30 Ketrampilan dan Pertanyaan untuk Melatih Jurnalis Berpikir Kritis

Berpikir kritis (critical thinking) selalu merupakan kecakapan yang bersifat imperatif bagi mereka yang menyandang status orang terdidik. Pendidikan di semua level mengajarkan dan mendorong pesertanya untuk berpikir kritis. Karena itu kemampuan tersebut seharusnya melekat dalam diri.

Meskipun telah begitu klasik bahkan terkesan deja vu , berpikir kritis tetap dan bahkan semakin relevan di era ketika kecerdasan manusia telah begitu canggih untuk menciptakan kecerdasan buatan. Justru ketika kecerdasan buatan semakin menemukan tempatnya, berpikir kritis semakin vital, karena di tangan manusia yang tidak bertanggung jawab kecerdasan buatan dapat mengelabui manusia apabila pikiran kritis tidak dipelihara.

Sebagai contoh baru-baru ini sebuah akun sosial media dengan provokatif mengatakan gelar Bachelor of Science (BSc) hanya untuk sains dan teknik (maksudnya ilmu-ilmu eksakta). Lebih jauh akun tersebut melontarkan kata merendahkan kepada otoritas pemerintah di bidang pendidikan karena dalam sebuah berita otoritas pendidikan yang dimaksud menyampaikan penjelasan tentang gelar BSc untuk marketing yang disandang oleh seorang tokoh. Akun media sosial tersebut menggunakan kata yang cukup keras untuk menyalahkan otoritas pendidikan tersebut, berlandaskan keyakinan bahwa BSc hanya untuk ilmu-ilmu eksakta.

Penghakiman yang keliru itu kemudian diikuti oleh banyak akun sosmed lain dan mendukung pernyataan provokatif. Mereka begitu yakin bahwa gelar BSc hanya untuk ilmu eksakta dan tidak mungkin untuk marketing. Padahal dengan melakukan riset internet sederhana saja dengan cepat akan ditemukan rujukan sahih bahwa dunia pendidikan tinggi global memiliki variasi yang luas dalam penyematan gelar BSc, baik untuk bidang eksakta maupun humaniora. Wikipedia, misalnya, memuat penjelasan tentang hal itu dengan rinci, seraya menyertakan tautan rujukan yang dapat diverifikasi.

Akun provokatif tersebut belakangan mengakui bahwa pernyataannya tentang gelar BSc hanya untuk ilmu eksakta diperoleh dengan bertanya kepada aplikasi kecerdasan buatan tertentu. Akun tersebut dengan begitu saja memercayai penjelasan aplikasi, tanpa menyadari bahwa dengan mengubah cara bertanya, jawaban yang diberikan oleh aplikasi dapat saja berbeda bahkan bertolak belakang. Ini hanya salah satu contoh betapa berpikir kritis sangat mendesak pada masa sekarang. Kita tidak boleh percaya dan memasrahkan diri hanya karena yakin bahwa sumber informasi yang kita miliki dipandang pintar, canggih, atau dapat dipercaya.

Linda Elder, penulis buku Defining Critical Thinking (2008) dan presiden Foundation for Critical Thinking mendeskripsikan berpikir kritis sebagai berpikir mandiri dan disiplin yang berupaya untuk bernalar pada tingkat kualitas tertinggi dengan cara yang berimbang/adil. Menurut dia, orang yang berpikir kritis secara konsisten berupaya untuk hidup secara rasional, masuk akal, dan empatik. Berpikir kritis juga berarti kesadaran bahwa adalah sifat bawaan pemikiran manusia untuk mengandung cacat jika dibiarkan begitu saja. Berpikir kritis, menurut Linda Elder, adalah berusaha untuk mengurangi kekuatan kecenderungan egosentris dan sosiosentris manusia. Manusia harus menggunakanperangkat intelektual yang ditawarkan oleh pemikiran kritis – konsep dan prinsip yang memungkinkan manusia untuk menganalisis, menilai, dan meningkatkan pemikiran.

Jurnalis sebagai korps terdepan dalam mengolah dan menyampaikan informasi harus memiliki kemampuan berpikir kritis. Kemampuan itu seyogyanya dipelihara dan terus dilatih. Tujuannya, antara lain untuk memastikan karya jurnalistik yang dihasilkan terhindar dari kemungkinan menyajikan informasi yang menyesatkan, dangkal, atau insinuatif.

Erin Massey Hiro, profesor jurnalisme pada Palomar College di San Marcos, California, dalam bukunya Broccoli and Chocolate: A Beginner’s Guide to Journalism News Writing ( Pressbook, 2024), mengutip panduan berpikir kritis untuk para jurnalis yang disusun oleh Jill Geisler dan diterbitkan oleh The Poynter Institute, sebuah lembaga pemikir jurnalisme. Panduan yang terbit pada tahun 2005 itu merupakan hasil wawancara Geisler dengan 35 ahli dan hasilnya dalah sebuah daftar ketrampilan jurnalistik untuk berpikir kritis sebagai berikut:
  1. Berpikir secara mandiri.
  2. Menerapkan sikap berimbang dan adil.
  3. Menelaah gagasan yang mendasari perasaan dan perasaan yang mendasari gagasan.
  4. Menjernihkan generalisasi dan menghindari penyederhanaan yang berlebihan.
  5. Mengklarifikasi isu, kesimpulan, atau keyakinan.
  6. Mengklarifikasi dan menganalisis maknakata dan frasa.
  7. Mengembangkan kriteria evaluasi; mengklarifikasi nilai dan standar.
  8. Mengevaluasi kredibilitas sumber informasi.
  9. Menganalisis atau mengevaluasi argumen, interpretasi, keyakinan, atau teori.
  10. Menghasilkan atau menilai solusi.
  11. Membaca secara kritis.
  12. Mendengarkan secara kritis.
  13. Meneliti atau mengevaluasi asumsi.
  14. Membedakan fakta yang relevan dari yang tidak relevan.
  15. Membuat kesimpulan, prediksi, atauinterpretasi yang masuk akal.
Selain menyusun 15 ketrampilan, Geisler juga menyodorkan 15 pertanyaan yang membantu wartawan untuk berpikir kritis. Berikut ini pertanyaan-pertanyaan tersebut:
  1. Asumsi apa yang Anda miliki tentang isu atau individu dalam cerita Anda? 
  2. Apakah ada penjelasan masuk akal lain yang harus Anda lihat dalam kasus ini?
  3. Apakah Anda telah bekerja keras untuk menyangkal fakta dan penjelasan yang ada seperti halnya kerja keras Anda untuk membuktikan hipotesis Anda?
  4. Apakah ada yang hilang dalam tulisan Anda? Apakah Anda telah mengajukan pertanyaan yang tepat?
  5. Apakah Anda benar-benar menantang diri sendiri? Apakah Anda masih tetap jatuh cinta pada cerita Anda setelah melihat hasil akhirnya saat ini?
  6. Mengapa informasi ini relevan dengan cerita?
  7. Apakah Anda berasumsi bahwa korelasi adalah sebab akibat? (Seharusnya tidak).
  8. Seberapa cermat Anda mendengarkan semua suara?
  9. Apakah Anda membiarkan rasa takut mengendalikan pikiran Anda?
  10. Hanya karena hal ini selalu dilakukan dengan cara ini sebelumnya, apakah itu alasan untuk tidak mempertanyakan?
  11. Hanya karena Anda mengalami kesulitan mendapatkan informasi tertentu, apakah itu membuatnya menjadi sangat penting atau menarik?
  12. Apakah Anda memiliki keahlian dalam subjek ini untuk membentuk kesimpulan yang tepat. Apakah masih ada hal lain yang perlu Anda pelajari?
  13. Apakah Anda terlalu menyederhanakan atau menggeneralisasi?
  14. Bagaimana logika Anda? Apakah Anda menjadi mangsa argumen ad hominem atau dikotomi palsu (keyakinan keliru bahwa hanya ada dua pilihan) alih-alih memeriksa masalahnya secara lebih menyeluruh?
  15. Apakah yang Anda tulis benar-benar berimbang?
Daftar ini mungkin terlalu panjang, bertele-tele, dan mengandung remeh-temeh yang sudah pernah Anda dengar berulang kali. Namun ada kalanya hal remeh temeh itu terlupakan. Oleh karena itu, Massey Hiro mengingatkan jurnalis yang baik seharusnya selalu mengingat daftar ini dan tak bosan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri agar tidak kehilangan kemampuan berpikir kritis.

Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya