Mengapa Berita sering Diumpamakan Seperti Martabak Telur


Seorang direktur utama bank BUMN di tahun 1990an mengumpamakan berita miring tentang perusahaan yang dipimpinnya martabak telur. Mulanya sekepal, tetapi lama-lama mengembang menjadi sekuali. Ia kesal karena terus-menerus dikejar wartawan tentang kasus yang 'sekepal' itu. Sekali waktu di Inggris, dalam pertemuan sesama penerima beasiswa dari negara Raja Charles itu, seorang mahasiswa India bertanya kepada kami secara berkelakar begitu ia tahu kami wartawan: "Bagaimana caranya membuat yang hitam jadi putih, dan yang putih jadi hitam? Anda-anda kan ahlinya," kata dia.

Kami hanya tertawa. Namun, merasa tersindir juga.

Kesan bahwa wartawan bekerja bukan untuk 'menemukan' kebenaran tetapi 'menciptakan' kebenaran bukan hal baru. Namun, sesungguhnya tuduhan itu bukan hanya diarahkan kepada wartawan, melainkan kepada praktisi komunikasi. Dan itu sudah terjadi sejak manusia mulai merumuskan komunikasi sebagai sebuah 'ilmu' di Yunani di era Socrates.

Kala itu kota-kota mulai berkembang. Komunikasi menjadi penting. Tokoh masyarakat dan kaum elit semakin menyadari pentingnya komunikasi memengaruhi orang-orang di sekitarnya.

Muncul dua aliran yang dipandang sangat klasik. Aliran pertama, yang dimotori para filsuf naturalis seperti Socrates dan muridnya, Plato, berpendirian bahwa berkomunikasi adalah menemukan kebenaran. Komunikasi berarti bertanya, berargumen, menggunakan rasio.

Aliran kedua yang dimotori oleh para sofis, berpandangan bahwa berkomunikasi terutama untuk melakukan persuasi. Bagi mereka bukan hanya substansi pesan yang penting tetapi cara menyampaikannya juga. Bukan hanya rasio yang diberi asupan, sisi emosional penerima pesan juga harus disentuh. Retorika menjadi penekanan aliran ini. Para sofis laku keras karena banyak keluarga kaya menyewa mereka untuk mengajar tentang retorika.

Socrates mengeritik kalangan ini karena alih-alih menemukan kebenaran mereka 'merekayasa' kebenaran. Socrates menilai kaum sofis telah menggunakan retorika menciptakan kebenaran semu.

Dua aliran ini yang terkesan bermusuhan, berhasil dijembatani Aristoteles. Meskipun ia murid Plato, ia tidak seperti gurunya yang anti pada kaum sofis. Ia dapat menerima pendekatan kaum sofis dan mengadopsinya dalam teori retorika tiga unsur: logos, etos dan patos.

Kisah ini secara menarik dijelaskan oleh Rutger de Graaf, dosen University of Amsterdam dalam kuliah online yang dipandunya, "Introduction to Communication Science" yang saya ikuti via Coursera 5 Juli 2024 lalu. (Saya berhasil menyelesaikan kuliah berdurasi 10 jam ini dengan skor pas-pasan, 82,48).

Tentang apa itu logos, etos, dan patos, yang sudah sangat dikenal dalam teori komunikasi, kita diskusikan pada catatan selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik yang Membuat Merah Telinga para Jurnalis Televisi

Apa yang Membuat Wartawan Bergembira Menjalankan Pekerjaannya