Bagaimana Sebaiknya Instruktur Mengajarkan Cara Menulis Berita yang Enak Dibaca


Saat mengajarkan cara menulis berita apakah Anda memakai contoh berita rekaan? Banyak instruktur menggunakan peraga jenis ini. Saya juga. Umumnya alasannya bersifat pedagogis. Berita rekaan dapat dibuat sesuai dengan kriteria berita ideal yang sedang dilatihkan. Dengan demikian peserta pelatihan dengan cepat dapat melihat bagaimana 'teori' cocok dengan praktik. 

Namun, ada kelemahan cara ini. Contoh berita ideal (rekaan) itu dapat membuat peserta terobsesi dan terfokus untuk menulis berita yang enak dibaca tanpa mengenali proses mencapainya. Padahal di balik sebuah berita, terjadi pencarian dan perburuan fakta yang acap kali tidak berhasil 100 persen sesuai ekspektasi. Bahkan dapat dikatakan proses jurnalistik tidak pernah berjalan sesempurna rencana.

Oleh karena itu, instruktur lebih disarankan memperkenalkan contoh berita yang riel (dan tidak ideal) tinimbang contoh berita rekaan (yang sempurna). Dengan begitu peserta pelatihan dapat menghayati jurnalisme sebagai rangkaian proses yang tidak sempurna. Lebih baik lagi bila peserta pelatihan langsung terjun melakukan reportase.

Nasihat ini merupakan hasil perenungan saya setelah membaca konklusi studi yang dilakukan oleh Linden Dalecki (Pittsburgh State University), Dominic L. Lasorsa, dan Seth C. Lewis (University of Oregon) berjudul "The News Readability Problem," yang terbit di jurnal Journalism Practice 3(1), Februari 2019. Studi itu menunjukkan bahwa keluhan tentang semakin sulitnya tingkat keterbacaan tulisan berita (dibandingkan tulisan prosa dalam karya fiksi) memiliki dimensi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya, yaitu menyangkut bagaimana cara calon wartawan dididik.

Untuk sampai kepada kesimpulan ini, mereka menggunakan hipotesis yang unik: Tulisan berita rekaan (fiktif) memiliki tingkat keterbacaan yang lebih tinggi dibandingkan berita yang sesungguhnya (otentik).

Dalam membuktikan hipotesis ini mereka membandingkan 181 tulisan berita fiktif hasil karya sembilan wartawan dari lima organisasi pers di AS dengan 128 tulisan berita otentik dari organisasi pers yang sama. Penelitian itu menunjukkan hipotesis mereka terbukti, tulisan berita fiktif memiliki tingkat keterbacaan yang lebih tinggi dibanding tulisan berita otentik. Para peneliti menilai tulisan berita fiktif lebih mudah dibaca karena cerita yang disampaikan tidak dibatasi oleh kenyataan.

Apakah dengan demikian masalah keterbacaan akan selalu melekat pada berita? Para peneliti tidak setuju. Masalah itu dapat diatasi antara lain dimulai dari pendidikan dan pelatihan. Salah satunya adalah dengan tidak lagi menggunakan tulisan berita rekaan untuk mengajarkan bagaimana menulis berita. Calon wartawan lebih baik memulai latihan menulis berita dengan langsung meliput kisah nyata di dunia nyata, dengan segala kerumitannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya