Membaca Kolom "First Person" karya Natasha Freidus Serasa Mengupas Bawang Lima Ons
Natasha Freidus adalah seorang Yahudi Kanada yang bermukim di Toronto. Baru-baru ini ia menulis untuk kolom First Person di harian The Globe and Mail edisi 5 April 2024.
First Person, seperti namanya, ditulis dengan sudut pandang orang pertama. The Globe mendedikasikannya kepada pembaca yang ingin "berbagi pengalaman, gagasan, maupun talenta menulis kepada sesama pembaca."
Terbit setiap hari kerja, tulisan di First Person berkisar 900 sampai 1200 kata. Menurut redaksi, kolom First Person yang berhasil bisa berupa kisah yang "lucu, menyentuh dan mencerahkan -- atau mungkin ketiganya." Yang jelas ia harus merupakan "original voice, pandangan tak terduga (unexpected view), perspektif yang masih asing (unfamiliar perspective), kisah dengan perincian yang hidup, yang lebih memperlihatkan kenyataan daripada sekadar berkata-kata, anekdot yang membawa terang kepada tema yang lebih luas."
Pembaca yang tulisannya dimuat mendapat pemberitahuan dalam rentang dua bulan sejak redaksi menerimanya. Tidak ada honorarium untuk tulisan yang dimuat.
Ini sudah pernah saya kemukakan pada catatan saya ("Pedoman Menulis Esai Personal untuk Bacaan Publik") 10 bulan lalu. Namun, saya merasa perlu mengulangnya mengantarkan kolom yang ditulis oleh Freidus.
Kolom ini menurut saya istimewa. Sebagaimana Anda dapat baca pada screenshot yang saya tampilkan Freidus berkisah tentang pengalamannya menampung Abdullah, pengungsi Afganistan yang terpisah dari keluarganya.
Lebih dari 10 tahun lalu Abdullah terpaksa meninggalkan istri yang sedang hamil dan putrinya yang masih kecil untuk menyelamatkan diri. Abdullah berasal dari etnis Hazara, minoritas yang sering jadi target aksi kekerasan Taliban. Ia tidak menyangka akan berpisah begitu lama dari keluarganya.
Abdullah tiba di Toronto bulan Desember tahun lalu dan tinggal di rumah Freidus sebagai keluarga yang menjadi sponsornya. Enam minggu kemudian tiba momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan. Istrinya dan dua putrinya berhasil menyusulnya ke Kanada.
Freidus melukiskan adegan mengharukan itu di kolomnya, yakni saat putri Abdullah yang masih kecil, yang dulu ia tinggalkan masih dalam kandungan dan selama ini hanya berkomunikasi lewat ponsel, berlari di taman menghampiri dan kemudian memeluk ayahnya.
Namun, poin penting yang ingin dikemukakan Freidus bukan hanya adegan itu. Ia mengatakan sebagai seorang Yahudi ia bersedia menjadi sponsor bagi pengungsi bukan karena ingin menjadi pahlawan. Ia melakukannya karena sedari kecil ia mendengar cerita tentang bagaimana keluarganya sebagai pengungsi dan korban Holocaust mendapat pertolongan dan perlindungan.
"We do this work because somebody did it for our family in the past. Someone might have to do it again for us in the future."
Saya menganjurkan Anda membaca kolom ini selengkapnya. Anda akan serasa baru mengupas bawang lima ons.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar