Bagaimana Penulis Esai Memakai Majas Paradoks untuk Membujuk Pembaca
Perang endorsement (dukungan) semakin gencar menjelang hari H pemilihan presiden AS. Kolom opini koran-koran terkemuka negara itu ramai berhiaskan esai mendukung salah satu kandidat.
Salah satu yang menarik dari fenomena ini ialah semakin kerapnya esai tersebut menggunakan majas paradoks. Keputusan mendukung kandidat dinyatakan dengan berangkat dari dua kenyataan yang seolah-olah bertentangan pada diri penulis.
Per definisi, paradoks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah “pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.” Sedangkan kamus Oxford Learner mendefinisikannya “a statement containing two opposite ideas that make it seem impossible or unlikely, although it is probably true.” Majas paradoks dengan demikian dapat dikatakan sebagai gaya bahasa yang memanfaatkan dan menonjolkan dua hal yang bertentangan untuk menegaskan pesan yang akan disampaikan.
Salah satu kolumnis yang menggunakan majas paradoks ini dalam esainya adalah Nicole Russel. Ia menulis di harian USA Today, 31 Oktober 2024, surat kabar tempat dirinya terdaftar sebagai kolumnis. Judul esainya langsung menyiratkan paradoks: “I don't like Trump, but I'm voting for him. Here's why many Americans will, too.” Meskipun mengakui dirinya pendukung Partai Republik, Russel berkata ia tidak menyukai Donald Trump. Ia bahkan pernah berpikir Trump tidak layak menjadi presiden.
“Kerusuhan di gedung Capitol pada 6 Januari 2021 yang didorong oleh Trump adalah momen penting yang memaksa saya untuk membatalkan dukungan saya sebelumnya kepadanya. Itu adalah kejadian yang mengerikan dalam sejarah Amerika,” tulis Russel, yang dalam bio kepenulisannya menyebut diri sebagai ibu dari empat anak.
“Karena berbagai alasan, saya dapat mengajukan alasan kuat bahwa Trump tidak layak menjadi presiden,” ia menulis pada bagian lain esainya.
Kendati begitu, Russel akhirnya berubah arah dan menyatakan akan memilih Trump pada pilpres AS November ini. Bagi Russel, tampaknya semua kelemahan Trump tidak berarti bila dibanding banyak hal yang dipertaruhkan bila ia tidak terpilih. Ia mengemukakan tiga isu yang menjadi masalah parah di AS dewasa ini. Ketiga masalah itu yakni kebijakan luar negeri, ekonomi, dan keamanan perbatasan.
“Trump telah menunjukkan bahwa dia mampu menangani semua ini,” tulis Russel.
Menurut dia, rencana ekonomi Kamala Harris sangat buruk dan sangat berwarna sosialis. Itu bisa membuat AS bangkrut karena biaya birokrasi yang membengkak.
“Kita adalah bangsa yang menderita akibat dampak inflasi yang berkepanjangan, dengan utang yang terus bertambah dan tidak dapat dipertahankan, di dunia yang penuh dengan ancaman perang dan konflik global. Kita tidak mampu untuk tetap berada di jalur yang benar.”
Gambaran yang suram ini, dalam pemahaman Russel, akan teratasi bila Trump menjadi presiden. Ia memfavoritkan kebijakan pemotongan pajak yang pernah dilakukan Trump, dan dia harapkan akan diperpanjang bila Trump terpilih.
“Masyarakat kelas menengah dan atas Amerika membayar jauh lebih banyak daripada pajak yang seharusnya mereka bayarkan. Kebanyakan keluarga akan menjadi lebih baik – dan akan menstimulasi perekonomian – dengan menambah beberapa dolar di rekening bank mereka,” tulis Russel.
Russel kemudian menutup esainya dengan kembali menggunakan majas paradoks: “Jutaan pemilih tertarik pada Trump karena ia tampak pro Amerika, pro-militer, dan pro-kehidupan….Saya tidak melihat Trump seperti itu, tapi saya memahami pandangan orang-orang yang berpendapat demikian. Pandangan-pandangan tersebut penting untuk dilihat dan didengar.”
Sama seperti Russel, kolumnis Los Angeles Times, Jonah Goldberg, juga menggunakan majas paradoks. Namun esai dukungannya bukan untuk Trump melainkan untuk Kamala Harris.
Goldberg yang juga pemimpin redaksi Dispatch, memulai kolomnya dengan kalimat yang menyiratkan dirinya akan bersikap netral. “Saya tidak akan memilih salah satu dari mereka.” tulisnya, lewat esai yang berjudul “Donald Trump or Kamala Harris? Here’s how I’m going to vote in this election and why” yang dimuat di Los Angeles Times 29 Oktober 2024. Namun berikutnya ia sodorkan kalimat yang kontradiktif: “Kendati demikian bukan berarti saya netral terhadap hasil pemilu.”
Lalu ia mengemukakan argumentasi untuk membenarkan keputusannya mendukung Kamala Harris dan menolak Donald Trump. “Saya rasa Harris bukanlah calon presiden, wakil presiden, atau senator yang menarik. Saya pikir dia sangat salah dalam beberapa hal. Namun saya juga merasakan hal seperti yang dirasakan P.J. O’Rourke pada tahun 2016, ketika dia berkata saat menyatakan dukungan kepada Hillary Clinton, ‘Dia benar-benar salah dalam segala hal, tapi dia salah dalam parameter normal.’”
Dengan meminjam cara pandang O’Rourke, Goldberg seakan mengatakan bahwa kesalahan Harris dapat diterima karena berada dalam parameter normal sedangkan Trump melampaui parameter itu.
“Trump tidak bisa diterima. Fakta bahwa ia melanggar tradisi Amerika dalam pengalihan kekuasaan secara damai sudah mendiskualifikasinya,” tulis Goldberg.
Goldberg, yang di bagian lain esainya mengakui dirinya sebagai seorang konservatif, menolak anggapan bahwa seorang konservatif harus memilih Trump. Ia justru menyesali ketika sebagian besar anggota Partai Republik memaafkan upaya Trump untuk ‘mencuri kemenangan pemilu tahun 2020 dengan alasan peralihan kekuasaan telah berjalan secara damai dan Trump melepaskan jabatannya tepat waktu.
“Hal ini seperti mengatakan bahwa kerusuhan di penjara tidak pernah terjadi karena pada akhirnya semua orang kembali ke selnya dan menjalani hukumannya,” tulis Goldberg.
Sebagai seorang konservatif, Goldberg mengatakan ia mendukung Kamala Harris dalam perspektif jangka panjang. Ia berharap kemenangan Kamala Harris akan melepaskan cengkeraman Trump atas Partai Republik sehingga memunculkan peluang terpilihnya pemimpin Partai Republik yang lebih baik.
Ia membayangkan bila terpilih, Harris akan mendekati kalangan koservatif, dan semakin membuka kesempatan bekerja sama dengan politisi Partai Republik.
“Partai Demokrat yang lebih moderat akan mendorong pusat gravitasi politik Amerika ke arah kanan, yang seharusnya menjadi tujuan gerakan konservatif,” tulis Goldberg.
Goldberg menonjolkan paradoks dirinya sebagai seorang konservatif yang mendukung Kamala Harris, namun pada saat yang sama ia menunjukkan betapa salahnya bila hal itu dianggap paradoks.
“Saya diberitahu bahwa seorang konservatif bukanlah seorang konservatif jika dia tidak memilih Trump. Omong kosong. Saya tidak akan memilih dia karena saya seorang konservatif, dan menurut saya negara ini membutuhkan konservatisme yang sehat dan rasional.”
Mengapa Memakai Majas Paradoks?
Mengapa para penulis esai ini menggunakan majas pertentangan paradoks? Studi literatur sudah banyak mengulas kegunaan majas ini. Antara lain untuk menambah daya tarik dan memberi warna pada tulisan, mempermudah pemahaman atas argumentasi yang disodorkan, menyentuh emosi pembaca dan sebagai cara untuk melakukan persuasi. Manakala semua alasan ini dapat mendorong para penulis esai memakai majas paradoks, yang paling kuat tampaknya adalah kebutuhan untuk melakukan persuasi.
Ketika hari H pilpres sudah semakin dekat, umumnya sebagian besar pemilih sudah menentukan pilihannya secara mantap. Oleh karena itu esai-esai dukungan yang tampil di media tidak lagi ditujukan kepada mereka. Proposisi seperti yang ditulis oleh Russel dan Goldberg hampir dapat dipastikan menyasar para pemilih yang ragu-ragu atau belum menentukan pilihan. Umumnya pemilih jenis ini bukan pendukung fanatik salah satu kandidat. Itu lah sebabnya sosok seperti Russel dan Goldberg tampil melakukan persuasi. Mereka hadir sebagai sosok yang rentan, nyaris sama seperti para pemilih yang ragu-ragu itu: merasa terbelah, terayun-ayun antara Trump dan Harris, sama-sama kecewa terhadap kandidat yang dijagokan tetapi pada akhirnya harus membuat pilihan.
Dengan identifikasi diri semacam ini, mereka berharap meraih simpati pemilih yang ragu-ragu. Selanjutnya tugas yang tidak kalah berat adalah menyampaikan pesan-pesan argumentatif untuk meyakinkan bahwa dalam keragu-raguan untuk menentukan pilihan, ada kandidat yang lebih baik dan memberi harapan.
Salah satu yang menarik dari fenomena ini ialah semakin kerapnya esai tersebut menggunakan majas paradoks. Keputusan mendukung kandidat dinyatakan dengan berangkat dari dua kenyataan yang seolah-olah bertentangan pada diri penulis.
Per definisi, paradoks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah “pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.” Sedangkan kamus Oxford Learner mendefinisikannya “a statement containing two opposite ideas that make it seem impossible or unlikely, although it is probably true.” Majas paradoks dengan demikian dapat dikatakan sebagai gaya bahasa yang memanfaatkan dan menonjolkan dua hal yang bertentangan untuk menegaskan pesan yang akan disampaikan.
Salah satu kolumnis yang menggunakan majas paradoks ini dalam esainya adalah Nicole Russel. Ia menulis di harian USA Today, 31 Oktober 2024, surat kabar tempat dirinya terdaftar sebagai kolumnis. Judul esainya langsung menyiratkan paradoks: “I don't like Trump, but I'm voting for him. Here's why many Americans will, too.” Meskipun mengakui dirinya pendukung Partai Republik, Russel berkata ia tidak menyukai Donald Trump. Ia bahkan pernah berpikir Trump tidak layak menjadi presiden.
“Kerusuhan di gedung Capitol pada 6 Januari 2021 yang didorong oleh Trump adalah momen penting yang memaksa saya untuk membatalkan dukungan saya sebelumnya kepadanya. Itu adalah kejadian yang mengerikan dalam sejarah Amerika,” tulis Russel, yang dalam bio kepenulisannya menyebut diri sebagai ibu dari empat anak.
“Karena berbagai alasan, saya dapat mengajukan alasan kuat bahwa Trump tidak layak menjadi presiden,” ia menulis pada bagian lain esainya.
Kendati begitu, Russel akhirnya berubah arah dan menyatakan akan memilih Trump pada pilpres AS November ini. Bagi Russel, tampaknya semua kelemahan Trump tidak berarti bila dibanding banyak hal yang dipertaruhkan bila ia tidak terpilih. Ia mengemukakan tiga isu yang menjadi masalah parah di AS dewasa ini. Ketiga masalah itu yakni kebijakan luar negeri, ekonomi, dan keamanan perbatasan.
“Trump telah menunjukkan bahwa dia mampu menangani semua ini,” tulis Russel.
Menurut dia, rencana ekonomi Kamala Harris sangat buruk dan sangat berwarna sosialis. Itu bisa membuat AS bangkrut karena biaya birokrasi yang membengkak.
“Kita adalah bangsa yang menderita akibat dampak inflasi yang berkepanjangan, dengan utang yang terus bertambah dan tidak dapat dipertahankan, di dunia yang penuh dengan ancaman perang dan konflik global. Kita tidak mampu untuk tetap berada di jalur yang benar.”
Gambaran yang suram ini, dalam pemahaman Russel, akan teratasi bila Trump menjadi presiden. Ia memfavoritkan kebijakan pemotongan pajak yang pernah dilakukan Trump, dan dia harapkan akan diperpanjang bila Trump terpilih.
“Masyarakat kelas menengah dan atas Amerika membayar jauh lebih banyak daripada pajak yang seharusnya mereka bayarkan. Kebanyakan keluarga akan menjadi lebih baik – dan akan menstimulasi perekonomian – dengan menambah beberapa dolar di rekening bank mereka,” tulis Russel.
Russel kemudian menutup esainya dengan kembali menggunakan majas paradoks: “Jutaan pemilih tertarik pada Trump karena ia tampak pro Amerika, pro-militer, dan pro-kehidupan….Saya tidak melihat Trump seperti itu, tapi saya memahami pandangan orang-orang yang berpendapat demikian. Pandangan-pandangan tersebut penting untuk dilihat dan didengar.”
Sama seperti Russel, kolumnis Los Angeles Times, Jonah Goldberg, juga menggunakan majas paradoks. Namun esai dukungannya bukan untuk Trump melainkan untuk Kamala Harris.
Goldberg yang juga pemimpin redaksi Dispatch, memulai kolomnya dengan kalimat yang menyiratkan dirinya akan bersikap netral. “Saya tidak akan memilih salah satu dari mereka.” tulisnya, lewat esai yang berjudul “Donald Trump or Kamala Harris? Here’s how I’m going to vote in this election and why” yang dimuat di Los Angeles Times 29 Oktober 2024. Namun berikutnya ia sodorkan kalimat yang kontradiktif: “Kendati demikian bukan berarti saya netral terhadap hasil pemilu.”
Lalu ia mengemukakan argumentasi untuk membenarkan keputusannya mendukung Kamala Harris dan menolak Donald Trump. “Saya rasa Harris bukanlah calon presiden, wakil presiden, atau senator yang menarik. Saya pikir dia sangat salah dalam beberapa hal. Namun saya juga merasakan hal seperti yang dirasakan P.J. O’Rourke pada tahun 2016, ketika dia berkata saat menyatakan dukungan kepada Hillary Clinton, ‘Dia benar-benar salah dalam segala hal, tapi dia salah dalam parameter normal.’”
Dengan meminjam cara pandang O’Rourke, Goldberg seakan mengatakan bahwa kesalahan Harris dapat diterima karena berada dalam parameter normal sedangkan Trump melampaui parameter itu.
“Trump tidak bisa diterima. Fakta bahwa ia melanggar tradisi Amerika dalam pengalihan kekuasaan secara damai sudah mendiskualifikasinya,” tulis Goldberg.
Goldberg, yang di bagian lain esainya mengakui dirinya sebagai seorang konservatif, menolak anggapan bahwa seorang konservatif harus memilih Trump. Ia justru menyesali ketika sebagian besar anggota Partai Republik memaafkan upaya Trump untuk ‘mencuri kemenangan pemilu tahun 2020 dengan alasan peralihan kekuasaan telah berjalan secara damai dan Trump melepaskan jabatannya tepat waktu.
“Hal ini seperti mengatakan bahwa kerusuhan di penjara tidak pernah terjadi karena pada akhirnya semua orang kembali ke selnya dan menjalani hukumannya,” tulis Goldberg.
Sebagai seorang konservatif, Goldberg mengatakan ia mendukung Kamala Harris dalam perspektif jangka panjang. Ia berharap kemenangan Kamala Harris akan melepaskan cengkeraman Trump atas Partai Republik sehingga memunculkan peluang terpilihnya pemimpin Partai Republik yang lebih baik.
Ia membayangkan bila terpilih, Harris akan mendekati kalangan koservatif, dan semakin membuka kesempatan bekerja sama dengan politisi Partai Republik.
“Partai Demokrat yang lebih moderat akan mendorong pusat gravitasi politik Amerika ke arah kanan, yang seharusnya menjadi tujuan gerakan konservatif,” tulis Goldberg.
Goldberg menonjolkan paradoks dirinya sebagai seorang konservatif yang mendukung Kamala Harris, namun pada saat yang sama ia menunjukkan betapa salahnya bila hal itu dianggap paradoks.
“Saya diberitahu bahwa seorang konservatif bukanlah seorang konservatif jika dia tidak memilih Trump. Omong kosong. Saya tidak akan memilih dia karena saya seorang konservatif, dan menurut saya negara ini membutuhkan konservatisme yang sehat dan rasional.”
Mengapa Memakai Majas Paradoks?
Mengapa para penulis esai ini menggunakan majas pertentangan paradoks? Studi literatur sudah banyak mengulas kegunaan majas ini. Antara lain untuk menambah daya tarik dan memberi warna pada tulisan, mempermudah pemahaman atas argumentasi yang disodorkan, menyentuh emosi pembaca dan sebagai cara untuk melakukan persuasi. Manakala semua alasan ini dapat mendorong para penulis esai memakai majas paradoks, yang paling kuat tampaknya adalah kebutuhan untuk melakukan persuasi.
Ketika hari H pilpres sudah semakin dekat, umumnya sebagian besar pemilih sudah menentukan pilihannya secara mantap. Oleh karena itu esai-esai dukungan yang tampil di media tidak lagi ditujukan kepada mereka. Proposisi seperti yang ditulis oleh Russel dan Goldberg hampir dapat dipastikan menyasar para pemilih yang ragu-ragu atau belum menentukan pilihan. Umumnya pemilih jenis ini bukan pendukung fanatik salah satu kandidat. Itu lah sebabnya sosok seperti Russel dan Goldberg tampil melakukan persuasi. Mereka hadir sebagai sosok yang rentan, nyaris sama seperti para pemilih yang ragu-ragu itu: merasa terbelah, terayun-ayun antara Trump dan Harris, sama-sama kecewa terhadap kandidat yang dijagokan tetapi pada akhirnya harus membuat pilihan.
Dengan identifikasi diri semacam ini, mereka berharap meraih simpati pemilih yang ragu-ragu. Selanjutnya tugas yang tidak kalah berat adalah menyampaikan pesan-pesan argumentatif untuk meyakinkan bahwa dalam keragu-raguan untuk menentukan pilihan, ada kandidat yang lebih baik dan memberi harapan.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar