Mengapa Kita Perlu Huruf Miring
Mengisi libur panjang saya membaca kembali "Satrio Piningit ing Kampung Pingit." Buku keempat dari serial "Mangan ora Mangan Kumpul," kumpulan kolom almarhum Umar Kayam di "Kedaulatan Rakyat" itu, terbit tahun 2002.
Salah satu kepiawaian UK ialah kelincahannya menyelipkan kata-kata dari Bahasa Jawa (dan juga bahasa asing) tanpa perlu berpanjang-panjang menjelaskan artinya. Goenawan Mohamad, dalam kata pengantarnya untuk buku seri pertama, membandingkan UK dengan seorang penyiar radio yang terkenal tempo dulu, yang dengan cakep menyapa pendengarnya dalam bahasa daerah sehari-hari dan langsung 'tune in.'
Saya kira tidak berlebihan perbandingan itu. Saya yang bukan orang Jawa dapat merasakannya. Hanya pada satu dan dua bab saya merasa sedikit putar otak mencari arti dari kata bahasa Jawa dalam buku karya UK. Selanjutnya kata-kata seperti ngapurancang, maknyus, srengenge, jebule, ngunandika, priyagung mak beup, pripun, nDalem Keagengan, direriungi, dll kian terasa akrab. Kadang-kadang memang saya tidak tahu makna beberapa kata itu, namun setelah membaca keseluruhan cerita sebagai konteksnya (dan membaca bab-bab lainnya) kata itu seakan membuka diri untuk dipahami.
Yang membuat saya senyum sekulum ketika membaca ulang buku itu kemarin, ialah membayangkan editor yang memeriksa manuskripnya. Betapa banyaknya kata-kata yang harus ditulis dengan huruf italic atau huruf miring.
Bila saya hitung, setiap halaman paling tidak lima kata. Termasuk kata-kata printilan seperti lho, lha, to, rak, dan wis. Bahkan ada yang sampai puluhan kata dalam satu halaman.
Apakah editornya senang, atau sebal harus berkali-kali menyetabilo kata untuk dimiringkan? Saya termasuk yang jengkel bila harus terlalu sering memiringkan huruf.
Bagaimana pun kita harus berterimakasih kepada Aldus Manutius yang pertama kali memperkenalkan huruf miring lewat percetakannya di Venesia pada tahun 1500. Dengan adanya huruf miring para penulis memiliki piranti membedakan kata tertentu. Selain untuk membedakan kata atau frasa bahasa asing, sejak lama huruf miring dipakai untuk menekankan poin-poin penting, dan juga mengutip ucapan seseorang. Sebelum ada huruf miring, para penulis menggunakan garis bawah.
Uniknya, pada awalnya Manutius menggunakan huruf miring bukan untuk fungsi seperti sekarang. Huruf tersebut ia pakai demi memperkecil ukuran huruf agar buku-buku yang dicetaknya tidak terlalu tebal sehingga mudah dibawa bepergian. Ketika itu huruf miring digunakan untuk buku-buku bacaan di waktu senggang. Huruf miring meniru gaya manuskrip tulisan tangan pada masa itu, untuk memberi kesan informal.
Sekarang fungsi huruf miring sudah berkembang begitu rupa. Dalam tulisan UK, ia berhasil membuat saya tertegun saat membaca kata ngapurancang, dan lalu mencari tahu artinya.

Komentar
Posting Komentar