Beda Paragraf Tulisan Populer dan Tulisan Ilmiah
Catatan ini tidak ingin menjelaskan perbedaan jenis paragraf dari perspektif akademik yang dengan baku telah mengatur tata cara penyusunannya. Yang hendak saya kemukakan adalah perbandingan paragraf dari perspektif estetika, seni, dan psikologi menulis.
Perhatikan foto ilustrasi catatan ini. Yang sebelah kiri adalah satu halaman dari novel "New Moon" karya Stephenie Meyer. Yang kanan adalah satu halaman dari buku "Zen Buddhism: A History India and China," sebuah monograf yang ditulis oleh Heinrich Dumoulin.
Cermati paragrafnya. Lihat tebal-tipisnya.
Yang kiri ketebalan paragrafnya sangat variatif. Ada yang tebal. Tiba-tiba muncul satu paragraf yang hanya satu baris. Lanjut lagi dengan paragraf yang tidak terlalu tebal.
Sampai di sini, apakah Anda dapat melihat bedanya dengan yang kanan?
Yang kanan tebal paragrafnya bisa dua kali dari paragraf sebelah kiri. Ketebalan masing-masing paragraf juga hampir konsisten. Mirip bata bertindih yang membentuk dinding.
Dari membandingkan kedua paragraf ini, saya ingin mengetengahkan perspektif John R. Trimble, tentang mengatur ketebalan paragraf sebagai estetika, seni dan psikologi menulis. Penulis buku "Writing with Style" (1975) itu adalah proponen dari pentingnya mengatur tebal tipisnya paragraf. Sama halnya dengan dalilnya tentang menata kalimat dalam satu paragraf.
Menurut dia, kalimat dalam tulisan populer harus divariasikan panjang pendeknya. Bila dalam satu paragraf Anda sudah menulis tiga kalimat panjang, yang keempat harus pendek. Bila perlu satu kata satu kalimat.
Demikian juga variasi tebal tipis paragraf; sangat penting untuk memanjakan psikologi pembaca. Secara estetika juga tulisan tampak indah.
Paragraf yang terlalu tebal membuat pembaca kehilangan minat karena merasa akan kelelahan membacanya. Apalagi bila terus-menerus. Membosankan.
Maka selang-selingilah paragraf tebal dengan paragraf pendek. Bila dua kalimat cukup membentuk satu paragraf pendek, lakukan.
Namun sama bahayanya dengan garingnya tulisan dengan paragraf tebal repetitif, paragraf pendek yang terus-menerus bisa mendatangkan kesan lemah substansi. Juga kesan seperti main-main.
Maka, kata Trimble, bangunlah paragraf yang tebal-tipis. Seperti lapisan Whopper yang menggiurkan. Atau bila ingin menganalogikannya dengan produk lokal, buatlah paragraf seperti tetelan buah pada es teler. Tak pernah sama satu dan lainnya, tetapi penuh kejutan.
Sampai di sini saya sudahi resep Trimble. Boleh setuju boleh tidak. Saya sendiri pun sering lupa pada resep ini.
Eben E. Siadari
Cermati paragrafnya. Lihat tebal-tipisnya.
Yang kiri ketebalan paragrafnya sangat variatif. Ada yang tebal. Tiba-tiba muncul satu paragraf yang hanya satu baris. Lanjut lagi dengan paragraf yang tidak terlalu tebal.
Sampai di sini, apakah Anda dapat melihat bedanya dengan yang kanan?
Yang kanan tebal paragrafnya bisa dua kali dari paragraf sebelah kiri. Ketebalan masing-masing paragraf juga hampir konsisten. Mirip bata bertindih yang membentuk dinding.
Dari membandingkan kedua paragraf ini, saya ingin mengetengahkan perspektif John R. Trimble, tentang mengatur ketebalan paragraf sebagai estetika, seni dan psikologi menulis. Penulis buku "Writing with Style" (1975) itu adalah proponen dari pentingnya mengatur tebal tipisnya paragraf. Sama halnya dengan dalilnya tentang menata kalimat dalam satu paragraf.
Menurut dia, kalimat dalam tulisan populer harus divariasikan panjang pendeknya. Bila dalam satu paragraf Anda sudah menulis tiga kalimat panjang, yang keempat harus pendek. Bila perlu satu kata satu kalimat.
Demikian juga variasi tebal tipis paragraf; sangat penting untuk memanjakan psikologi pembaca. Secara estetika juga tulisan tampak indah.
Paragraf yang terlalu tebal membuat pembaca kehilangan minat karena merasa akan kelelahan membacanya. Apalagi bila terus-menerus. Membosankan.
Maka selang-selingilah paragraf tebal dengan paragraf pendek. Bila dua kalimat cukup membentuk satu paragraf pendek, lakukan.
Namun sama bahayanya dengan garingnya tulisan dengan paragraf tebal repetitif, paragraf pendek yang terus-menerus bisa mendatangkan kesan lemah substansi. Juga kesan seperti main-main.
Maka, kata Trimble, bangunlah paragraf yang tebal-tipis. Seperti lapisan Whopper yang menggiurkan. Atau bila ingin menganalogikannya dengan produk lokal, buatlah paragraf seperti tetelan buah pada es teler. Tak pernah sama satu dan lainnya, tetapi penuh kejutan.
Sampai di sini saya sudahi resep Trimble. Boleh setuju boleh tidak. Saya sendiri pun sering lupa pada resep ini.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar