Beberapa Catatan dari Pelajaran Menulis dan Menyunting Tulisan Sains

Pandangan umum sering membedakan secara ketat ragam bahasa jurnalistik dan ragam bahasa akademik. Ini menghasilkan ketegangan tertentu antara jurnalis dan akademisi.

Akademisi menilai wartawan dengan ragam bahasa jurnalistiknya terlalu menyederhanakan masalah, luput mengungkap substansi, dan lebih mengundang debat kusir daripada diskusi konstruktif. Di sisi lain jurnalis sering menilai karya tulis akademisi bertele-tele, penuh jargon, dan tidak praktis.

Manakala kedua ragam bahasa itu tak bisa dipungkiri memiliki kekhasannya, bukan berarti jurnalis dan akademisi harus memperlebar perbedaan. Kedua ragam bahasa itu sesungguhnya beririsan, bahkan irisannya bisa diperluas dan masing-masing keunggulannya saling memperkuat.

Ini kesimpulan saya dari mengikuti kuliah online "Writing in the Sciences" yang disampaikan oleh Dr. Kristin Sainani, associate professor di Stanford University, melalui platform Coursera. Kuliahnya sepanjang 30 jam diisi antara lain dengan prinsip-prinsip menulis secara efektif, memilih tone, penggunaan kalimat aktif, berbagai pendekatan penyuntingan, wawancara dengan sejumlah pakar yang mengelola jurnal ilmiah, diakhiri dengan latihan dan ujian.

Dr Sainani menekankan perlunya menulis karya ilmiah yang lugas, mudah dimengerti dan minim jargon. Ia juga penganjur penggunaan kalimat aktif (yang sangat ditekankan dalam pelatihan jurnalistik).

Seorang editor sebuah jurnal ilmiah yang diwawancarai Dr Sainani mengatakan para penulis sains perlu banyak belajar kepada wartawan menggunakan berbagai piranti bahasa agar tulisan mereka menarik dibaca. Keterbacaan karya ilmiah mendapat penekanan yang kuat dalam kuliah ini.

Memang ada yang tidak mungkin dikompromikan. Tulisan jurnalistik mungkin bisa meminjam pendekatan karya sastra, dalam mengeksplorasi plot, misalnya. Sementara karya akademik tidak mungkin 'kreatif' dalam hal ini. Struktur tulisan akademik cenderung baku dan kebakuan itu dimaksudkan meningkatkan keterbacaan.

Saya terkesan pada diskusi tentang menafsirkan respons editor jurnal ilmiah. Adakalanya jawaban para editor terasa 'menyakitkan', penuh dengan saran revisi yang berat. Namun, menurut Dr Sainani yang lebih dari satu dekade mengajar kepenulisan ilmiah di Stanford dan telah mendapat sejumlah penghargaan Excellence in Teaching Awards dari kampusnya, sering kali di balik catatan yang menyakitkan justru tersembul harapan bahwa tulisan tersebut akan dimuat sepanjang revisi yang dimintakan dapat dipenuhi.

Diskusi mereka juga menyimpulkan para penulis sains harus terbiasa menerima kenyataan tulisan mereka ditolak. Penulis senior sains yang puluhan karyanya telah terbit di berbagai jurnal pun tidak terbebas dari penolakan. Penolakan tidak selalu karena karya tulis yang tidak berkualitas. Bisa jadi ia tidak diterima karena tergeser oleh tulisan lain yang lebih relevan.

Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya