lapisan demi lapisan yang telah kita lewati itulah justru zat utamanya.
Majalah Grazia, Inggris, edisi Maret 2023 menampilkan sosok Alex Scott, 38, sebagai cerita sampulnya. Dan di pikiran saya segera tergambar problematika sekaligus keunikan otobiografi.Lapisan demi lapisan hidup Alex Scott demikian penuh warnab dan tidak cukup satu judul untuk menggambarkan siapa dirinya.
Alex Scott adalah mantan pesepakbola perempuan asal Inggris. Ia dibesarkan oleh klub Arsenal, melesat menjadi pemain nasional bahkan sempat hijrah ke Amerika Serikat. Ia telah bermain untuk kesebelasan Inggris sebanyak 140 kali,terbanyak nomor dua sepanjang sejarah.
Namun ia tidak pernah beruntung memenangi piala saat menjadi anggota tim Lioness. Tahun 2009 timnya hanya memenangi tempat kedua di Piala Eropa, meraih perunggu di Piala Dunia 2015 dan tempat kelima di Olimpiade 2012. Ia justru duduk di bangku komentator televisi saat tim sepak bola perempuan negaranya menciptakan sejarah pada tahun 2022, menjadi juara piala Eropa.
Ia pensiun dari pemain sepak bola tahun 2017, dan menekuni profesi komentator sepak bola, pekerjaan yang sudah digelutinya saat masih jadi pemain. Ia adalah komentator sepak bola perempuan pertama yang dipercaya BBC untuk siaran piala Eropa dan piala dunia. Ia berada di boks komentator saat kesebelasan perempuan Inggris memenangi piala Eropa 2022.
Wartawan yang menulis profilnya, Polli Vernon, mencoba menyibak perasaan Alex Scott, untuk mencari tahu adakah dirinya kecewa untuk tidak menjadi bagian dari sejarah ketika itu. Alex Scott menolak untuk mengaku sedih, sebaliknya ia mengatakan gembira dan kagum akan permainan para juniornya.
Alex Scott terjun ke dunia sepak bola sejak kecil, saat berumur 8 tahun. Salah satu alasannya adalah untuk menghindari perundungan dari ayahnya yang galak dan pemabuk terhadap dirinya dan ibunya, Carol. Ia senang diwawancarai oleh wartawan dan itu membuka jalan baginya untuk jadi komentator. Sebuah stasiun televisi pernah memvonis dirinya tidak akan berhasil jadi komentator. Ia tidak sakit hati atas vonis itu, karena alasan yang dikemukakan bukan karena dia wanita, melainkan karena aksennya yang dipandang tidak cocok.
Memoarnya terbit tahun 2022 dengan judul How (Not) to be Strong. Untuk pertama kalinya dalam buku itu ia membuka kisah romantisnya dengan sesama anggota tim kesebelasan perempuan Arsenal, Kelly Smith. Dalam buku itu ia mengatakan jatuh cinta sangat mendalam kepada sang kekasih walaupun pada hakikatnya ia menyukai pria maupun wanita.
Ketika ditanya apa yang paling penting yang mengubah persepsi penonton terhadap sepakbola perempuan? Ia menjawab: kemenangan. Keberhasilan tim Ingris menjuarai Piala Eropa 2022 telah membuat animo menonton sepak bola wanita melesat. Dewasa ini rata-rata 45.0000 orang menonton setiap pertandingan di Emirates.
Eben E. Siadari
Saya kira argumentasinya cukup beralasan. Ini juga yang membuat banyak ahli sejarah sangat berhati-hati bahkan enggan menjadikan otobiografi sebagai genre penulisan sejarah. Sampai-sampai sejumlah bioragfer di Belanda ingin menjadikan biografi sebagai fakultas tersendiri, karena tidak diterima di fakultas sejarah.
Biografi dan terutama otobiografi memang unik karena menempatkan dunia dalam bingkai individu. Dalam otobiografi, seringkali yang tampak adalah individu menentukan nasib dunia, bukan sebaliknya, dunia menentukan nasib individu. Perjalanan sejarah berbelok atau dibelokkan oleh individu, bukan sebaliknya individu menapaki jalan yang sudah ditentukan sejarah.
Dalam semua kelemahan biografi dan otobiografi itu, ternyata ia tetap dibaca (dan ditulis). Kenapa? Karena para ahli sejarah (dan penelitian sejarah) sering kali bekerja sangat lambat, sangat berhati-hati dan tidak cukup memberikan penjelasan yang pasti. Sementara biografi dan otobiografi datang dengan keterangan yang tajam bahkan hitam-putih. Kontroversi bukan hal tabu dimunculkan oleh biografi.
Hal lain yang membuat otobiografi digemari, dan kita mungkin tidak bisa hidup tanpanya, ialah karena ia mewakili pengalaman terdekat manusia. Pada dasarnya manusia adalah biografer dan otobiografer. Di dalam kepala kita tersimpan banyak biografi dan otobiografi orang-orang yang kita susun sendiri dalam ingatan. Kita mengambil keputusan berdasarkan lautan biografi dan otobiografi di dalam kepala kita masing-masing.
Tulisan profil (atau sosok) di media massa umumnya adalah otobiografi mini. Meskipun riset (sejarah) sangat mendalam menjadi bekal awal saat menetapkan tokoh yang sosoknya akan ditulis (demikian pula sepanjang proses penulisannya), tulisan profil di media massa umumnya adalah sejarah dunia dalam bingkai individu. Tulisan profil selalu berkisah tentang bagaimana sang subjek menentukan perjalanan sejarah, dan sangat sedikit menonjolkan sebaliknya.
Untuk tiba ke sana, para penulis menyibak lapisan demi lapisan hidup sang sosok. Menggali yang paling inti. Acap kali seperti mengupas bawang bombay, kita mengira akan menemukan yang paling inti pada ujungnya, padahal pada lapisan demi lapisan yang telah kita lewati itulah justru zat utamanya.
Majalah Grazia, Inggris, edisi Maret 2023 menampilkan sosok Alex Scott, 38, sebagai cerita sampulnya. Dan di pikiran saya segera tergambar problematika sekaligus keunikan otobiografi.Lapisan demi lapisan hidup Alex Scott demikian penuh warnab dan tidak cukup satu judul untuk menggambarkan siapa dirinya.
Alex Scott adalah mantan pesepakbola perempuan asal Inggris. Ia dibesarkan oleh klub Arsenal, melesat menjadi pemain nasional bahkan sempat hijrah ke Amerika Serikat. Ia telah bermain untuk kesebelasan Inggris sebanyak 140 kali,terbanyak nomor dua sepanjang sejarah.
Namun ia tidak pernah beruntung memenangi piala saat menjadi anggota tim Lioness. Tahun 2009 timnya hanya memenangi tempat kedua di Piala Eropa, meraih perunggu di Piala Dunia 2015 dan tempat kelima di Olimpiade 2012. Ia justru duduk di bangku komentator televisi saat tim sepak bola perempuan negaranya menciptakan sejarah pada tahun 2022, menjadi juara piala Eropa.
Ia pensiun dari pemain sepak bola tahun 2017, dan menekuni profesi komentator sepak bola, pekerjaan yang sudah digelutinya saat masih jadi pemain. Ia adalah komentator sepak bola perempuan pertama yang dipercaya BBC untuk siaran piala Eropa dan piala dunia. Ia berada di boks komentator saat kesebelasan perempuan Inggris memenangi piala Eropa 2022.
Wartawan yang menulis profilnya, Polli Vernon, mencoba menyibak perasaan Alex Scott, untuk mencari tahu adakah dirinya kecewa untuk tidak menjadi bagian dari sejarah ketika itu. Alex Scott menolak untuk mengaku sedih, sebaliknya ia mengatakan gembira dan kagum akan permainan para juniornya.
Alex Scott terjun ke dunia sepak bola sejak kecil, saat berumur 8 tahun. Salah satu alasannya adalah untuk menghindari perundungan dari ayahnya yang galak dan pemabuk terhadap dirinya dan ibunya, Carol. Ia senang diwawancarai oleh wartawan dan itu membuka jalan baginya untuk jadi komentator. Sebuah stasiun televisi pernah memvonis dirinya tidak akan berhasil jadi komentator. Ia tidak sakit hati atas vonis itu, karena alasan yang dikemukakan bukan karena dia wanita, melainkan karena aksennya yang dipandang tidak cocok.
Memoarnya terbit tahun 2022 dengan judul How (Not) to be Strong. Untuk pertama kalinya dalam buku itu ia membuka kisah romantisnya dengan sesama anggota tim kesebelasan perempuan Arsenal, Kelly Smith. Dalam buku itu ia mengatakan jatuh cinta sangat mendalam kepada sang kekasih walaupun pada hakikatnya ia menyukai pria maupun wanita.
Ketika ditanya apa yang paling penting yang mengubah persepsi penonton terhadap sepakbola perempuan? Ia menjawab: kemenangan. Keberhasilan tim Ingris menjuarai Piala Eropa 2022 telah membuat animo menonton sepak bola wanita melesat. Dewasa ini rata-rata 45.0000 orang menonton setiap pertandingan di Emirates.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar