Bagaimana Menulis 'Personal History' yang Menawan

Para penulis beken sering mendapat privilese menulis 'personal history' mereka. Semacam memoar untuk menceritakan tempaan waktu yang dijalani, terutama bagaimana mereka pada akhirnya sampai pada keputusan untuk menjadi penulis.

Dua yang saya ingat dan saya anggap sangat menawan adalah esai H.L. Mencken, wartawan dan penulis kawakan AS awal abad 20, dan satu bab otobiografi Floyd Dell, juga wartawan kenamaan AS di tahun 1900an, yang dikenal sebagai sosialis radikal sejak masih muda.

Mencken menulis esai berjudul "The Satisfaction of Life" untuk menjawab pertanyaan "apa yang membuat hidup berarti" yang diajukan oleh sejarawan Will Durant kepada sejumlah tokoh AS, termasuk Mencken. Jawaban atas pertanyaan itu disajikan pada buku "On The Meaning of Life" (1932), yang melegenda. Dalam esainya Mencken berkisah apa arti menulis baginya dan bagaimana ia tiba pada keteguhan hati menekuni dunia literasi. (Dia berkata takdir menulis baginya sama bermaknanya dengan takdir seekor ayam bertelur).

Sementara itu Floyd Dell menceritakan masa kecilnya yang mengharukan dalam bab "We're Poor" pada otobiografinya "Homecoming" (1933). Dengan sangat menyentuh Dell bercerita bagaimana ia di masa kecil membawa amplop berisi receh  untuk dikumpulkan kepada guru dan akan disumbangkan kepada orang miskin. Lalu ia tersadar pada suatu malam bahwa dirinyalah orang miskin itu saat ia menyadari keluarganya merayakan Natal hanya dengan sup labu kuning dan ia dilarang bermain-main di halaman rumah yang bersalju bersama kawan-kawannya karena sepatu satu-satunya yang sudah berlubang.

Sekarang tampaknya saya harus menambahkan satu lagi 'personal history' yang menawan setelah membaca  esai panjang (6 halaman) Victor Lodato yang dimuat di The New Yorker edisi 5 Agustus 2024. Lodato, penulis naskah dan penulis novel yang pernah memenangi PEN USA Award (2015) menulis 'personal history' berjudul "Playing The Numbers, My Mother, The Gambler."

Bagi saya cerita ini menawan karena Lodato memperkenalkan masa kecilnya lewat sepotong masa kelam ibunya -- sesuatu yang menurut saya perlu keberanian ekstra untuk menuliskannya. Di sebagian besar memoar, kita jamak membaca pujian terhadap Ibu oleh tindakan-tindakan heroiknya yang tulus (dan saya selalu tersentuh oleh cerita-cerita semacam itu) namun Lodato memilih bagian yang menunjukkan sisi tercela Ibunda.

Lodato mengenang masa kecilnya dalam asuhan sang Ibunda yang gemar judi buntut. Untuk hal ini, Lodato kecil ternyata menjadi sekondan andalan ibunda. Sang ibu sering bertanya nomor berapa yang akan muncul kepada Lodato.

Ini bukan pertanyaan random yang akan dilontarkan Ibunda kepada siapa saja. Ini khusus ditanyakan kepada Lodato, yang oleh seisi rumah, termasuk oleh sang ayah, dianggap anak aneh.

Lodato kecil memiliki ritual yang tidak bisa diganggu, semisal barang-barangnya yang diletakkan di meja harus berjarak sama satu dengan yang lain; jika pergi sekolah ia harus menyentuh tiga daun maple; dan tali sepatunya tak boleh menyentuh tanah. Perilakunya yang aneh dan dianggap percaya pada takhayul klop dengan ibunya yang selalu optimistis akan memenangi undian.

Dari seorang penggemar, lama kelamaan ibunya menjadi pencandu judi buntut. Semua hal dijadikan petunjuk, termasuk membuat buku catatan tiga nomor terakhir dari nomor telepon orang yang meneleponnya.

Kecanduan itu bahkan bertambah parah. Sang ibu menjadi agen judi buntut. Ia menjajakannya kepada orang lain dan mendapat komisi dari bisnis ilegal itu.

Sampai suatu hari rumah mereka digerebek polisi dan sang ibu bersama neneknya dimasukkan ke dalam sel tahanan. Ketika ayahnya berhasil membebaskannya, sang ibu belum jera juga. Rumah mereka tergadai dan nyaris disita bank.

Di usia 60 Ibunda didiagnosa mengidap kanker payudara. Ini menyebabkannya mulai mengerem aktivitasnya. Ia semakin banyak memiliki waktu dengan Lodato, yang saat itu telah bekerja sebagai penulis.

Tidak ada anggota keluarga yang memahami Lodato atas pilihan pekerjaannya, kecuali sang Ibunda yang membanggakannya. Tatkala Lodato memenangi penghargaan pertamanya di bidang kepenulisan, sang Ibu menyelenggarakan pesta meriah, biayanya bahkan lebih besar dari hadiah uang yang diterima Lodato.

Ketika Lodato memulai menulis novel pertamanya, penyakit sang Ibu sudah dalam taraf parah. Ketika sang Ibu tahu bahwa Lodato mendedikasikannya kepada dirinya, ibunya selalu menanyakan perkembangan penulisannya. "Sudah sampai dimana 'buku kita?'" begitu ia bertanya.

Buku itu beredar di toko buku sebulan setelah sang Ibu meninggal. "Saya tidak memperoleh jumlah besar dari penjualannya,  tetapi itu lebih banyak  daripada yang pernah saya hasilkan dalam hidup saya, dan pasti lebih banyak daripada yang pernah dimenangkan ibu dalam judi mana pun yang diikutinya. Sulit untuk tidak merasa percaya takhayul—bahwa keberuntunganku, entah bagaimana, berhubungan dengan Ibu".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya