Kebanyakan Tulang daripada Dagingnya: Kritik Terhadap Storytelling

Srinath Sidaran menyebut dirinya sebagai penulis, peneliti kebijakan, dan penasihat korporasi. Sedangkan Lloyd Mathias memperkenalkan diri sebagai angel investor dan pemimpin senior bisnis. Keduanya bersama-sama menulis sebuah artikel opini di BusinessWeek edisi India, 3 Oktober 2023, berisi kritik terhadap praktik storytelling dewasa ini. 

Dalam artikel berjudul "Have Business Forgotten 'Story with Substance'?" itu mereka melancarkan keprihatinan betapa praktik storytelling di dunia bisnis telah melenceng dari hakikatnya sebagai pembawa perubahan. Menurut mereka, storytelling dewasa ini lebih mementingkan wadah daripada isinya. Kebanyakan kosmetik dan pernak-pernik bungkusnya daripada pesannya. Lebih ramai tulang daripada dagingnya.

Perhatian terhadap estetika, kata mereka, kerap lebih menonjol daripada keaslian substansi. Akibatnya ia terhenti hanya jadi alat marketing. Ia mengabaikan fungsinya menjalin relasi yang lebih dalam dengan pelanggan melalui konten yang bermakna dan berkesan.

Storytelling dalam bentuk seperti ini, menurut kedua penulis, telah disalahgunakan dari hakikat sejatinya yaitu menggerakkan perubahan yang positif. Seharusnya, kata mereka lagi, storytelling di dunia bisnis, harus didasarkan pada substansi otentik, sehingga menjadi katalis bagi transparansi dan akuntabilitas. Ia mendorong praktik bisnis beretika yang tidak hanya mengejar laba tetapi juga meningkatkan kesejahteraan karyawan, pelanggan, dan lingkungan.

Membaca kolom ini, saya merasa kritik kedua penulis ini terlalu luas dan umum. Meskipun demikian secara nalar kritik tersebut dapat terbayangkan, bila mempertimbangkan berbagai praktik storytelling di dunia komunikasi massa dan pemasaran saat ini.

Storytelling seringkali dipersempit maknanya sebagai pergeseran dari hard selling menjadi soft selling. Padahal, bila memakai cara berpikir kedua penulis, storytelling diharapkan lebih dari itu, terutama bila mempertimbangkan kepentingan publik.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Kedua penulis membuat pengamatan yang berharga. Kata mereka, storytelling dewasa ini harus menanggung tekanan yang kuat untuk memperoleh respons seketika yang luas berupa engagement di media sosial. Dalam perlombaan meraih like, comment, dan share, storytelling terpaksa mengorbankan kedalaman dan otentisitas substansi.

Maka kedua penulis berkali-kali mengangkat frasa "story with substance" dalam artikel mereka. Mereka merumuskan tiga kata kunci.

  • Truth, yaitu kejujuran yang berarti berpijak pada kenyataan,
  • Purpose, yaitu kebermaknaan storytelling bagi masyarakat, dan
  • Substance, yaitu keotentikan nilai-nilai yang disampaikan.
Tiga hal ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengutak-atik dan membiakkan template. Substansi storytelling hanya dapat digali dengan terjun, hadir, dan menyelami konteks dimana kehidupan berdenyut.

Eben E. Siadari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya