Beberapa Hal yang Masih Misterius tentang AI

Sebagai orang awam dalam teknologi informasi, saya sering merasa minder tatkala membaca berbagai pemberitaan yang menyajikan kecanggihan kerja kecerdasan buatan (AI). Rasa minder itu terutama disebabkan ketidakmampuan mencerna bagaimana AI bisa melakukan hal itu. Pada titik tertentu muncul perasaan khawatir, jangan-jangan diri ini sudah jauh ketinggalan kereta akan semua kemajuan itu. 

Bila Anda sama seperti saya, sekarang kita boleh bernafas lega bila membaca ulasan kolumnis majalah New Scientist, Alex Wilkins. Pada kolomnya di edisi 7 Oktober 2023, ia menjelaskan bahwa di kalangan orang-orang yang bergelut di bidang AI pun sesungguhnya masih banyak yang belum paham sepenuhnya bagaimana mesin AI bekerja, dan sejauh mana batas kemampuannya.

Wilkins terutama membicarakan model algoritma pembelajaran bahasa yang dikenal sebagai Large Language Model (LLM) yang merupakan fundasi dari aplikasi percakapan seperti ChatGPT. Menurut penjelasan yang popular, LLM adalah 'mesin' bahasa yang memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman manusia dalam berbahasa.

LLM dengan jaringan saraf tiruannya memperoleh kemampuan ini setelah dilatih dengan menggunakan data dalam jumlah besar dan mempelajari miliaran parameter. LLM menjalani latihan secara terbimbing namun ia juga belajar secara mandiri, mempelajari sintaksis, semantik, dan ontologi yang melekat dalam sekumpulan bahasa manusia.


Meskipun telah banyak penjelasan yang diberikan, menurut Wilkins, masih tetap belum terjawab secara pasti bagaimana sistem pada model ini bekerja sehingga memberikan jawaban. "Banyak peneliti bekerja di dunia AI belum sepenuhnya mengerti cara kerja sistem ini.....Jika para peneliti di lab AI terkemuka masih belum berhasil mengungkapkan wawasan baru yang ada pada model ini, haruskah kita begitu saja percaya pada model ini begitu cepat?" tulis Wilkins.

Kedua, Wilkins mengutip sebuah studi yang dilakukan peneliti di Universitas Yale. Model pembelajaran bahasa ini memang memberi jawaban yang memuaskan untuk hal-hal yang bersifat berulang, yang sudah pernah terjadi, atau high probability events, tetapi kurang mampu menjawab hal-hal baru atau belum ada presedennya.

"Untuk alasan ini, para peneliti (Yale) mengingatkan kita harus berhati-hati menggunakan LLM untuk masalah-masalah yang belum pernah dihadapi oleh LLM tersebut," tulis Wilkins.

Singkatnya, Wilkins mengatakan LLM masih dapat diandalkan untuk memecahkan hal-hal biasa yang sifatnya berulang. Tetapi menjadi sulit diandalkan untuk masalah-masalah yang belum pernah ada jawabannya sebelumnya.

Parafrasa saya atas kolom Wilkins mungkin tidak sempurna, oleh karena itu saya anjurkan membacanya selengkapnya di screenshot lampiran catatan ini.

Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya