AI yang Saya Pahami Sejauh Ini
Dulu saya takjub pada wacana altruistik di balik pengembangan kecerdasan buatan (AI), yang dikemukakan para taipan terdepan yang menjadi sponsornya. Kini fase itu tampaknya sudah lewat. Suasana kontemporer yang saya pahami adalah AI telah memasuki tahap perlombaan dan persaingan menjadi yang terdepan dan dominan, baik secara teknologi namun terutama secara bisnis. Hukum pasar kini semakin menonjol sebagai aturannya dan kapitalisme sebagai spiritnya.
Menurut Christopher Mims pada kolomnya di The Wall Street Journal 9-10 Maret 2024, faktor kunci memenangi persaingan AI adalah kecepatan memberi respons terhadap keinginan pengguna. Mesin pencari, sebagai contoh, kini semakin 'wajib' mampu menjawab pertanyaan pengguna dalam hitungan detik.
Perlombaan menjadi yang tercepat tidak gratis. Dibutuhkan investasi yang, sejauh ini, belum ada tanda-tanda mencapai puncaknya. Bila mengingat hal ini dan prinsip persaingan kapitalistik yang sering berwujud "the winner takes it all," sangat mungkin hanya akan ada dua atau tiga perusahaan AI yang dominan di pasar.
Saat ini masih ada pekerjaan besar para 'produsen' AI. Mereka perlu memperluas basis pengguna untuk mencapai skala ekonomi sekaligus menjadi sumber pasok data yang merupakan bahan baku AI.
Untuk misi ini, kampanye masif memperkenalkan sekaligus menaikkan pamor AI dijalankan. Kita semakin sering dihadapkan pada klaim-klaim tentang potensi AI yang mengagumkan. Begitu subtilnya cara marketingnya, tanpa kita sadari kita telah menjadi bagian darinya.
AI telah banyak menghasilkan terobosan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga titik lemahnya, termasuk masih seringnya AI berhalusinasi -- respons yang dihasilkannya menyesatkan. Artinya kita masih berhadapan dengan teka-teki tentang AI: antara AI sebagai realitas, AI sebagai potensi, dan AI sebagai persepsi. Sejauh ini kita lebih banyak memahami AI sebagai persepsi dan potensi.
Kegamangan seperti ini bukan hanya di kalangan awam. Kolumnis majalah New Scientist, Alex Wilkins, pada kolomnya di edisi 7 Oktober 2023, menjelaskan bahwa di kalangan orang-orang yang bergelut di bidang AI pun masih banyak yang belum paham sepenuhnya bagaimana mesin AI bekerja, dan sejauh mana batas kemampuannya. Wilkins terutama membicarakan model algoritma pembelajaran bahasa yang dikenal sebagai Large Language Model (LLM), 'mesin' bahasa yang disebut memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman manusia dalam berbahasa. Meskipun telah banyak penjelasan yang diberikan, menurut Wilkins, masih tetap belum terjawab bagaimana model ini bekerja.
Bagaimana pun menariknya serba-serbi perlombaan di sisi pasok AI, topik yang paling popular tetaplah sejauh mana AI akan berbagi peran dengan manusia. Dalam hal ini tampaknya tidak akan terhindarkan berbagai 'drama' tentang manusia dan pekerjaannya.
Eben E. Siadari
Menurut Christopher Mims pada kolomnya di The Wall Street Journal 9-10 Maret 2024, faktor kunci memenangi persaingan AI adalah kecepatan memberi respons terhadap keinginan pengguna. Mesin pencari, sebagai contoh, kini semakin 'wajib' mampu menjawab pertanyaan pengguna dalam hitungan detik.
Perlombaan menjadi yang tercepat tidak gratis. Dibutuhkan investasi yang, sejauh ini, belum ada tanda-tanda mencapai puncaknya. Bila mengingat hal ini dan prinsip persaingan kapitalistik yang sering berwujud "the winner takes it all," sangat mungkin hanya akan ada dua atau tiga perusahaan AI yang dominan di pasar.
Saat ini masih ada pekerjaan besar para 'produsen' AI. Mereka perlu memperluas basis pengguna untuk mencapai skala ekonomi sekaligus menjadi sumber pasok data yang merupakan bahan baku AI.
Untuk misi ini, kampanye masif memperkenalkan sekaligus menaikkan pamor AI dijalankan. Kita semakin sering dihadapkan pada klaim-klaim tentang potensi AI yang mengagumkan. Begitu subtilnya cara marketingnya, tanpa kita sadari kita telah menjadi bagian darinya.
AI telah banyak menghasilkan terobosan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga titik lemahnya, termasuk masih seringnya AI berhalusinasi -- respons yang dihasilkannya menyesatkan. Artinya kita masih berhadapan dengan teka-teki tentang AI: antara AI sebagai realitas, AI sebagai potensi, dan AI sebagai persepsi. Sejauh ini kita lebih banyak memahami AI sebagai persepsi dan potensi.
Kegamangan seperti ini bukan hanya di kalangan awam. Kolumnis majalah New Scientist, Alex Wilkins, pada kolomnya di edisi 7 Oktober 2023, menjelaskan bahwa di kalangan orang-orang yang bergelut di bidang AI pun masih banyak yang belum paham sepenuhnya bagaimana mesin AI bekerja, dan sejauh mana batas kemampuannya. Wilkins terutama membicarakan model algoritma pembelajaran bahasa yang dikenal sebagai Large Language Model (LLM), 'mesin' bahasa yang disebut memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman manusia dalam berbahasa. Meskipun telah banyak penjelasan yang diberikan, menurut Wilkins, masih tetap belum terjawab bagaimana model ini bekerja.
Bagaimana pun menariknya serba-serbi perlombaan di sisi pasok AI, topik yang paling popular tetaplah sejauh mana AI akan berbagi peran dengan manusia. Dalam hal ini tampaknya tidak akan terhindarkan berbagai 'drama' tentang manusia dan pekerjaannya.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar