Kolam Favorit Para Penulis
Kolam itu bernama kenangan masa kecil. Kolam inspirasi itu tidak habis-habisnya dieksplorasi. Para penulis menimba ide dari sumber yang tak pernah kering itu.
Semula saya berpikir ini hanya terjadi pada mereka yang tergolong berumur. Penulis senior, oleh asam garam kehidupan yang telah dikecapnya, sering menoleh ke belakang dalam mencari inspirasi ketimbang ke masa depan yang mungkin tak panjang lagi jangkauan imajinasinya.
Tetapi saya salah. Kenangan masa kecil juga kolam inspirasi bagi penulis muda, seperti Lucy Fullord. Perempuan Australia ini baru saja meluncurkan bukunya "The Exiled: Empire, Immigration, and The Ugandan Asian Exodus." Masa kecil Fullord diisi oleh cerita-cerita ibunya tentang kisah kakek dan neneknya yang terusir dari Uganda di masa kekuasaan Presiden Idi Amin.
Siapa Idi Amin? Gen Y dan Gen Z di Indonesia barangkali tidak begitu akrab dengan nama ini. Tetapi Gen X seperti saya mengingatnya sebagai definisi sempurna seorang diktator.
Sepotong kekejaman Idi Amin disajikan oleh Wikipedia sbb.
Philip dan Rachel, kakek dan nenek Fullord, dua di antara warga keturunan asing yang harus segera menyingkir. Mereka berkebangsaan India, direkrut oleh pemerintah Inggris untuk menjadi guru di Uganda. Sudah 20 tahun mereka menjadi warga Uganda ketika keputusan Idi Amin berlaku. Mereka akhirnya hijrah ke Australia.
Ibu Fullord tak pernah berhenti menceritakan kenangan yang kelabu itu. Fullord tak hanya mengendapkan cerita itu sebagai memori tetapi menginspirasinya membuat riset tentang sejarah pembuangan warga Asia dari Uganda. Risetnya memberinya kesempatan mengunjungi rumah sang kakek di Uganda yang kini telah diokupasi oleh penduduk setempat.
Kepada The Guardian dalam edisi 28 Oktober 2023, Fullord menceritakan bagaimana perasaannya menginjakkan kaki di negeri yang dulu menghuni ingatan masa kecilnya seperti dongeng. Sungguh masa kecil adalah kolam inspirasi menulis yang tak kunjung kering.
Eben E. Siadari
Semula saya berpikir ini hanya terjadi pada mereka yang tergolong berumur. Penulis senior, oleh asam garam kehidupan yang telah dikecapnya, sering menoleh ke belakang dalam mencari inspirasi ketimbang ke masa depan yang mungkin tak panjang lagi jangkauan imajinasinya.
Tetapi saya salah. Kenangan masa kecil juga kolam inspirasi bagi penulis muda, seperti Lucy Fullord. Perempuan Australia ini baru saja meluncurkan bukunya "The Exiled: Empire, Immigration, and The Ugandan Asian Exodus." Masa kecil Fullord diisi oleh cerita-cerita ibunya tentang kisah kakek dan neneknya yang terusir dari Uganda di masa kekuasaan Presiden Idi Amin.
Siapa Idi Amin? Gen Y dan Gen Z di Indonesia barangkali tidak begitu akrab dengan nama ini. Tetapi Gen X seperti saya mengingatnya sebagai definisi sempurna seorang diktator.
Sepotong kekejaman Idi Amin disajikan oleh Wikipedia sbb.
"Begitu Idi Amin berkuasa, Uganda menjadi sangat terkenal. Pada Agustus 1972, semua orang Asia berkewarganegaraan Inggris (60.000 jiwa) diberi waktu 90 hari untuk angkat kaki dari Uganda. Tindakan ini bukan karena rasialisme, tetapi karena ia ingin memberikan 'kemerdekaan yang sesungguhnya bagi rakyat Uganda'.
"Yang kalang kabut tentu saja Inggris, yang para pejabatnya buru-buru menghubungi Australia, Selandia Baru, dan negara persemakmuran lainnya untuk membicarakan penampungan...Sepuluh hari kemudian ditetapkan aturan tambahan bahwa orang asing yang sudah menjadi warga negara Uganda harus pergi dari Uganda. Jumlahnya sekitar 23.000 jiwa.
"Sudah tentu warga negara keturunan asing yang lahir di Uganda kebingungan. Jika mereka pergi, status mereka adalah tanpa negara (stateless). Ditambah lagi negara asal mereka menolak menerima kembali mereka. Ditambah pula dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan milik orang-orang Eropa di Uganda."
Philip dan Rachel, kakek dan nenek Fullord, dua di antara warga keturunan asing yang harus segera menyingkir. Mereka berkebangsaan India, direkrut oleh pemerintah Inggris untuk menjadi guru di Uganda. Sudah 20 tahun mereka menjadi warga Uganda ketika keputusan Idi Amin berlaku. Mereka akhirnya hijrah ke Australia.
Ibu Fullord tak pernah berhenti menceritakan kenangan yang kelabu itu. Fullord tak hanya mengendapkan cerita itu sebagai memori tetapi menginspirasinya membuat riset tentang sejarah pembuangan warga Asia dari Uganda. Risetnya memberinya kesempatan mengunjungi rumah sang kakek di Uganda yang kini telah diokupasi oleh penduduk setempat.
Kepada The Guardian dalam edisi 28 Oktober 2023, Fullord menceritakan bagaimana perasaannya menginjakkan kaki di negeri yang dulu menghuni ingatan masa kecilnya seperti dongeng. Sungguh masa kecil adalah kolam inspirasi menulis yang tak kunjung kering.
Eben E. Siadari

Komentar
Posting Komentar