Bagaimana Surat Kabar Membuat Pembaca Lebih Cerdas

Apakah Anda seperti saya, tidak terlalu sering mendengar kata 'lakuran'? Kalau ya, waktunya kini kita mempercakapkannya. Dalam Bahasa Sunda ia berakar dari kata lakur. Artinya campur. Lakuran berarti campuran atau perpaduan atau kombinasi.

Dalam linguistik, penjelasannya lebih panjang. Lakuran bermakna kata baru yang terbentuk dari penggabungan dua kata atau lebih yang menghasilkan arti gabungan dari kata-kata pembentuknya. Misalnya, kata sinetron, yang merupakan penggabungan dari kata sinema dan elektronik. Atau Bollywood yang merupakan gabungan dari Bombay dan Hollywood. Masing-masing pasangan kata itu membentuk arti baru namun arti baru tersebut masih berada pada lingkup arti dari kata pembentuknya.

Banyak alasan mengapa orang membuat lakuran dalam pengertian linguistik. Di antaranya, untuk menyederhanakan konsep atau frasa yang kompleks menjadi satu kata yang mudah diingat. Alasan lain adalah sebagai ekspresi kreatifitas, memainkan kata demi mencipta kata baru yang menarik.

Pernah kan mendengar cilok, yang ternyata perpaduan dari kata aci dicolok? Terasa sentuhan kreativitas dalam kata baru itu.

Kata-kata baru yang tercipta dari hasil lakuran juga dimaksudkan memberi warna emosional yang mungkin sulit diekspresikan oleh kata-kata pembentuknya. Tetapi demi alasan lucu-lucuan juga bisa.

Salah satu keistimewaan jurnalisme tradisional (saya menggunakan istilah ini untuk jurnalisme dengan tapisan editorial yang ketat) ialah peranannya mencipta kata-kata baru, antara lain dengan cara lakuran. Ini salah satu alasan mengapa banyak orang masih membaca surat kabar dan merasa dicerahkan olehnya, yang tidak mereka temukan pada sebagian besar media berita online.

Dari surat kabar tradisional pembaca berharap menemukan kata-kata baru yang memikat yang secara serius disiapkan, dipilih, dan ‘dipahat’ oleh para penulis dan redakturnya. Kata-kata baru itu memudahkan pemahaman sehingga pembaca merasa dicerdaskan (atau paling tidak merasa terlihat cerdas). Dengan kata lain, jurnalisme bukan sekadar kanal informasi, yang hanya mengalirkan fakta dari kantung A ke kantung B. Tetapi ikut meramu dan menyajikannya sebagai informasi yang sehat dan mendidik: seperti beras yang sudah terbebas dari menir.

Itu lah antara lain yang membuat saya masih betah membaca The Economist dan berterimakasih kepada seorang donatur yang sudi melanggani saya. Meskipun saya tidak lagi memelototinya dalam edisi cetak seperti belasan tahun lalu melainkan dalam format digital yang masih menampilkan wajah klasiknya, saya selalu merasa mendapat pencerahan, pemahaman baru, dicerdaskan dan tentu merasa terlihat cerdas.

Salah satu keunggulan para editor The Economist, menurut pengamatan saya, adalah kepiawaian mereka dalam melakukan lakuran. Terasa bahwa lakuran yang mereka sajikan (dan ciptakan) dihasilkan melalui proses pemikiran yang mendalam dan bukan sekadar kosmetik.

Saya menemukan itu antara lain dalam The Economist edisi 7 Juni 2025. Edisi itu menampilkan cerita sampul berjudul Phew, it’s a girl!. Dalam edisi tersebut saya menemukan paling tidak empat lakuran yang memudahkan saya memahami isu global penting yang kompleks. Berikut ini empat lakuran tersebut.

Scrollytelling

Scrollytelling merupakan kombinasi dari kata scrolling dan storytelling. Kata ini dalam pengertian umum dipakai untuk menggambarkan teknik storytelling digital yang disajikan dalam format yang dapat digulirkan atau diusap lengkap dengan elemen interaktif visual dan multimedia. The Economist memakai kata ini sebagai judul artikel yang mengulas tentang penggunaan kecerdasan buatan dalam memperkirakan usia naskah-naskah kuno. Menurut artikel itu, model kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan ditujukan untuk memampukannya mengetahui umur sebuah naskah kuno dari gaya atau bentuk tulisan tangan pada naskah tersebut.

 


Yang menarik The Economist mengartikan scrollytelling,bukan hanya dalam pengertian umum di atas, melainkan mengakarkannya pada kata scroll dalam pengertian (gulungan) naskah kuno. Sehingga scrollytelling yang dimaksud memiliki makna baru yaitu naskah kuno yang dapat menceritakan dirinya sendiri.

 Hellscape

Kata ini merupakan lakuran dari kata hell (neraka) dan landscape (lanskap, pemandangan). Makna dari kata baru ini merujuk pada lanskap, pemandangan, ataulingkungan yang tidak menyenangkan, kacau, luar biasa berat, mirip dengan fantasi tentang neraka.





The Economist menyoroti Myanmar yang kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan: anarki yang terus terjadi sejak pemerintahan demokratis Suu Kyi dijatuhkan oleh junta. Dan, ironisnya, Amerika Serikat dan negaranegara Eropa memalingkan muka dari kawasan yang dulu berada di bawah pengaruh mereka. Mereka membiarkan Myanmar di bawah hegemoni China. Myanmar, menurut The Economist, menjadi hellscape yang terlupakan.

Deathonomics

Deathonomics adalah perpaduan dari kata death dan economics: ekonomi kematian. Kata baru ini dipakai untuk menggambarkan strategi Putin dalam memobilisasi rakyatnya untuk bergabung ke dalam angkatan bersenjata untuk diterjunkan ke medan perang. Keliru lah kita bila membayangkan para tentara Rusia maju ke medan laga karena alasan nasionalisme dan patriotisme. Alasan yang terutama adalah alasan ekonomi. The Economist mengutip penjelasan Elena Racheva, mantan wartawan Rusia yang kini bermukim di Inggris.



Para pria yang terjun ke medan perang bersedia bertaruh nyawa karena Putin menawarkan ‘uang muka’ untuk menjadi tentara yang jumlahnya tidak kecil, setara dengan US$15.000. Umumnya mereka yang tergiur dengan bayaran ini adalah warga yang berasal dari wilayah miskin. Bertarung nyawa denganbayaran sedemikian itu merupakan cara mereka untuk mengubah hidup. Dan Putin memahami hal ini. Itu sebabnya cara berpikir militer ala Putin ini diistilahkan sebagai market mobilisation" juga sebagai "deathonomics."

Gendercide

The Economist memakai kata ini dalam artikel berjudul "Phew, It's a Girl." Artikel ini menyoroti terjadinya perubahan tren dunia, dari yang dulunya mengutamakan anak laki-laki ke penghargaan kepada anak perempuan. Berbagai belahan dunia yang dulunya sangat menomorsatukan anak laki-laki, kini berubah drastis.

Di Jepang, misalnya, pasangan yang merencanakan hanya satu anak, lebih mengharapkan anak perempuan. Di Amerika Serikat dan Skandinavia, pasangan yang memiliki anak pertama laki-laki, akan berusaha untuk memiliki anak perempuan pada kelahiran berikutnya.





Banyak alasan mengapa bayi perempuan ‘naik daun,’ antara lain karena anggapan lebih mudah membesarkannya dan di masa uzur orang tuanya, anak perempuan lebih dapat diandalkan merawat mereka. The Economist memakai kata gendercide untuk menggambarkan parahnya budaya patriarki di masa lalu, ketika kehadiran bayi perempuan sering dianggap musibah. Terjadi lah apa yang disebut gendercide, dari kata gender dan genocide. Artinya merujuk pada genosida gender, upaya pembunuhan sistematis terhadap jenis kelamin tertentu. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan fenomena pembunuhan bayi perempuan atau aborsi selektif jenis kelamin, terutama dalam budaya di mana preferensi untuk anak laki-laki tidak dapat ditawar.

Pertanyaan yang selalu mengikuti hadirnya kata-kata bentukan lakuran adalah apakah ia akan sukses menjadi kosa kata yang umum dipakai? Akankah ia sintas melewati dekade bahkan zaman, dipakai menjadi kata yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari?

Tidak selalu. Kesuksesannya tergantung pada banyak faktor. Misalnya, kata itu menarik dan mudah diingat. Selanjutnya, ia berhasil mengisi kekosongan kata untuk menggambarkan ide tertentu. Relevansi secara kultural juga sangat menentukan. Yang ingin saya katakan dari catatan ini adalah kita akan sulit menemukan kata-kata pilihan seperti ini dari ruang redaksi yang terus-menerus dikejar oleh keharusan menghasilkan berita seketika. Kata-kata lakuran hanya muncul dari para penulis dan editor yang memiliki waktu merenung selain keharusan dapur ngebul. Sudahkah Anda membaca surat kabar hari ini?

 Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya