Tujuh Langkah Menyusun Storytelling Menurut Harvard Business Review
Harvard Business Review edisi terbaru mengangkat storytelling jadi cerita sampulnya. Artikel tersebut ditulis oleh Frances Frei, profesor pada Harvard Business School, dan Anne Morris, pendiri Leadership Consortium. Judulnya, "Storytelling That Drives Bold Change." Artikel ini bertujuan memberi insight kepada pemimpin bisnis tentang storytelling dalam menggerakkan perubahan organisasi.
Berikut ini beberapa intisarinya.
- Pertama, pahami secara mendalam dan jelaskan secara sederhana. Storytelling menceritakan sesuatu dengan cara dan bahasa sederhana. Agar dapat menyusun cerita yang mengnspirasi perubahan, si pencerita harus memahami inti masalah yang dihadapi perusahaan, kemana tujuannya dan menjelaskannya secara mudah dimengerti.
- Kedua, menghargai masa lalu. Banyak pemimpin yang hendak melakukan perubahan berangkat dengan cara menghapus bahkan mencela masa lalu. Artikel ini tidak menyarankannya. Sebaliknya, storytelling harus berangkat dari menghargai yang baik dari masa lalu. Ini penting untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan.
- Ketiga, mengemukakan amanat perubahan secara menarik dan jernih. Setelah memberi penghormatan kepada masa lalu -- tentang hal baik, buruk, dan konyol yang sudah lewat -- storytelling harus berisi alasan keharusan berubah secara jernih dan menarik. Ia harus cukup meyakinkan untuk membuat orang setuju menuju tujuan yang berbeda dari sebelumnya. Ke dalam hal ini, termasuk menekankan hal-hal yang tidak baik di masa lalu yang harus diperbaiki.
- Keempat, menjelaskan secara cermat dan optimistik jalan ke depan. Cermat dan optimistik dua kata yang ditekankan oleh penulis artikel ini. Storytelling harus diisi oleh potret jalan ke depan yang detail dan menjanjikan. Dukungan data sangat membantu.
- Kelima, rangkai jadi satu cerita. Elemen-elemen yang dikemukakan di atas disatukan menjadi narasi yang disepakati oleh orang-orang yang menjadi sirkel pemimpin. Oleh karena itu mendiskusikannya dengan tim berkali-kali sangat penting.
- Keenam, ceritakan terus-menerus. Sekali narasi perubahan itu telah rampung, pemimpin menceritakannya kapan pun bila memungkinkan. Bahkan frekuensi menceritakannya ditambah bila perlu sampai 2-3 kali dari frekuensi rutin. Tujuannya agar semua pihak menginternalisasi pesan perubahan tersebut.
- Ketujuh, kenali dan gunakan sisi emosional. Perubahan bagi sebagian orang mendatangkan tekanan dan frustrasi. Pemimpin harus mengenali aspek-aspek ini dan mencari cara 'mengobatinya'. Misalnya, ada CEO yang mengirimkan surat ucapan terimakasih kepada para orang tua karyawannya atas kerelaan mereka memberikan kesempatan putra-putri mereka bekerja di perusahaan.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar