Mengapa Esai Tak Pernah Mati
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Michel de Montaigne lebih dari 400 tahun lalu, esai tak pernah mati. Esai bertahan meskipun bentuk-bentuk tulisan lain silih berganti muncul. Esai bahkan berekspansi sampai-sampai ia dipergunakan untuk mengekspresikan apa saja. Tidak mengejutkan bila Christy Wampole memperkenalkan istilah The Essayification (Google translate menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia menjadi esaiifikasi) dalam tulisannya di The New York Times edisi 26 Mei 2013 berjudul "The Essayification of Everything", Esaiifikasi Segalanya. Tulisannya berangkat dari pengamatan minat yang sangat berkembang dalam mengeksplorasi esai sebagai bentuk ekspresi.
"Akhir-akhir ini, Anda mungkin memperhatikan banyaknya artikel dan buku yang tertarik pada esai....., esai telah menjadi jimat di zaman kita," tulis dia.
'The Essayfication of Everything' sendiri adalah sebuah esai yang mencoba menjelaskan ketertarikan orang pada esai. Di antara penjelasannya yang panjang, ada beberapa hal yang saya catat.
Tesis Utama Wampole kira-kira mengatakan bahwa esai merupakan genre tulisan yang luwes dengan semangat 'pemberontakan' terhadap pemikiran dogmatis. Sifat esai yang reflektif adalah simbol perlawanan terhadap pikiran kaku yang bersifat tertutup.
Ini tidak terlepas dari etimologi esai itu sendiri (dari Bahasa Prancis: essai) yang berarti percobaan. Dalam dirinya esai mengandung sifat eksperimental. Artinya, ia harus berani mencoba hal baru, baik penyajiannya, maupun substansinya. Lalu ia juga harus terbuka untuk dibantah.
Dengan kata lain ada ketidakpastian di dalamnya. Ketidakpastian itu merupakan kombinasi dari substansinya yang tidak final dengan eksplorasi penyajian yang eksperimental. Dan, yang terpenting: ia mengundang untuk dibantah.
Yang paling awal mendebat esai tidak lain dari penulisnya sendiri. Para esais harus menanamkan pada dirinya sendiri bahwa ada kemungkinan pendapat lain selain gagasan yang ia kemukakan. Oleh karena itu salah satu ciri esai adalah sifat reflektifnya (baik isi dan penyajiannya). Esai harus mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan orang atau pembaca yang berbeda pendapatnya, dan hal itu harus dihormati, tanpa harus mengakomodasinya apalagi menyetujuinya.
Apakah dengan seluruh ciri ketidakpastian ini bermakna bahwa esai adalah sebuah tulisan receh tanpa kesimpulan, dan karena itu tidak perlu dipertimbangkan?
Justru sebaliknya.
Pertama, dengan kesadaran bahwa gagasan yang disajikan lewat esai terbuka untuk diperdebatkan, penulisnya umumnya lebih cermat mempersiapkannya, termasuk membaca literatur yang tidak mendukung gagasannya.
Kedua, kendati penyajian esai telah mengalami berbagai modifikasi, inti esai yang terdiri dari tiga bagian: introduksi -- bodi -- kesimpulan tidak pernah berubah dan selalu berusaha dipatuhi. Esai bahkan acap kali secara eksplisit menyajikan peta eksposisinya.
Ketiga, esai memberi ruang kepada penulisnya untuk menunjukkan dirinya sebagai manusia. Ketimbang berjarak, penulis esai justru menyatukan diri dengan gagasannya. Wampole mengatakan "Esaiisme, sebagai cara ekspresif dan cara hidup, mengakomodasi rasa tidak aman kita, keasyikan diri kita, kesenangan sederhana kita, pertanyaan-pertanyaan kita yang menakutkan dan kebutuhan untuk membandingkan dan berbagi pengalaman kita dengan manusia lain."
Hanya saja, ada catatan kurang menyenangkan dari Wampole. Menurut dia, esai-esai yang ada dewasa ini sering kekurangan sifat meditatifnya. "Padahal, tanpa aspek meditatif, esaiisme cenderung ke arah egoisme kosong dan keengganan atau ketidakmampuan untuk berkomitmen, penundaan momen pilihan yang malu-malu."
"Keterburu-buruan kita yang sering kali tidak reflektif, memberi arti bahwa hanya sedikit waktu yang kita habiskan untuk menginterogasi hal-hal yang telah kita sentuh. Pengalaman-pengalaman itu hanya dimiliki dan kemudian ditinggalkan."
Padahal, penulis esai sejati, menurut dia, lebih menyukai pendekatan yang lebih kumulatif; tidak ada yang benar-benar tertinggal, hanya dikesampingkan sementara sampai kemudian memunculkannya lagi.
Eben E. Siadari
"Akhir-akhir ini, Anda mungkin memperhatikan banyaknya artikel dan buku yang tertarik pada esai....., esai telah menjadi jimat di zaman kita," tulis dia.
'The Essayfication of Everything' sendiri adalah sebuah esai yang mencoba menjelaskan ketertarikan orang pada esai. Di antara penjelasannya yang panjang, ada beberapa hal yang saya catat.
Tesis Utama Wampole kira-kira mengatakan bahwa esai merupakan genre tulisan yang luwes dengan semangat 'pemberontakan' terhadap pemikiran dogmatis. Sifat esai yang reflektif adalah simbol perlawanan terhadap pikiran kaku yang bersifat tertutup.
Ini tidak terlepas dari etimologi esai itu sendiri (dari Bahasa Prancis: essai) yang berarti percobaan. Dalam dirinya esai mengandung sifat eksperimental. Artinya, ia harus berani mencoba hal baru, baik penyajiannya, maupun substansinya. Lalu ia juga harus terbuka untuk dibantah.
Dengan kata lain ada ketidakpastian di dalamnya. Ketidakpastian itu merupakan kombinasi dari substansinya yang tidak final dengan eksplorasi penyajian yang eksperimental. Dan, yang terpenting: ia mengundang untuk dibantah.
Yang paling awal mendebat esai tidak lain dari penulisnya sendiri. Para esais harus menanamkan pada dirinya sendiri bahwa ada kemungkinan pendapat lain selain gagasan yang ia kemukakan. Oleh karena itu salah satu ciri esai adalah sifat reflektifnya (baik isi dan penyajiannya). Esai harus mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan orang atau pembaca yang berbeda pendapatnya, dan hal itu harus dihormati, tanpa harus mengakomodasinya apalagi menyetujuinya.
Apakah dengan seluruh ciri ketidakpastian ini bermakna bahwa esai adalah sebuah tulisan receh tanpa kesimpulan, dan karena itu tidak perlu dipertimbangkan?
Justru sebaliknya.
Pertama, dengan kesadaran bahwa gagasan yang disajikan lewat esai terbuka untuk diperdebatkan, penulisnya umumnya lebih cermat mempersiapkannya, termasuk membaca literatur yang tidak mendukung gagasannya.
Kedua, kendati penyajian esai telah mengalami berbagai modifikasi, inti esai yang terdiri dari tiga bagian: introduksi -- bodi -- kesimpulan tidak pernah berubah dan selalu berusaha dipatuhi. Esai bahkan acap kali secara eksplisit menyajikan peta eksposisinya.
Ketiga, esai memberi ruang kepada penulisnya untuk menunjukkan dirinya sebagai manusia. Ketimbang berjarak, penulis esai justru menyatukan diri dengan gagasannya. Wampole mengatakan "Esaiisme, sebagai cara ekspresif dan cara hidup, mengakomodasi rasa tidak aman kita, keasyikan diri kita, kesenangan sederhana kita, pertanyaan-pertanyaan kita yang menakutkan dan kebutuhan untuk membandingkan dan berbagi pengalaman kita dengan manusia lain."
Hanya saja, ada catatan kurang menyenangkan dari Wampole. Menurut dia, esai-esai yang ada dewasa ini sering kekurangan sifat meditatifnya. "Padahal, tanpa aspek meditatif, esaiisme cenderung ke arah egoisme kosong dan keengganan atau ketidakmampuan untuk berkomitmen, penundaan momen pilihan yang malu-malu."
"Keterburu-buruan kita yang sering kali tidak reflektif, memberi arti bahwa hanya sedikit waktu yang kita habiskan untuk menginterogasi hal-hal yang telah kita sentuh. Pengalaman-pengalaman itu hanya dimiliki dan kemudian ditinggalkan."
Padahal, penulis esai sejati, menurut dia, lebih menyukai pendekatan yang lebih kumulatif; tidak ada yang benar-benar tertinggal, hanya dikesampingkan sementara sampai kemudian memunculkannya lagi.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar