Bagaimana Wartawan Mengonversi Rasa Marah Menjadi Produktivitas

 

Amarah, dalam pandangan yang paling naif, identik dengan makna negatif. Di dunia kerja amarah dan reaksi emosional lainnya kerap ditempatkan sebagai oposisi dari sikap profesional yang rasional.

Dalam penelitian kontemporer di ranah Psikologi maupun Filsafat, amarah memiliki tempat yang lebih bernuansa. Amarah, bila dapat dikelola, dapat menjadi energi dan motivasi dalam bekerja. Tentu hal ini memerlukan penjelasan teoritis yang sangat panjang. Saya sendiri belum sanggup memahaminya secara penuh.

Namun, saya tidak bisa menghindar dari daya tarik sebuah studi yang mengulas topik yang berkaitan dengan hal itu yang dilakukan Richard Stupart, asisten profesor pada Media Studies and Journalism, Universitas Groningen, Belanda. Studinya yang berjudul Anger and the Investigative Journalist, cukup lengkap menelusuri landasan teori tentang rasa marah baik di ranah profesional secara umum maupun secara khusus di dunia jurnalistik.

Lebih spesifik lagi, dalam studinya ia mencoba mendalami dan meletakkan sisi positif rasa marah pada kalangan jurnalis investigasi. Ia melakukan studi melalui wawancara terstruktur terhadap 16 wartawan investigasi di Afrika Selatan. Hasilnya adalah sebuah proposisi yang lebih konstruktif tentang amarah di kalangan wartawan investigasi, yang bukan saja penting, tetapi juga mendasar dan memiliki fungsi yang instrumental dalam menghasilkan karya jurnalistik.

Saya tidak berpretensi dapat merangkum hasil studi yang cukup ekstensif dan rumit ini. Saya mempersilakan merujuk langsung ke studi lengkapnya yang tersedia secara bebas di Sage Journals, 9 September 2022. Saya hanya membagikan beberapa intisari yang mungkin berguna mengantarkan pembaca untuk mendalaminya lebih jauh.

Amarah adalah salah satu ekspresi emosional. Di ranah Jurnalisme, studi tentang reaksi emosional lebih banyak diarahkan pada khalayak pembaca dan teks yang mereka baca. Sementara itu, studi tentang bagaimana reaksi emosional dalam proses produksi berita -- termasuk di kalangan jurnalis -- belum begitu banyak. Studi ini merupakan bagian dari yang disebut belakangan.

Justifikasi terhadap amarah seringkali diberikan oleh jawaban atas dua pertanyaan: (i) apakah tepat atau apakah dibenarkan untuk marah? dan (ii) apakah bijaksana atau apakah berguna untuk marah?. Sejarah menunjukkan justifikasi ini telah banyak membawa orang pada dunia yang lebih adil, seperti perlawanan terhadap kolonialisme, perjuangan kaum kulit hitam maupun emansipasi perempuan.

Gagasan tentang kemarahan sebagai hal yang bijaksana bagi pelakunya cukup memiliki bukti secara empiris, yakni ketika kemarahan merupakan perasaan yang dapat memberikan kekuatan yang diperlukan untuk menang dalam keadaan sulit. Tentu saja pelakunya telah mengembangkan alat untuk menggunakan kemarahan itu secara konstruktif.

Pandangan responden dalam studi yang dijalankan Stupart mencerminkan interpretasi semacam ini. Rasa marah pada wartawan dapat mengambil rupa dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah rasa marah sebagai ekspresi moral. Misalnya rasa marah terhadap ketidakadilan. Rasa marah dalam format yang demikian menjadi 'bahan bakar' atau 'energi' produktif yang dapat mendorong kemajuan pekerjaan jika dikelola dengan tepat. Dengan demikian kemarahan menempati tempat yang sah dalam pekerjaan jurnalis. Hal ini membawa implikasi lanjutan yang memerlukan penjabaran lebih rinci.

Lewat studi ini Stupart mendalilkan bahwa kemarahan sebagai perasaan moral menempati tempat yang sah (jika dibatasi) dalam praktik jurnalis yang menunjukkan dimensi moral yang tak terhindarkan pada karya jurnalistik mereka. Stupart memakai kata 'tak terhindarkan’, karena menurut dia, "bagi (setidaknya) jurnalis investigasi, penilaian moral tidak sekadar hadir secara intelektual pada tataran wacana, tetapi dengan cara yang lebih mendalam tentang bagaimana rasanya melakukan pekerjaan itu." Artinya, jurnalisme investigatif tidak sekadar dipahami sebagai kerja moral, tapi juga dirasakan.

Hal itu juga bermakna bahwa amarah sangat berkaitan dengan keotentikan karya jurnalisme investigatif. Rasa marah (bukan hanya ketidaksetujuan) terhadap ketidakadilan menjadi elemen esensial yang tidak dapat dihilangkan (bahkan prasyarat?) dalam menghasilkan karya jurnalistik yang mengungkap ketidakadilan.

Lebih jauh Stupart menjelaskan bahwa amarah wartawan dalam konteks ini tetap terikat pada pengelolaan rasa marah seperti yang jamak dijadikan 'tips' di ranah manajemen profesional. Namun berbeda dengan pandangan 'dangkal' dan naif yang menyamakan pengelolaan amarah dengan meredam bahkan membuangnya, pengelolaan amarah dalam studi Stupart justru dengan memupuknya pada tingkat intensitas yang tepat untuk mendorong pekerjaan tanpa merugikan orang yang merasakannya.

Proposisi berikutnya dari studi Stupart menurut saya lebih ekstrem dan perlu dicerna dengan hati-hati, meskipun cukup logis dan dapat meningkatkan efektivitas kerja-kerja jurnalis investigasi. Kemarahan sebagai ekspresi moral jurnalis investigasi, menurut dia, pada dasarnya juga merupakan informasi deklaratif tentang sikap atau pendirian sang jurnalis. Ekspresi moral itu pada gilirannya akan menemukan jalan untuk mempertautkan para jurnalis yang memiliki pendirian yang sama. Pada ujungnya terbentuk suatu komunitas yang memiliki ekspresi (kemarahan) serupa, yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan pengaruh kerja-kerja jurnalisme investigasi.

Stupart mengutip sebuah frasa dari studi A. Lorde (1981) berjudul 'The Uses of Anger,' bahwa “[kemarahan] adalah tindakan klarifikasi yang membebaskan dan memperkuat, karena dalam proses penerjemahan yang menyakitkan inilah kita mengidentifikasi siapa sekutu kita yang memiliki perbedaan besar dengan kita, dan siapa musuh sejati kita.”

Stupart cukup berhati-hati menyampaikan proposisi ini dengan memberi catatan bawa hal ini harus dipahami sebagai kemungkinan yang muncul dari refleksi para jurnalis yang diwawancarai dalam studinya, yang masih perlu mendapat pertimbangan. Yang paling utama mendapat penekanan dari studi ini, menurut dia adalah kemarahan merupakan emosi sentral dalam pekerjaan, setidaknya pada komunitas jurnalis yang menjadi responden studinya, serta dimensi kecakapan dan kehati-hatian yang perlu dipikirkan dengan baik. Dengan kata lain studi ini adalah kisah kemarahan dalam kehidupan profesional jurnalis investigasi yang memperjelas pentingnya emosi bagi pekerjaan mereka.

Eben E. Siadari

 Referensi

Stupart, R. (2022). Anger and the investigative journalist. Journalism24(11), 2341-2358. https://doi.org/10.1177/14648849221125980 (Original work published 2023)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya