Meraih Gelar Doktor dengan Disertasi tentang Paragraf
Pada mulanya huruf demi huruf membentuk kata. Lalu kata demi kata terangkai jadi kalimat.
Bila berpikir menurut tatanan dari yang terkecil hingga yang terbesar (ascending order), Anda mungkin menyetujui begitulah alur terbentuknya tulisan. Tetapi ternyata tidak, bila perspektif sejarah diikutkan.
Unit terkecil dalam menulis memang dimulai dari huruf, kata, lalu kalimat. Namun paragraf baru dikenal belakangan. Cukup lama orang tak mengenal paragraf. Manusia menulis kalimat demi kalimat tanpa peduli harus memisahkannya ke dalam paragraf. Baru pada abad pertengahan para penulis di Eropa memberi perhatian pada paragraf, walaupun di Yunani ia sudah lebih dulu dikenal (paragraphos).
Saya tergerak menulis hal ini oleh rasa penasaran yang mendalam tentang paragraf: apa sesungguhnya paragraf dan apakah betul paragraf harus lebih dari satu kalimat atau boleh satu kalimat saja? Pendapat yang paling umum adalah yang pertama: paragraf harus lebih dari satu kalimat. Di dunia akademik hal ini bahkan masih harga mati.
Namun apakah harus demikian? Tulisan jurnalis sudah umum menggunakan satu kalimat satu paragraf. Bahkan media terkemuka seperti Reuters telah menyajikan tulisan dengan satu kalimat satu paragraf.
Saya beruntung menemukan sebuah disertasi yang menarik, yang diterbitkan menjadi buku. Buku ini sudah sangat tua, tetapi saya rasa pas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Judulnya, "The History of English Paragraph." Disertasi karya Edwin Herbert Lewis ini disusun sebagai syarat untuk meraih gelar Ph.D di bidang sastra di University of Chicago pada tahun 1894. (Ya, tahun seribu delapan ratus sembilan puluh empat bukan 1984).
Dalam disertasinya Lewis mengulas paragraf secara historis, baik makna, karakter, maupun perkembangannya. Ia juga menyajikan data yang menarik tentang frekuensi penggunaan paragraf yang terdiri dari satu kalimat ,yang sebetulnya lazim, kemudian berkecenderungan menurun, lalu bangkit lagi.
Selanjutnya kalimat demi kalimat membentuk paragraf. Kumpulan paragraf pada ujungnya membentuk prosa, apakah itu esai, pidato, makalah bahkan disertasi.
Bila berpikir menurut tatanan dari yang terkecil hingga yang terbesar (ascending order), Anda mungkin menyetujui begitulah alur terbentuknya tulisan. Tetapi ternyata tidak, bila perspektif sejarah diikutkan.
Unit terkecil dalam menulis memang dimulai dari huruf, kata, lalu kalimat. Namun paragraf baru dikenal belakangan. Cukup lama orang tak mengenal paragraf. Manusia menulis kalimat demi kalimat tanpa peduli harus memisahkannya ke dalam paragraf. Baru pada abad pertengahan para penulis di Eropa memberi perhatian pada paragraf, walaupun di Yunani ia sudah lebih dulu dikenal (paragraphos).
Saya tergerak menulis hal ini oleh rasa penasaran yang mendalam tentang paragraf: apa sesungguhnya paragraf dan apakah betul paragraf harus lebih dari satu kalimat atau boleh satu kalimat saja? Pendapat yang paling umum adalah yang pertama: paragraf harus lebih dari satu kalimat. Di dunia akademik hal ini bahkan masih harga mati.
Namun apakah harus demikian? Tulisan jurnalis sudah umum menggunakan satu kalimat satu paragraf. Bahkan media terkemuka seperti Reuters telah menyajikan tulisan dengan satu kalimat satu paragraf.
Saya beruntung menemukan sebuah disertasi yang menarik, yang diterbitkan menjadi buku. Buku ini sudah sangat tua, tetapi saya rasa pas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Judulnya, "The History of English Paragraph." Disertasi karya Edwin Herbert Lewis ini disusun sebagai syarat untuk meraih gelar Ph.D di bidang sastra di University of Chicago pada tahun 1894. (Ya, tahun seribu delapan ratus sembilan puluh empat bukan 1984).
Dalam disertasinya Lewis mengulas paragraf secara historis, baik makna, karakter, maupun perkembangannya. Ia juga menyajikan data yang menarik tentang frekuensi penggunaan paragraf yang terdiri dari satu kalimat ,yang sebetulnya lazim, kemudian berkecenderungan menurun, lalu bangkit lagi.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar