Kita Belum Apa-apa Bila Menganggap Menulis Sebagai Kesenangan
Kebanyakan orang mengawali dunia kepenulisan dengan kesenangan. Tetapi perjalanannya kerap menukik ke dalam penderitaan.
Sering kali di ruang kelas tidak ada guru yang berani mengatakan ini. Mungkin mereka khawatir hal itu merusak mood murid yang tengah berbunga-bunga ingin jadi penulis.
Kisah Abdulrazak Gurnah, pemenang Nobel Sastra tahun 2021, menarik untuk dipelajari. Ia membagi tiga tahap kepenulisannya.
Pertama, kepenulisan di masa kecil. Ia menulis karena diminta menulis pada pelajaran Mengarang. Ia menulis sebagai wujud kepatuhan.
Kedua, di masa remaja, menulis sebagai kesenangan. Menulis untuk bikin hati nyaman.
Ketiga, menulis ketika menjadi orang asing dan tanpa tanah air. Ini menempa jatidiri kepenulisannya.
"Saya tidak menyadari hal ini sepenuhnya sampai saya pergi untuk tinggal di Inggris," tulis dia dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada 7 Desember 2021.
"Di sanalah, dalam kerinduan akan kampung halaman dan di tengah penderitaan, saya mulai merenungkan begitu banyak hal....," kata dia.
Menurut dia, semakin besar kesadaran padanya bahwa ada sesuatu yang perlu ia katakan dan bahwa ada tugas yang harus ia selesaikan.
Abdulrazak Gurnah lahir 20 Desember 1948. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, Zanzibar, pada usia 18 tahun, menyelamatkan diri setelah revolusi 1964 yang menggulingkan penguasa Zanzibar. Setelah itu Zanzibar bergabung membentuk Tanzania.
Gurnah tak pernah menganggap Zanzibar lenyap. Ia mempertahankan hubungan kuat dengan negeri yang hilang itu melalui karya-karyanya.
Dalam kekalahan, orang sering menghibur diri dengan sejarah palsu. Gurnah tidak. Sejarah yang ditulis oleh para pemenang, tulis Gurnah, sering "lebih sederhana" dengan narasi pilihan yang disesuaikan. Tetapi selemah apa pun kebenaran, pasti ada yang mengingatnya.
"Penting untuk melakukan upaya untuk melestarikan ingatan itu, untuk menulis ..... kisah-kisah yang dialami orang-orang, dan melaluinya mereka memahami diri mereka sendiri.....yang ingin dihapuskan dari ingatan kita."
Di Inggris, jauh dari peristiwa-peristiwa tersebut Gurnah sangat diganggu oleh ingatan-ingatan menyakitkan. "Saya menduga ini adalah salah satu beban orang-orang yang melarikan diri dari trauma dan mendapati diri mereka hidup aman, jauh dari orang-orang yang ditinggalkan."
Inilah yang terus memanggilnya untuk menulis, meskipun pahit.
Gurnah percaya menulis harus menunjukkan apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Misalnya, tentang hal-hal yang membuat mereka yang tampak lemah tetap merasa percaya diri tanpa hirau hinaan orang lain.
"Saya merasa perlu menulis tentang hal itu juga, dan melakukannya dengan jujur, sehingga keburukan dan kebaikan muncul, dan manusia keluar dari penyederhanaan dan stereotip."
Ketika itu berhasil, kata Gurnah, semacam keindahan muncul dan "menulis menjadi bagian yang berharga dalam hidup saya."
Sering kali di ruang kelas tidak ada guru yang berani mengatakan ini. Mungkin mereka khawatir hal itu merusak mood murid yang tengah berbunga-bunga ingin jadi penulis.
Kisah Abdulrazak Gurnah, pemenang Nobel Sastra tahun 2021, menarik untuk dipelajari. Ia membagi tiga tahap kepenulisannya.
Pertama, kepenulisan di masa kecil. Ia menulis karena diminta menulis pada pelajaran Mengarang. Ia menulis sebagai wujud kepatuhan.
Kedua, di masa remaja, menulis sebagai kesenangan. Menulis untuk bikin hati nyaman.
Ketiga, menulis ketika menjadi orang asing dan tanpa tanah air. Ini menempa jatidiri kepenulisannya.
"Saya tidak menyadari hal ini sepenuhnya sampai saya pergi untuk tinggal di Inggris," tulis dia dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada 7 Desember 2021.
"Di sanalah, dalam kerinduan akan kampung halaman dan di tengah penderitaan, saya mulai merenungkan begitu banyak hal....," kata dia.
Menurut dia, semakin besar kesadaran padanya bahwa ada sesuatu yang perlu ia katakan dan bahwa ada tugas yang harus ia selesaikan.
Abdulrazak Gurnah lahir 20 Desember 1948. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, Zanzibar, pada usia 18 tahun, menyelamatkan diri setelah revolusi 1964 yang menggulingkan penguasa Zanzibar. Setelah itu Zanzibar bergabung membentuk Tanzania.
Gurnah tak pernah menganggap Zanzibar lenyap. Ia mempertahankan hubungan kuat dengan negeri yang hilang itu melalui karya-karyanya.
Dalam kekalahan, orang sering menghibur diri dengan sejarah palsu. Gurnah tidak. Sejarah yang ditulis oleh para pemenang, tulis Gurnah, sering "lebih sederhana" dengan narasi pilihan yang disesuaikan. Tetapi selemah apa pun kebenaran, pasti ada yang mengingatnya.
"Penting untuk melakukan upaya untuk melestarikan ingatan itu, untuk menulis ..... kisah-kisah yang dialami orang-orang, dan melaluinya mereka memahami diri mereka sendiri.....yang ingin dihapuskan dari ingatan kita."
Di Inggris, jauh dari peristiwa-peristiwa tersebut Gurnah sangat diganggu oleh ingatan-ingatan menyakitkan. "Saya menduga ini adalah salah satu beban orang-orang yang melarikan diri dari trauma dan mendapati diri mereka hidup aman, jauh dari orang-orang yang ditinggalkan."
Inilah yang terus memanggilnya untuk menulis, meskipun pahit.
Gurnah percaya menulis harus menunjukkan apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Misalnya, tentang hal-hal yang membuat mereka yang tampak lemah tetap merasa percaya diri tanpa hirau hinaan orang lain.
"Saya merasa perlu menulis tentang hal itu juga, dan melakukannya dengan jujur, sehingga keburukan dan kebaikan muncul, dan manusia keluar dari penyederhanaan dan stereotip."
Ketika itu berhasil, kata Gurnah, semacam keindahan muncul dan "menulis menjadi bagian yang berharga dalam hidup saya."

Komentar
Posting Komentar