Storytelling di Dunia Bisnis
Storytelling dewasa ini jadi kata yang fancy, seperti kata globalisasi pada tahun 1990an. Ia topik yang dipandang keren, dibicarakan dalam berbagai konteks, bahkan di segala konteks. Kadang-kadang ia seperti obat dengan 1001 faedah untuk masalah (komunikasi) apa saja.
Tampaknya ini merupakan gelombang kebangkitan yang kesekian bagi storytelling. Ia telah pernah menikmati masa keemasan di tahun 1980an pasca dunia bisnis dilanda demam reorganisasi. Sekarang di saat praktik komunikasi sangat dipengaruhi oleh internet of things, ia bangkit lagi.
Sesungguhnya storytelling sangat biasa di hampir semua kultur. Ia telah dipakai berabad-abad menyampaikan pesan. Orang-orang seusia saya yang hidup di pedesaan, di masa kanak-kanak masih bisa menyaksikan storytelling in action, tatkala para ibu menikmati waktu luang saling mencari kutu rambut. Pesan, petuah, dan teguran kepada teman atau anak, mengalir lewat cerita.
Dunia bisnis era modern yang serba lugas (to the point) pernah memandang sebelah mata storytelling. Ia dianggap terlalu lambat, dan bias pada pesan-pesan tersirat. Manajemen modern lebih mengandalkan pendekatan saintifik dan logis, kurang memberi ruang bagi metafora dan nuansa.
Ternyata storytelling tetap perlu. Bahkan bisnis yang mengedepankan bottom line (profit dan growth) sekali pun, membutuhkan perkisahan membangun narasi untuk dapat menggerakkan organisasi berubah dan berpencapaian.
Salah satu kampiun storytelling di dunia bisnis bernama Stephen Denning. Selama puluhan tahun ia bekerja di Bank Dunia dalam berbagai posisi, ia menjadi proponennya.
Denning menpopulerkan storyelling sebagai keahlian yang harus dimiliki pemimpin untuk menggerakkan roda organisasi. Ia menulis sejumlah buku tentang storytelling termasuk "The Secret Language of Leadership: How Leaders Inspire Action Through Narrative," yang terpilih sebagai salah satu buku terbaik oleh The Financial Times pada 2007.
Bukunya memberikan pedoman bagaimana para pemimpin sukses menggunakan cerita menyampaikan ide-ide mereka sehingga menumbuhkan antusiasme yang bertahan lama terhadap perubahan.
Dia juga mendorong semua orang di dalam organisasi untuk ikut urun cerita, memberi solusi bagi organisasi. Salah satu pengalaman yang sering ia jadikan contoh adalah Madagascar Case.
Suatu hari tim Bank Dunia menghadapi kebuntuan mengatasi perbedaan pendapat dengan pemerintah setempat merumuskan kebijakan pajak di Madagascar. Lalu pimpinan tim mengirim email ke seluruh staf Bank Dunia di berbagai penjuru bumi meminta mereka membagikan pengalaman saat menghadapi masalah yang mirip. Sambutan yang diperoleh sangat positif. Banyak staf mengirimkan cerita mereka, dan kisah-kisah itu jadi masukan membantu merumuskan solusi di Madagascar.
Storytelling, Mengapa Tidak Ada Matinya
Sekolah mengajarkan murid untuk berpikir fokus, runtut, lugas, dan logis. Hasilnya adalah makalah, policy brief, skripsi, tesis, disertasi, dan power point yang serba hebat.
Tetapi juga ada eksesnya. Karena terobsesi pada keruntutan, kelugasan dan kelogisan hasilnya adalah presentasi yang kaku, kering, dan datar. Akhirnya dilupakan.
Storytelling tidak datang dari sekolah. Ia sudah ada sebelum guru mengajarkannya secara metodis. Manusia sejak balita sudah terekspose pada storytelling.
Stephen Denning menyebut storytelling adalah salah satu cara berkomunikasi paling natural bagi manusia. Ia seperti melarut dalam diri, berbeda halnya dengan berkisah ilmiah di sekolah yang mengharuskan metode rigid.
Stephen Denning menjelaskan hal itu dalam sebuah artikelnya yang berjudul "Using Stories to Spark Organizational Change" yang memperlihatkan bagaimana storytelling lebih menarik dan melampaui apa yang disajikan oleh 'presentasi logis dan ilmiah' . Ini memberi keyakinan kepadanya untuk menyarankan storytelling sebagai cara pemimpin berkomunikasi di dalam organisasi.
Denning merumuskan 10 poin yang membuat storytelling memiliki keunggulan. Saya meringkasnya menjadi enam.
Foto: Lukisan Hendra Gunawan "Mencari Kutu"
Tampaknya ini merupakan gelombang kebangkitan yang kesekian bagi storytelling. Ia telah pernah menikmati masa keemasan di tahun 1980an pasca dunia bisnis dilanda demam reorganisasi. Sekarang di saat praktik komunikasi sangat dipengaruhi oleh internet of things, ia bangkit lagi.
Sesungguhnya storytelling sangat biasa di hampir semua kultur. Ia telah dipakai berabad-abad menyampaikan pesan. Orang-orang seusia saya yang hidup di pedesaan, di masa kanak-kanak masih bisa menyaksikan storytelling in action, tatkala para ibu menikmati waktu luang saling mencari kutu rambut. Pesan, petuah, dan teguran kepada teman atau anak, mengalir lewat cerita.
Dunia bisnis era modern yang serba lugas (to the point) pernah memandang sebelah mata storytelling. Ia dianggap terlalu lambat, dan bias pada pesan-pesan tersirat. Manajemen modern lebih mengandalkan pendekatan saintifik dan logis, kurang memberi ruang bagi metafora dan nuansa.
Ternyata storytelling tetap perlu. Bahkan bisnis yang mengedepankan bottom line (profit dan growth) sekali pun, membutuhkan perkisahan membangun narasi untuk dapat menggerakkan organisasi berubah dan berpencapaian.
Salah satu kampiun storytelling di dunia bisnis bernama Stephen Denning. Selama puluhan tahun ia bekerja di Bank Dunia dalam berbagai posisi, ia menjadi proponennya.
Denning menpopulerkan storyelling sebagai keahlian yang harus dimiliki pemimpin untuk menggerakkan roda organisasi. Ia menulis sejumlah buku tentang storytelling termasuk "The Secret Language of Leadership: How Leaders Inspire Action Through Narrative," yang terpilih sebagai salah satu buku terbaik oleh The Financial Times pada 2007.
Bukunya memberikan pedoman bagaimana para pemimpin sukses menggunakan cerita menyampaikan ide-ide mereka sehingga menumbuhkan antusiasme yang bertahan lama terhadap perubahan.
Dia juga mendorong semua orang di dalam organisasi untuk ikut urun cerita, memberi solusi bagi organisasi. Salah satu pengalaman yang sering ia jadikan contoh adalah Madagascar Case.
Suatu hari tim Bank Dunia menghadapi kebuntuan mengatasi perbedaan pendapat dengan pemerintah setempat merumuskan kebijakan pajak di Madagascar. Lalu pimpinan tim mengirim email ke seluruh staf Bank Dunia di berbagai penjuru bumi meminta mereka membagikan pengalaman saat menghadapi masalah yang mirip. Sambutan yang diperoleh sangat positif. Banyak staf mengirimkan cerita mereka, dan kisah-kisah itu jadi masukan membantu merumuskan solusi di Madagascar.
Storytelling, Mengapa Tidak Ada Matinya
Sekolah mengajarkan murid untuk berpikir fokus, runtut, lugas, dan logis. Hasilnya adalah makalah, policy brief, skripsi, tesis, disertasi, dan power point yang serba hebat.
Tetapi juga ada eksesnya. Karena terobsesi pada keruntutan, kelugasan dan kelogisan hasilnya adalah presentasi yang kaku, kering, dan datar. Akhirnya dilupakan.
Storytelling tidak datang dari sekolah. Ia sudah ada sebelum guru mengajarkannya secara metodis. Manusia sejak balita sudah terekspose pada storytelling.
Stephen Denning menyebut storytelling adalah salah satu cara berkomunikasi paling natural bagi manusia. Ia seperti melarut dalam diri, berbeda halnya dengan berkisah ilmiah di sekolah yang mengharuskan metode rigid.
Stephen Denning menjelaskan hal itu dalam sebuah artikelnya yang berjudul "Using Stories to Spark Organizational Change" yang memperlihatkan bagaimana storytelling lebih menarik dan melampaui apa yang disajikan oleh 'presentasi logis dan ilmiah' . Ini memberi keyakinan kepadanya untuk menyarankan storytelling sebagai cara pemimpin berkomunikasi di dalam organisasi.
Denning merumuskan 10 poin yang membuat storytelling memiliki keunggulan. Saya meringkasnya menjadi enam.
- Pertama, Storytelling natural dan mudah diikuti.
- Kedua, menyederhanakan hal kompleks. Telah beribu tahun manusia menggunakan storytelling mengatasi kompleksitas kenyataan. Hal itu juga dilakukan para pemimpin perusahaan modern saat menceritakan contoh-contoh keberhasilan atau kegagalan dan tentang praktik bisnis lainnya. Storytelling sesungguhnya tak pernah mati.
- Ketiga, mudah diingat. Storytelling membuat fakta dan data direkonstruksi sebagai sebuah rangkaian kenyataan. Begitu pendengar memahami rangkaian ini, mereka dapat mengingatnya.
- Keempat, mengatasi penolakan dan permusuhan. Presentasi formal mengenai suatu topik sering mengundang pertahanan diri para pendengar untuk mengkritisnya. Storytelling tidak. Ia lebih bersahabat karena orang diajak merasa terlibat di dalamnya. Apalagi bila cerita menyentuh sisi emosional pendengar/pembaca.
- Kelima, mengubah persepsi pendengar ke arah yang diharapkan. Misalnya, ia membuat ide-ide baru yang aneh menjadi akrab, dapat dipahami, dan dapat diterima oleh audiens yang pada awalnya mungkin menolak.
- Keenam, nonhirarkis. Presentasi formal dengan argumen analitis dan abstrak, sering membuat orang tidak merasa memiliki kapasitas untuk memahaminya. Sebaliknya dengan storytelling, semua orang diundang bahkan antusias mencernanya.
Foto: Lukisan Hendra Gunawan "Mencari Kutu"

Komentar
Posting Komentar