Mewaspadai Godaan Gaya Hagiografis dalam Menulis Profil Tokoh

 

Nigel Farndale, penjaga gawang rubrik Obituari koran Inggris The Times, pernah memberi petunjuk menulis cerita tentang tokoh, khususnya dalam penulisan obituari. Menurut dia, sebuah obituari semestinya adalah catatan yang berimbang tentang sang mendiang yang baru saja pergi. Dalam Writing Obituaries can be Strangely Life-affirming (Spectator, 9 Mei 2020), ia mengatakan obituari seyogyanya ditulis dengan gaya datar dan tidak boleh terjebak menjadi hagiografi.

Apa maksudnya?

Hagiografi adalah biografi seseorang yang dianggap suci atau pemimpin keagamaan yang disucikan, yang ditulis dengan penuh sanjungan. Sang tokoh digambarkan seideal mungkin, dengan deskripsi yang menonjolkan perbuatannya yang mulia, dan pengalamannya yang acap kali melampaui rasionalitas. Keajaiban-keajaiban yang dialami atau diperbuat sang tokoh menjadi bagian yang penting.

Hagiografi merupakan genre sastra yang penting di lingkungan gereja pada awal abad pertengahan. Para ahli di bidang ini sering memperdebatkan kerumitan membedakan mana yang dianggap dokumen hagiografis dan mana yang tidak. Namun pada dasarnya, hagiografi ditujukan untuk menciptakan legenda, menjadi sumber inspirasi, dan membangun iman umat.

Dalam kata pengantar The Legends of the Saints: An Introduction to Hagiography (1907), penulisnya, Hippolyte Delehaye, S.J., mengatakan dokumen-dokumen yang dianggap hagiografis, harus bersifat religius dan bertujuan untuk membangun. Istilah hagiografis, menurut dia, hanya dapat diterapkan pada tulisan-tulisan yang diilhami oleh pengabdian kepada orang-orang suci dan dimaksudkan untuk mempromosikannya.

Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, terutama untuk karya-karya tulis non gerejawi, istilah hagiografi mengalami peyorasi. Hagiografi sering dipakai sebagai cara untuk meremehkan sebuah karya biografi yang dinilai tidak objektif dan terlalu menyanjung subjek. Nasihat Farndale tentang menulis obituari yang dikutip di awal catatan ini, misalnya, termasuk yang menggunakan hagiografi dalam pengertian peyoratif.

Ada banyak sebab seorang penulis tidak dapat menghindar dari jebakan hagiografis. Misalnya, hubungan yang sangat dekat, bahkan terlalu dekat dengan subjek, dapat membuatnya bias, tak dapat lagi melihat secara kritis sang tokoh. Sebaliknya, jarak yang terlalu jauh juga dapat mendorong sebuah tulisan tentang tokoh terjebak menjadi hagiografi. Apabila penulis merasa hirarki subjek yang ditulisnya demikian tinggi, dan dirinya jauh lebih rendah, itu juga dapat membuatnya demikian mengagumi (atau takut terhadap) sang tokoh sehingga karya biografi itu menjadi penuh dengan pujian.

Konteks budaya dan konteks lain yang melingkupi juga sering menjadi penyebab. Ada berbagai tabu di masyarakat, yang dapat membuat karya tulis tentang tokoh terjebak menjadi bercorak hagiografis. Misalnya, budaya yang menganggap mengatakan sesuatu yang jelek tentang tokoh yang dihormati bertentangan dengan tata krama akan menyulitkan penulis dari lingkungan tradisi itu menggambarkan tokoh secara berimbang.

Dalam tradisi Katolik, seorang paus kerap disebut sebagai Bapa Suci, seperti halnya sebutan Tahta Suci untuk Vatikan. Dengan predikat dan kedudukan yang demikian, dapat dipahami ada saja kemungkinan orang menulis obituari yang bercorak hagiografis tentang sang Paus.

Yang patut disyukuri, pada kenyataanya, media tidak menyajikan sosok Paus Fransiskus secara hagiografis, saat mengenang dia di hari kematiannya. Dalam liputan berbagai media internasional, khususnya media cetak yang saya amati, ia digambarkan dengan berimbang. Bahkan beberapa media, menurut saya, dengan cukup berani memotret sosok Paus Fransiskus secara kritis, sebagai manusia biasa yang memimpin organisasi dan birokrasi gereja, tidak lepas dari kekurangan dan kegagalan.

Untuk catatan ini saya menjadikan dua tulisan sebagai rujukan. Pertama, rubrik editorial koran The Wall Street Journal (WSJ) 22 April 2025 yang berjudul Pope Francis, 1936-2025. Editorial ini menurut saya sangat to the point membeberkan dalam hal apa Paus Fransiskus berhasil dan dalam hal mana ia gagal. 

Kedua , sebuah esai yang yang ditulis Austen Ivereigh di majalah Time 12 Mei 2025 berjudul Radical Mercy , yang dipakai melengkapi tulisan panjang tentang Paus Fransiskus sebagai cerita sampul edisi itu. Ivereigh juga menghindari penggambaran Paus Fransiskus secara hagiografis. Meskipun demikian, sudut pandangnya jauh lebih bersimpati pada Fransisikus tinimbang The Wall Street Journal. Editorial WSJ terbit sehari setelah Paus Fransiskus diumumkan telah tiada. Jenazahnya masih dibaringkan di Basilika Santo Petrus. Ibarat kata, orang-orang yang berduka masih meratapi kepergiannya –dengan atau tanpa air mata –namun WSJ telah hadir dengan penilaiannya yang berterus terang.

”Fransiskus meninggalkan jejak yang substansial sebagai pemimpin agama, namun, kontribusinya dalam dunia diplomasi internasional kurang konstruktif,” demikian editorial WSJ.

Reformasi yang diharapkan dijalankan oleh Paus Fransiskus, menurut WSJ, hanya berjalan secara administratif daripada teologis. Artinya Paus Fransiskus belum berhasil membarui pandangan atau doktrin gereja, yang selama ini diharapkan dari kepemimpinannya.

WSJ mencatat bahwa Paus Fransiskus adalah sosok yang dikagumi oleh dunia, termasuk oleh orang-orang di luar Gereja Katolik Roma. Identifikasi dirinya dengan orang miskin, merekatkan kekaguman padanya melampaui sekat-sekat primordial. Namun, menurut WSJ, identifikasi dirinya dengan orang miskin tidak mudah diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis untuk meringankan penderitaan mereka.

Lebih jauh, WSJ membeberkan sejumlah masalah yang dihadapi Gereja Katolik, termasuk skandal yang memalukan. Memang masalah-masalah itu terjadi sebelum Paus Fransiskus ‘naik tahta’ namun harapan besar sesungguhnya diletakkan di pundaknya untuk menyelesaikan itu. Pada kenyataannya, menurut WSJ, “ia menunda daripada menyelesaikan tugas yang sulit untuk menyembuhkan perpecahan di dalam Gereja …yang juga akan membebani penerusnya.”

Pendek kata, WSJ mencatat berbagai pencapaian Paus Fransiskus. Namun, dengan diikuti kata tetapi .

Kolom Radical Mercy yang ditulis Austen Ivereigh di majalah Time , juga menggambarkan Paus Fransiskus dengan cara yang berimbang. Namun, cukup terlihat perbedaan perspektif dalam membuat penilaian. Ivereigh tidak menutup mata terhadap beberapa kegagalan Paus Fransiskus. Ia mengutip klaim kalangan orang dalam gereja yang mengatakan bahwa Fransiskus terlalu menekankan belas kasihan dan keadaan individu, yang berisiko memperlemah doktrin gereja.

Namun, Ivereigh lebih mengajak pembacanya menoleh pada sisi lain yang lebih cerah. Menurut dia, belas kasihan dalam definisi Paus Fransiskus, bukan suatu pengecualian untuk berbuat salah, atau sifat lembek terhadap hukum, melainkan misericordia : pemihakan terhadap yang menderita.

Fransiskus mengibaratkan gereja sebagai rumah sakit di kala perang, tempat penyelamatan dan penyembuhan, dimulai dengan perhatian kepada individu, menghormati martabat semua orang. Ini adalah “perhatian yang tidak pantas kita dapatkan karena perbuatan kita, tetapi yang mengalir dari belas kasihan Tuhan. Belas kasihan sejati tidak berarti merendahkan moralitas atau hukum. Artinya, moralitas dan hukum saja tidak cukup,” tulis Ivereigh, mengutip kata-kata Paus Fransiskus.

Jika WSJ menilai Paus Fransiskus gagal melakukan pembaruan, Ivereigh justru melihat Paus Fransiskus berhasil melakukannya antara lain lewat program ‘latihan mendengarkan’ yang dicanangkannya secara global. Beberapa tahun terakhir di seluruh gereja Katolik di mana pun berada, dilangsungkan pelatihan yang mendorong “kebiasaan berkumpul, mendengarkan, mencermati, dan mengambil keputusan, sebuah cara beroperasi yang melibatkan semua umat dalam kehidupan dan misi gereja.”

Menurut Ivereigh, ini adalah sebuah perubahan budaya yang substansial di tengah gereja. Dua pandangan yang kontras dalam dua tulisan yang dijadikan sorotan pada catatan ini membawa pertanyaan, apa yang menyebabkan kedua media itu dapat bertolak belakang dalam membuat penilaian? Jawabannya mungkin akan kita temukan dalam bab tersendiri pada kesempatan lain. Tetapi cukup kiranya untuk mengatakan bahwa media telah berusaha untuk menghindari penggambaran hagiografis Paus Fransiskus. Dan, saya kira itu akan selaras dengan apa yang selalu diingatkan oleh Paus Fransiskus, untuk selalu eling akan ketidak-adaan kita sebagai manusia. “ We need to remember and remind ourselves where we come from, what we are, our nothingness .” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya