Masihkah Konferensi Pers Berguna di Era Digital?
Buku tentang petenis Jepang Naomi Osaka baru saja terbit. Judulnya "Naomi Osaka: Her Journey to Finding Her Power and Her Voice." Ditulis oleh wartawan Ben Rothenberg, nukilannya disajikan di Newsweek edisi Desember 2023. Antara lain menyoroti relasi peraih empat gelar Grand Slam itu dengan media.
Osaka, 26, sempat mundur dari tenis tahun 2022. Kini ia muncul kembali di turnamen Brisbane International yang tengah berlangsung.
Mundurnya petenis berdarah campuran Jepang-Haiti-Amerika dua tahun lalu didahului oleh kontroversi di French Open 2021. Ia ketika itu menolak menghadiri konferensi pers wajib di turnamen itu dengan alasan masalah depresi. Ia mengatakan pertanyaan wartawan sering membuat kondisinya lebih buruk.
Sorotan terhadap Osaka memang tidak selalu positif. Walau aktivismenya mendukung gerakan Black Live Matters menuai penghargaan dari media terkemuka, banyak fans tenis mengeritiknya karena menggunakan olah raga sebagai panggung. Begitu hebatnya serangan terhadapnya sampai-sampai sebuah penelitian menyebut Osaka sebagai petenis paling dibenci di X.
Insiden di French Open 2021 membuat kalangan tenis mempertanyakan profesionalismenya. Wartawan juga merasa dilecehkan. Apa jadinya jika figur publik sesukanya menolak bicara di konferensi pers?
Pembela Osaka, di sisi lain, menganggap kewajiban melakukan konferensi pers bukan keinginan atlet melainkan sponsor. Bila ingin melakukan konferensi pers, atlet dapat melakukannya sendiri.
Perdebatan di media melebar kepada pertanyaan apakah atlet masih memerlukan konferensi pers? Mereka bisa membuat konten sendiri bahkan memiliki media sendiri. Masihkah diperlukan berbicara kepada publik via wartawan, ketika era digital memampukan orang berbicara langsung kepada semua orang?
Di buku ini Osaka tidak memperruncing pro-kontra. Ia justru mengajukan tawaran berbaikan lagi dengan wartawan.
Ben Rothenberg menyesalkan insiden French Open ditafsirkan sebagai ketidaksukaan Osaka terhadap media. Padahal, kata Ben Rothenberg, Osaka sejak dulu akrab dengan wartawan dan senang bertemu langsung di konferensi pers.
Ben Rothenberg menggambarkan yang terjadi adalah kesalahpahaman. Konferensi pers di era pandemi berlangsung via zoom. Osaka tidak terbiasa dan kehilangan kemampuan berkoneksi dengan wartawan yang hanya bisa dilihatnya lewat layar komputer.
Selain itu konferensi pers via zoom membuat wartawan yang meliput sangat banyak. Osaka yang terbiasa akrab hanya dengan wartawan yang dikenalnya, menjadi kikuk. Karena itu muncul perasaan untuk memproteksi diri. Sikap itu mungkin melukai hati wartawan.
Pada intinya, Osaka menggarisbawahi bahwa dirinya senang berbicara langsung dengan wartawan. Menurut dia keinginantahuan wartawan yang disampaikan lewat pertanyaan adalah bentuk kepedulian. Ia menyukai kepedulian itu. Osaka masih butuh konferensi pers.
Osaka, 26, sempat mundur dari tenis tahun 2022. Kini ia muncul kembali di turnamen Brisbane International yang tengah berlangsung.
Mundurnya petenis berdarah campuran Jepang-Haiti-Amerika dua tahun lalu didahului oleh kontroversi di French Open 2021. Ia ketika itu menolak menghadiri konferensi pers wajib di turnamen itu dengan alasan masalah depresi. Ia mengatakan pertanyaan wartawan sering membuat kondisinya lebih buruk.
Sorotan terhadap Osaka memang tidak selalu positif. Walau aktivismenya mendukung gerakan Black Live Matters menuai penghargaan dari media terkemuka, banyak fans tenis mengeritiknya karena menggunakan olah raga sebagai panggung. Begitu hebatnya serangan terhadapnya sampai-sampai sebuah penelitian menyebut Osaka sebagai petenis paling dibenci di X.
Insiden di French Open 2021 membuat kalangan tenis mempertanyakan profesionalismenya. Wartawan juga merasa dilecehkan. Apa jadinya jika figur publik sesukanya menolak bicara di konferensi pers?
Pembela Osaka, di sisi lain, menganggap kewajiban melakukan konferensi pers bukan keinginan atlet melainkan sponsor. Bila ingin melakukan konferensi pers, atlet dapat melakukannya sendiri.
Perdebatan di media melebar kepada pertanyaan apakah atlet masih memerlukan konferensi pers? Mereka bisa membuat konten sendiri bahkan memiliki media sendiri. Masihkah diperlukan berbicara kepada publik via wartawan, ketika era digital memampukan orang berbicara langsung kepada semua orang?
Di buku ini Osaka tidak memperruncing pro-kontra. Ia justru mengajukan tawaran berbaikan lagi dengan wartawan.
Ben Rothenberg menyesalkan insiden French Open ditafsirkan sebagai ketidaksukaan Osaka terhadap media. Padahal, kata Ben Rothenberg, Osaka sejak dulu akrab dengan wartawan dan senang bertemu langsung di konferensi pers.
Ben Rothenberg menggambarkan yang terjadi adalah kesalahpahaman. Konferensi pers di era pandemi berlangsung via zoom. Osaka tidak terbiasa dan kehilangan kemampuan berkoneksi dengan wartawan yang hanya bisa dilihatnya lewat layar komputer.
Selain itu konferensi pers via zoom membuat wartawan yang meliput sangat banyak. Osaka yang terbiasa akrab hanya dengan wartawan yang dikenalnya, menjadi kikuk. Karena itu muncul perasaan untuk memproteksi diri. Sikap itu mungkin melukai hati wartawan.
Pada intinya, Osaka menggarisbawahi bahwa dirinya senang berbicara langsung dengan wartawan. Menurut dia keinginantahuan wartawan yang disampaikan lewat pertanyaan adalah bentuk kepedulian. Ia menyukai kepedulian itu. Osaka masih butuh konferensi pers.

Komentar
Posting Komentar